|
TEMPO.CO,
22 Juli 2013
BERKAT apa yang diungkapkan Edward
Snowden, saya sekarang tahu bahwa Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA)
telah memata-matai saya. NSA memanfaatkan Google, Facebook, Venison, dan
penyedia-penyedia komunikasi Internet lainnya untuk mengumpulkan informasi digital
yang tidak terkira banyaknya, termasuk, pasti, data mengenai e-mail,
pembicaraan lewat telepon seluler, dan kartu kredit yang saya gunakan.
Saya bukan warga negara Amerika
Serikat, maka itu semua ini dianggap sah-sah saja. Dan bahkan, jika saya seorang
warga negara AS, mungkin saja banyak informasi mengenai diri saya ikut
terjaring walaupun ia bukan target langsung operasi intelijen itu. Apakah saya
harus marah atas intrusi terhadap kehidupan pribadi saya ini? Apakah dunia
1984-nya George Orwell akhirnya tiba sudah, walaupun tiga dekade terlambat?
Apakah Big Brother itu sekarang sedang memata-matai saya?
Saya tidak marah. Sesuai dengan apa
yang saya ketahui sampai saat ini, saya sebenarnya tidak peduli. Mungkin saja
tidak ada yang membaca e-mail saya atau menguping percakapan
saya lewat Skype itu. Besarnya volume informasi digital yang dikumpulkan NSA
itu membuat tidak mungkin semua ini dilakukan.
Sebaliknya, ada program komputer
yang menambang data yang terkumpul itu untuk melihat pola-pola kegiatan mencurigakan
yang diharapkan analis-analis intelijen bakal menuntun mereka ke tempat-tempat
di mana teroris berada. Prosesnya tidak berbeda dengan pengumpulan dan analisis
data yang banyak digunakan perusahaan-perusahan untuk mengarahkan iklan-iklan
mereka kepada kita dengan lebih efektif atau yang menunjukkan hasil riset
daring yang mungkin paling kita inginkan.
Persoalannya bukan informasi apa
yang dikumpulkan pemerintah atau bisnis, melainkan apa yang akan mereka lakukan
terhadap informasi itu. Saya akan marah jika ada bukti, misalnya, pemerintah AS
menggunakan informasi pribadi yang ia kumpulkan itu untuk memeras
politikus-politikus di negara lain agar melayani kepentingan AS. Atau informasi
itu dibocorkan kepada surat kabar—untuk mencoreng nama mereka yang mengecam
kebijakan-kebijakan AS. Jika demikian, hal ini benar-benar perbuatan yang
memalukan.
Namun, jika tidak terjadi hal-hal
seperti itu, dan jika ada pelindung yang efektif yang menjamin tidak akan
terjadinya hal itu, tinggal muncul pertanyaan apakah pengumpulan data ini
benar-benar melindungi kita dari terorisme dan apakah kita memperoleh manfaat
dari apa yang kita korbankan. NSA mengklaim bahwa berkat pengumpulan data ini,
lebih dari 50 upaya serangan teroris bisa dicegah sejak 2001. Saya tidak tahu bagaimana
akan menilai klaim tersebut atau apakah upaya serangan teroris itu bisa dicegah
dengan cara lain.
Pertanyaan mengenai manfaat yang
kita peroleh dari pengorbanan yang kita berikan ini lebih sulit dinilai. Pada
2010, Washington Post menerbitkan laporan berjudul “Top Secret
America”. Setelah dua tahun melakukan investigasi yang melibatkan puluhan
wartawan, Washington Post menyimpulkan bahwa tidak seorang pun
tahu berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk operasi intelijen ini—atau
bahkan berapa banyak orang dipekerjakan badan-badan intelijen Amerika tersebut.
Pada waktu itu, Washington Post melaporkan ada 854 ribu orang.
Sekarang angka itu dilaporkan mencapai 1,4 juta orang. Begitu besarnya jumlah
tersebut sehingga membuat kita bertanya-tanya apakah pengumpulan data pribadi
untuk memeras atau maksud-maksud lainnya itu memang tidak bisa dihindarkan.
Apa pun yang ada dalam pikiran Anda
mengenai pengumpulan data oleh NSA itu, pemerintah AS jelas telah bertingkah
berlebihan dengan terungkapnya informasi mengenai program ini. Ia mencabut
paspor Snowden, dan meminta pemerintah di banyak negara menolak suaka yang
mungkin diminta Snowden. Yang paling luar biasa tampaknya adalah AS berada di
balik penolakan yang dilakukan Prancis, Spanyol, Italia, dan Portugal untuk
mengizinkan pesawat yang membawa Presiden Bolivia Evo Morales memasuki
wilayah udara mereka dalam perjalanan pulangnya dari Moskow dengan alasan
Snowden mungkin berada di dalam pesawat itu. Morales terpaksa mendarat di Wina.
Para pemimpin Amerika Latin marah atas apa yang mereka anggap sebagai
penghinaan terhadap harga diri mereka.
Para pendukung demokrasi harus
berpikir panjang sebelum menghukum orang-orang seperti Julian Assange, Bradley
Manning, dan Snowden. Jika berpikir bahwa demokrasi itu sesuatu yang baik, kita
harus yakin bahwa publik harus sebanyak mungkin tahu apa yang dilakukan
pemerintah yang mereka pilih. Snowden telah mengatakan bahwa ia melakukan
pengungkapan-pengungkapan itu karena ”publik perlu menentukan apakah
program-program dan kebijakan-kebijakan ini benar atau salah”.
Snowden benar mengenai hal ini.
Bagaimana bisa demokrasi menentukan apakah memang harus ada program
memata-matai seperti yang dilakukan NSA… jika ia tidak tahu ada
program semacam itu? Sesungguhnya pembocoran informasi yang dilakukan Snowden
itu juga mengungkapkan bukti bahwa Direktur Intelijen Nasional AS James Clapper
telah berbohong kepada Kongres AS mengenai praktek memata-matai yang dilakukan
NSA dalam dengar pendapat yang diadakan Komite Intelijen Senat pada Maret yang
lalu.
Ketika Washington Post,
bersama The Guardian, menerbitkan informasi yang diberikan Snowden,
ia bertanya apakah rakyat Amerika mendukung atau menentang program pengumpulan
intelijen yang dilakukan NSA itu. Sebanyak 58 persen di antara mereka yang
ditanya mendukung. Namun polling yang sama ini menunjukkan
cuma 43 persen yang mendukung dihukumnya Snowden karena mengungkapkan program
intelijen tersebut, sementara 48 persen menentangnya. Polling itu
juga menunjukkan 65 persen mendukung diadakannya dengar pendapat publik oleh
Kongres AS mengenai program NSA tersebut. Jika dengar pendapat ini
terselenggara, kita semua bakal lebih informed berkat
pengungkapan yang dilakukan Snowden itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar