Rabu, 24 Juli 2013

Menakar Moralitas Politisi dan Birokrat

Menakar Moralitas Politisi dan Birokrat
Adjie Suradji  ;  Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
KOMPAS, 22 Juli 2013


Tanpa moralitas, seberapa efektif seorang politisi dan birokrat, pasti akan berakhir dengan hasil yang sangat destruktif. (Journal of Academic Ethics)

Tanda-tanda tanpa moralitas itu sudah tampak di Indonesia. Banyak politisi dan birokrat tersangkut masalah hukum. Moralitas pengelola negara ini tampaknya tidak lagi sejalan dengan kegemaran mereka menjalankan ritual agama, atau berkhotbah tentang kebaikan.
Akan tetapi, kalau sampai seorang jenderal, menteri, dan ketua umum partai politik terlibat korupsi, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana moralitas kalau dalam keluarga atau partai politiknya, mereka justru dianggap sebagai pahlawan?
Krisis moral
Apakah moralitas relevan untuk dilekatkan pada perilaku politisi dan birokrat—selaku pengelola negara?
Korupsi adalah perbuatan melanggar hukum dan etika. Namun, di Indonesia, perbuatan ini justru sering dianggap sebagai ”ongkos demokrasi” mengelola negara. Fenomena ini barangkali yang mendasari mengapa skandal BLBI, Lapindo, Century, hingga pengadaan Al Quran, Hambalang, dan impor daging sapi tidak mudah untuk diselesaikan.
Di Indonesia, menemukan politisi dan birokrat yang berpenampilan saleh, seperti rajin beribadah dan paham hukum agama, sangat gampang. Namun, sangat sulit menemukan politisi dan birokrat dengan moralitas tinggi. Maka, idealnya mencari politisi atau birokrat kita harus mensyaratkan dua macam kompetensi: teknis dan moral.
Kompetensi teknis mengandung pengertian profesionalisme. Adapun kompetensi moral adalah perilaku yang menjunjung tinggi norma dasar hukum dan nilai normatif hukum (The Pure Theory of Law; Hans Kelsen, 1881-1973). Nilai normatif hukum identik dengan nilai normatif agama atau norma moralitas.
Perjuangan panjang
Bung Karno pernah berseru, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Inilah yang kita hadapi hari-hari ini. Politisi dan birokrat yang notabene bangsa sendiri, yang mendapat amanat rakyat untuk mengelola negeri ini, justru banyak yang bermoral minus. Akan menjadi negara macam apa Indonesia ke depan kalau hal-hal semacam ini tidak dibenahi?
Apabila dibiarkan seperti sekarang, kemungkinan besar Indonesia akan hancur. Artinya, tidak akan ada lagi negara yang bernama Indonesia. Yang ada hanyalah kawasan penuh bangunan tempat ibadah, dipadati dengan politisi dan birokrat korup, pengacara hitam dan pengusaha kapitalistik.
Tanda-tanda kehancuran Indonesia memang semakin jelas. Ketidakpercayaan masyarakat bangsa ini kepada politisi dan birokrat setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat ketidakpercayaan itu mencapai 51,5 persen—bandingkan dengan 34,6 persen pada 2005.
Ada tiga alasan meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan birokrat negeri ini. Pertama, banyak politisi dan birokrat berbicara tentang perubahan masa depan yang lebih baik, tetapi mereka tidak memiliki semangat berkorban (the spirit of self-sacrifice) dan banyak yang tersangkut masalah hukum. Mereka tidak bisa menjadi teladan (52,10 persen).
Kedua, banyak politisi dan birokrat yang munafik (hipokrit), berbicara atas nama demokrasi, demi kepentingan rakyat dan untuk bangsa dan negara, tetapi realitasnya mereka justru berpola hidup hedonis dan memperkaya diri (65,3 persen).
Ketiga, semakin banyaknya politisi dan birokrat yang berbicara kesalehan (moral), kebenaran dan kejujuran, tetapi perilaku mereka justru amoral—bertentangan dengan agama (37,5 persen).
Mari atasi
Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya— kemerdekaan fisik, mental, sosial-emosional, dan spiritual ─masih panjang dan berliku. Untuk itu, kita—generasi di luar oligarki kekuasaan─—harus perpegang pada ajaran Bung Karno, ”Jangan gampang menyerah pada keadaan”. Ingat pula warisan Jenderal Soedirman untuk mengobarkan semangat juang, berdedikasi, dan mengabdi tanpa pamrih.
Meminjam teori kebutuhan Maslow (motivasi) dan teori dua faktor (Herzberg), manusia cenderung ingin benar sendiri, ingin menang sendiri, dan berambisi mengejar kepentingan sendiri. Sementara itu dalam bersosialisasi, manusia cenderung mengandalkan naluri dan indrawi—kemampuan mengenal jika melihat, mendengar atau merasa. Bukan perilaku yang berkait moral—kesadaran dan hati nurani (John C Maxwell).

Berdasarkan teori ini, dan tipologi masyarakat yang paternalistik, maka hanya keteladanan pemimpin tertinggi di negara ini yang bisa mengubah moralitas politisi dan birokrat secara revolusioner. Maka kalau sampai sekarang negara masih berantakan, itu karena moralitas pemimpin tertinggi di negeri ini belum bisa dijadikan teladan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar