Rabu, 24 Juli 2013

Stok Penyangga Pangan

Stok Penyangga Pangan
Harianto  ;  Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
REPUBLIKA, 22 Juli 2013


Dalam beberapa tahun terakhir ini kebijakan pemerintah melalui stok penyangga diterapkan untuk perdagangan hasil pangan strategis seperti beras. Latar belakang utama timbul nya kebijakan pemerintah tersebut karena komoditas beras di pasar dalam negeri selalu menghadapi problem ketidakstabilan harga pasar.

Stok penyangga kembali menjadi topik berbagai surat kabar di Jakarta. Kali ini yang menjadi sorotan adalah komoditas pangan strategis lainnya, yaitu daging sapi. Tingginya harga daging sapi di pasar dalam negeri memaksa pemerintah untuk turun tangan dalam mengontrol daging sapi. Menjadi pertanyaan adalah, apakah kebijakan stok penyangga oleh pemerintah sesuai untuk stabilisasi harga daging sapi?

Pelaksanaan stok penyangga pada prinsipnya memanfaatkan salah satu hukum ekonomi, yaitu bagaimana mengatur jumlah penawaran untuk disesuaikan dengan naik-turunnya permintaan sehingga harga suatu komoditas dapat dikendalikan. Caranya, pemerintah menetapkan harga acuan komoditas tertentu pada waktu tertentu. Harga acuan yang dikehendaki sudah memperhitungkan keuntungan petani atau peternak, daya beli konsumen, margin keuntungan pelaku pasar, dan harga komoditas di pasar dunia.

Penawaran kemudian diatur sedemikian rupa melalui pelepasan stok untuk mendukung harga yang dikehendaki pemerintah. Apabila jumlah penawaran tidak mencukupi permintaan pasar, maka stok yang tersedia akan dilempar ke pasar untuk menstabilkan harga. Sebaliknya, jika harga turun karena penawaran yang melebihi permintaan, maka stok perlu ditambah melalui pembelian di pasar.

Pemegang stok penyangga harus mengeluarkan dana untuk membeli komoditas apabila terjadi kelebihan penawaran dibandingkan dengan permintaan. 

Pemegang stok juga menanggung biaya simpan, biaya susut, biaya operasional, biaya investasi, ataupun biaya dalam bentuk risiko usaha pelaksanaan stok. 

Penerimaan akan diperoleh jika permintaan pasar melebihi jumlah yang ditawarkan, yaitu saat harga membumbung tinggi sehingga stok yang tersedia perlu dilempar ke pasar untuk menstabilkan harga.

Mekanisme pengoperasian stok penyangga bukan merupakan suatu hal baru bagi perdagangan dunia dan Indonesia. Perdagangan gula dan karet, misalnya, sudah melaksanakan sistem tersebut sekitar awal tahun 1970-an. Demikian pula Bulog juga mempunyai fungsi sebagai badan penyangga stok terhadap sembilan komoditas pokok di masa lampau. Dan dalam masa sekarang pun, Bulog ditugaskan pemerintah untuk melakukan stok penyangga terhadap satu komoditas pangan strategis, yaitu beras.

Berdasarkan pengalaman masa lalu, ternyata tujuan dan mekanisme stok penyangga dalam jangka panjang menghadapi berbagai permasalahan. Sedikitnya ada enam permasalahan yang dihadapi dalam mengoperasikan sistem tersebut.

Masalah pertama, stok penyangga tidak selalu sesuai dilaksanakan untuk semua komoditas pangan. Dalam men- goperasikan stok penyangga diperlukan persyaratan khusus seperti komoditas harus tahan lama, biaya penyimpanan harus rendah, tidak kambah. Persyaratan ini membuat komoditas seperti buah-buahan dan sayuran kurang memungkinkan melaksanakan sistem ini dengan efisien.

Masalah kedua, menyangkut kemudahan pengadaan stok penyangga yang bersumber dari impor. Saat harga komoditas yang diimpor sangat rendah, biasanya negara-negara konsumen dengan relatif mudah mendapatkan komoditas untuk stok penyangga. Sebaliknya, pada waktu harga komoditas relatif tinggi, negara-negara konsumen akan mendapat kesulitan memperoleh komoditas.

Pembiayaan pengoperasian stok penyangga merupakan suatu masalah lain yang cukup rumit. Pengalaman sebelumnya menunjukkan pengoperasian sistem ini memerlukan biaya yang tinggi. Hal ini tecermin dari biaya apabila stok penyangga semakin meningkat berarti semakin besar biaya penyim panan.

Dalam pengoperasian stok penyangga, ide penentuan harga yang ditetapkan pemerintah haruslah berdasarkan harga yang tidak saja menjamin efisiensi, tetapi juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan yang lebih adil. Satu masalah dari sistem ini, biasanya produsen atau penjual dalam negeri cenderung mengusulkan harga yang terlalu tinggi dibandingkan dengan harga pasar.

Akibatnya, pengelola stok penyangga akan membeli komoditas yang lebih besar daripada yang seharusnya. Sehingga, dalam jangka waktu tertentu, stok akan menumpuk dan biaya naik. Apabila keadaan ini terus berlangsung, maka pemegang stok akan menghadapi kesulitan likuiditas dan pada akhirnya sistem ini akan ambruk.

Masalah lainnya yang cukup mendasar adalah struktur kapasitas sistem ini sendiri. Stok penyangga diadakan untuk menghadapi situasi di mana kapasitas produksi dalam negeri komoditas tertentu dapat diserap oleh pasar pada harga sewajarnya. Apabila ditemukan kapasitas produksi terlalu banyak dibandingkan dengan kapasitas pasar yang dapat menyerap produksi, maka sistem ini tidak dapat berjalan dalam jangka panjang. 

Dalam kondisi demikian, yang diperlukan adalah manajemen ekspor yang lebih baik.
Siapa yang mengelola stok penyangga merupakan isu yang menarik. Pengelolaan stok dapat dilakukan oleh pemerintah dan swasta, tetapi ada trade off antara stok yang dilakukan pemerintah dan yang dikelola swasta. Peningkatan stok pemerintah tampaknya akan menimbulkan pengurangan stok sektor swasta karena mereka dapat memperoleh komoditas dari stok pemerintah. Dengan demikian, pengurangan stok swasta akan menimbulkan pengaruh terhadap stok pemerintah.

Pengelolaan stok komoditas strategis, dalam rangka stabilitas harga, yang menyangkut hajat kehidupan masyarakat (produsen dan konsumen) biasanya dilakukan oleh pemerintah atau lembaga/badan yang ditunjuk pemerintah. Asumsi dari kebijakan ini adalah pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seluruhnya, tidak hanya memihak salah satu pelaku pasar (produsen, konsumen, atau pedagang).

Di beberapa negara maju, pengelolaan stok untuk stabilisasi harga, dikelola oleh asosiasi produsen. Tujuan pengelolaan stok oleh asosiasi produsen ini lebih kepada mencegah merosotnya harga yang diterima oleh produsen komoditas. Oleh sebab itu, untuk kasus Indonesia, pengelolaan stok penyangga memang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha (BUMN) yang ditunjuk pemerintah.

Dalam jangka pendek, stok penyangga memang memberikan kestabilan harga komoditas tertentu. Untuk pasar daging sapi dan beberapa produk hortikultura (cabai dan bawang) yang harganya meningkat tajam akhir-akhir ini, stabilisasi harga dalam jangka pendek dapat diperoleh melalui impor.


Dalam jangka menengah dan panjang, stabilisasi harga dapat diperoleh melalui peningkatan produksi dalam negeri dan pengelolaan dari sisi konsumsi melalui diversifikasi pangan produk segar dan produk olahan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar