|
KOMPAS,
22 Juli 2013
Tanpa moralitas, seberapa efektif
seorang politisi dan birokrat, pasti akan berakhir dengan hasil yang sangat
destruktif. (Journal of Academic Ethics)
Tanda-tanda
tanpa moralitas itu sudah tampak di Indonesia. Banyak politisi dan birokrat
tersangkut masalah hukum. Moralitas pengelola negara ini tampaknya tidak lagi
sejalan dengan kegemaran mereka menjalankan ritual agama, atau berkhotbah
tentang kebaikan.
Akan tetapi,
kalau sampai seorang jenderal, menteri, dan ketua umum partai politik terlibat
korupsi, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana moralitas kalau dalam keluarga
atau partai politiknya, mereka justru dianggap sebagai pahlawan?
Krisis moral
Apakah
moralitas relevan untuk dilekatkan pada perilaku politisi dan birokrat—selaku
pengelola negara?
Korupsi adalah
perbuatan melanggar hukum dan etika. Namun, di Indonesia, perbuatan ini justru
sering dianggap sebagai ”ongkos demokrasi” mengelola negara. Fenomena ini
barangkali yang mendasari mengapa skandal BLBI, Lapindo, Century, hingga
pengadaan Al Quran, Hambalang, dan impor daging sapi tidak mudah untuk diselesaikan.
Di Indonesia,
menemukan politisi dan birokrat yang berpenampilan saleh, seperti rajin
beribadah dan paham hukum agama, sangat gampang. Namun, sangat sulit menemukan
politisi dan birokrat dengan moralitas tinggi. Maka, idealnya mencari politisi
atau birokrat kita harus mensyaratkan dua macam kompetensi: teknis dan moral.
Kompetensi
teknis mengandung pengertian profesionalisme. Adapun kompetensi moral adalah
perilaku yang menjunjung tinggi norma dasar hukum dan nilai normatif hukum (The Pure Theory of Law; Hans
Kelsen, 1881-1973). Nilai normatif hukum identik dengan nilai normatif
agama atau norma moralitas.
Perjuangan panjang
Bung Karno
pernah berseru, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi
perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Inilah yang
kita hadapi hari-hari ini. Politisi dan birokrat yang notabene bangsa sendiri,
yang mendapat amanat rakyat untuk mengelola negeri ini, justru banyak yang
bermoral minus. Akan menjadi negara macam apa Indonesia ke depan kalau hal-hal
semacam ini tidak dibenahi?
Apabila
dibiarkan seperti sekarang, kemungkinan besar Indonesia akan hancur. Artinya,
tidak akan ada lagi negara yang bernama Indonesia. Yang ada hanyalah kawasan
penuh bangunan tempat ibadah, dipadati dengan politisi dan birokrat korup,
pengacara hitam dan pengusaha kapitalistik.
Tanda-tanda
kehancuran Indonesia memang semakin jelas. Ketidakpercayaan masyarakat bangsa
ini kepada politisi dan birokrat setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan
hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), tingkat ketidakpercayaan itu
mencapai 51,5 persen—bandingkan dengan 34,6 persen pada 2005.
Ada tiga alasan
meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan birokrat negeri
ini. Pertama, banyak politisi dan birokrat berbicara tentang perubahan masa
depan yang lebih baik, tetapi mereka tidak memiliki semangat berkorban (the spirit of self-sacrifice) dan banyak
yang tersangkut masalah hukum. Mereka tidak bisa menjadi teladan (52,10
persen).
Kedua, banyak
politisi dan birokrat yang munafik (hipokrit), berbicara atas nama demokrasi,
demi kepentingan rakyat dan untuk bangsa dan negara, tetapi realitasnya mereka
justru berpola hidup hedonis dan memperkaya diri (65,3 persen).
Ketiga, semakin
banyaknya politisi dan birokrat yang berbicara kesalehan (moral), kebenaran dan
kejujuran, tetapi perilaku mereka justru amoral—bertentangan dengan agama (37,5
persen).
Mari atasi
Perjuangan
bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan yang sesungguhnya— kemerdekaan
fisik, mental, sosial-emosional, dan spiritual ─masih panjang dan berliku.
Untuk itu, kita—generasi di luar oligarki kekuasaan─—harus perpegang pada
ajaran Bung Karno, ”Jangan gampang menyerah pada keadaan”. Ingat pula warisan
Jenderal Soedirman untuk mengobarkan semangat juang, berdedikasi, dan mengabdi
tanpa pamrih.
Meminjam teori
kebutuhan Maslow (motivasi) dan teori dua faktor (Herzberg), manusia cenderung
ingin benar sendiri, ingin menang sendiri, dan berambisi mengejar kepentingan
sendiri. Sementara itu dalam bersosialisasi, manusia cenderung mengandalkan
naluri dan indrawi—kemampuan mengenal jika melihat, mendengar atau merasa.
Bukan perilaku yang berkait moral—kesadaran dan hati nurani (John C Maxwell).
Berdasarkan
teori ini, dan tipologi masyarakat yang paternalistik, maka hanya keteladanan
pemimpin tertinggi di negara ini yang bisa mengubah moralitas politisi dan
birokrat secara revolusioner. Maka kalau sampai sekarang negara masih
berantakan, itu karena moralitas pemimpin tertinggi di negeri ini belum bisa
dijadikan teladan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar