Senin, 08 Juli 2013

Arah Demokratisasi Timur Tengah Pasca-Mursi

Arah Demokratisasi Timur Tengah Pasca-Mursi
Ibnu Burdah  ;  Pemerhati Timur Tengah dan dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Juli 2013


PERGANTIAN rezim di Mesir melalui kudeta plus (mobilisasi massa dan militer) akan menjadi preseden sangat buruk di tengah menggeliatnya proses demokratisasi di sejumlah negara Arab. Posisi Mesir itu unik dan istimewa di dunia Arab. Secara geografis, negara itu berada di tengah antara Arab timur (masyriq) dan Arab barat (maghrib).

Secara kultur, kearaban dan keislamannya juga unik. Mereka berada di tengah, tidak konservatif seperti kecenderungan sebagian besar Arab timur. Mereka juga tidak liberal sebagaimana kecenderungan Arab barat. Mereka di tengah, dan `dekat' ke manamana. Mereka diakui sebagai pemimpin Arab terutama dalam aspek politik, pendidikankeilmuan, dan kebudayaan.

Tidak mengherankan kalau pengaruh Mesir itu luar biasa, baik terhadap negara-negara Arab sebelah timur, barat, apalagi di negara-negara Arab selatannya. Apa yang terjadi di Mesir baru-baru ini dipastikan memperoleh perhatian sangat besar, dan berpotensi besar membawa dampak terhadap kawasan Arab itu, khususnya dalam proses demokratisasi yang mulai kencang sejak akhir 2010.

Preseden buruk

Angin kencang perubahan melalui gerakan rakyat yang disebut dengan `Musim Semi Arab' telah mengubah secara mendasar cara pandang sebagian besar pemimpin dan masyarakat Arab. Mereka mengutuk kediktatoran. Mereka mengutuk cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan senjata sebagaimana praktik politik di kawasan itu selama ini.

Sebagian besar masyarakat mulai meyakini jalan terbaik untuk proses pergantian kekuasaan ialah melalui proses yang demokratis, proses yang meminta partisipasi rakyat seluas-luasnya. Bukan partisipasi para kolonel untuk menyusun rencana kudeta sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.

Namun, perkembangan positif yang baru berlangsung satu-dua tahun itu sudah menemui titik baliknya di Mesir. Ibarat benih padi mulai ditabur, lalu menghasilkan tanaman padi yang begitu indah dan memberikan harapan. Tiba-tiba, padi itu diganti dengan tanaman lain secara paksa.

Yang paling menakutkan dari dampak proses politik di Mesir ialah, masyarakat tidak percaya lagi kepada demokrasi. Sebab suara mereka mudah saja dibajak oleh kombinasi kekuatan massa, media massa, dan militer. Para politikus dan tentara juga demikian. Mereka memberi ruang lagi bagi pemikiran lama, bahwa pemilu bukanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan mereka menuju kekuasaan. Ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni menggabungkan kekuatan-kekuatan fisik, massa, serta media, dan mereka bisa menggagalkan hasil suara rakyat jika memiliki pilar-pilar kekuatan itu.

Model Mesir ini akan menjadi pola yang bisa jadi memiliki daya tarik bagi masyarakat di Libia, Tunisia, Yaman, dan yang lainnya. Tiga negara itu bersama Mesir disebut sebagai negara Arab Springs, negara yang lahir dari rahim revolusi rakyat yang salah satu tujuannya ialah mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bukan militer.

Kondisi umum keempat negara itu hampir sama. Setelah tumbangnya sang diktator yang berkuasa dalam waktu panjang, kelompok-kelompok islamis kemudian naik daun baik menjadi penguasa baru atau menjadi sangat berpengaruh dalam kehidupan pemerintahan. Negara-negara yang masih bereuforia kebebasan itu kemudian terjerumus dalam pertikaian-pertikaian internal yang sangat pelik. Dalam konteks yang sama seperti Mesir itu, sangat mungkin kemudian pola penjatuhan kekuasaan seperti di Mesir akan ditiru oleh negara -negara tersebut.

Jika itu yang terjadi, pembangunan demokrasi tak ada artinya lagi. Manfaat proses demokrasi secara minimal ialah terjadinya pergantian kekuasaan melalui proses damai dan menjadikan suara rakyat sebagai dasar. Hal itu tak ada lagi. Revolusi rakyat di Mesir (2011) itu berarti bisa saja tidak menghasilkan ‘demokrasi’ sebagaimana tujuan awalnya, tetapi justru menghasilkan pola baru dalam perebutan kekuasaan di luar arena demokrasi, yaitu pengerahan massa. Itu sangat berbahaya jika diikuti oleh negara-negara Arab lain yang mulai menapak di jalan demokrasi.

Diktator ketakutan

Yang paling diuntungkan dari peristiwa di Mesir ialah para diktator Arab yang masih menikmati kekuasaan hingga sekarang. Jatuhnya Zaenal Abidin bin Ali, Mubarak, Khadafi, dan Ali Sholeh oleh gerakan rakyat telah membuat kursi kekuasaan para penguasa itu terguncang hebat. Mereka diliputi kecemasan luar biasa setiap saat. Mereka bersedia melakukan apa pun agar gerakan rakyat untuk demokratisasi tak menjalar ke negaranya.

Mereka siap melakukan apa saja asalkan survival dan kekuasaan mereka tak hilang. Bebe membeli 
persenjataan supercanggih dan alat-alat kontrol masyarakat yang harganya sangat tinggi, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pertahanan negara. Mereka juga menggelontorkan program-program sosial yang tak masuk akal khususnya untuk para pemuda penganggur dan terdidik, menyewa para tentara bayaran, dan caracara lainnya yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Semua itu hanya untuk meminimalkan kemungkinan meletusnya gerakan rakyat melawan mereka.

Peristiwa di Mesir menjadi angin segar bagi mereka. Selama ini, mereka berupaya menunjukkan kepada rakyatnya dengan propaganda media secara masif bahwa gerakan rakyat menjatuhkan penguasa berdampak sangat buruk terhadap kehidupan rakyat secara luas. Apa yang terjadi di empat negara `Musim Semi Arab' memang banyak memberikan kecemasan ketimbang harapan. Kini, mereka bisa menunjuk bukti tambahan dengan mudah, yakni Mesir. Para diktator Arab dengan mudah mengatakan perubahan kekua saan secara radikal seperti di Mesir (2011) pasti membawa korban sangat besar. Hal itu tidak mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik, bahkan sebaliknya, membawa mereka kepada pertikaian tanpa ujung dan kehancuran bersama. Wallahu a'lam. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar