|
MEDIA
INDONESIA, 06 Juli 2013
PERGANTIAN rezim di Mesir melalui
kudeta plus (mobilisasi massa dan militer) akan menjadi preseden sangat buruk
di tengah menggeliatnya proses demokratisasi di sejumlah negara Arab. Posisi
Mesir itu unik dan istimewa di dunia Arab. Secara geografis, negara itu berada
di tengah antara Arab timur (masyriq)
dan Arab barat (maghrib).
Secara kultur, kearaban dan keislamannya juga unik. Mereka
berada di tengah, tidak konservatif seperti kecenderungan sebagian besar Arab
timur. Mereka juga tidak liberal sebagaimana kecenderungan Arab barat. Mereka
di tengah, dan `dekat' ke manamana. Mereka diakui sebagai pemimpin Arab
terutama dalam aspek politik, pendidikankeilmuan, dan kebudayaan.
Tidak mengherankan kalau pengaruh Mesir itu luar biasa,
baik terhadap negara-negara Arab sebelah timur, barat, apalagi di negara-negara
Arab selatannya. Apa yang terjadi di Mesir baru-baru ini dipastikan memperoleh
perhatian sangat besar, dan berpotensi besar membawa dampak terhadap kawasan
Arab itu, khususnya dalam proses demokratisasi yang mulai kencang sejak akhir
2010.
Preseden buruk
Angin kencang perubahan melalui gerakan rakyat yang disebut
dengan `Musim Semi Arab' telah mengubah secara mendasar cara pandang sebagian
besar pemimpin dan masyarakat Arab. Mereka mengutuk kediktatoran. Mereka
mengutuk cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan senjata
sebagaimana praktik politik di kawasan itu selama ini.
Sebagian besar masyarakat mulai meyakini jalan terbaik
untuk proses pergantian kekuasaan ialah melalui proses yang demokratis, proses
yang meminta partisipasi rakyat seluas-luasnya. Bukan partisipasi para kolonel
untuk menyusun rencana kudeta sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.
Namun, perkembangan positif yang baru berlangsung satu-dua
tahun itu sudah menemui titik baliknya di Mesir. Ibarat benih padi mulai
ditabur, lalu menghasilkan tanaman padi yang begitu indah dan memberikan
harapan. Tiba-tiba, padi itu diganti dengan tanaman lain secara paksa.
Yang paling menakutkan dari dampak proses politik di Mesir
ialah, masyarakat tidak percaya lagi kepada demokrasi. Sebab suara mereka mudah
saja dibajak oleh kombinasi kekuatan massa, media massa, dan militer. Para
politikus dan tentara juga demikian. Mereka memberi ruang lagi bagi pemikiran
lama, bahwa pemilu bukanlah satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan mereka
menuju kekuasaan. Ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni menggabungkan
kekuatan-kekuatan fisik, massa, serta media, dan mereka bisa menggagalkan hasil
suara rakyat jika memiliki pilar-pilar kekuatan itu.
Model Mesir ini akan menjadi pola yang bisa jadi memiliki
daya tarik bagi masyarakat di Libia, Tunisia, Yaman, dan yang lainnya. Tiga
negara itu bersama Mesir disebut sebagai negara Arab Springs, negara yang lahir
dari rahim revolusi rakyat yang salah satu tujuannya ialah mewujudkan
pemerintahan yang demokratis, bukan militer.
Kondisi umum keempat negara itu hampir sama. Setelah
tumbangnya sang diktator yang berkuasa dalam waktu panjang, kelompok-kelompok
islamis kemudian naik daun baik menjadi penguasa baru atau menjadi sangat
berpengaruh dalam kehidupan pemerintahan. Negara-negara yang masih bereuforia
kebebasan itu kemudian terjerumus dalam pertikaian-pertikaian internal yang
sangat pelik. Dalam konteks yang sama seperti Mesir itu, sangat mungkin
kemudian pola penjatuhan kekuasaan seperti di Mesir akan ditiru oleh negara
-negara tersebut.
Jika itu yang terjadi, pembangunan demokrasi tak ada
artinya lagi. Manfaat proses demokrasi secara minimal ialah terjadinya
pergantian kekuasaan melalui proses damai dan menjadikan suara rakyat sebagai
dasar. Hal itu tak ada lagi. Revolusi rakyat di Mesir (2011) itu berarti bisa
saja tidak menghasilkan ‘demokrasi’ sebagaimana tujuan awalnya, tetapi justru
menghasilkan pola baru dalam perebutan kekuasaan di luar arena demokrasi, yaitu
pengerahan massa. Itu sangat berbahaya jika diikuti oleh negara-negara Arab
lain yang mulai menapak di jalan demokrasi.
Diktator
ketakutan
Yang
paling diuntungkan dari peristiwa di Mesir ialah para diktator Arab yang masih menikmati
kekuasaan hingga sekarang. Jatuhnya Zaenal Abidin bin Ali, Mubarak, Khadafi, dan
Ali Sholeh oleh gerakan rakyat telah membuat kursi kekuasaan para penguasa itu terguncang
hebat. Mereka diliputi kecemasan luar biasa setiap saat. Mereka bersedia melakukan apa pun agar gerakan rakyat untuk
demokratisasi tak menjalar ke negaranya.
Mereka siap melakukan apa saja asalkan survival dan
kekuasaan mereka tak hilang. Bebe membeli
persenjataan supercanggih dan
alat-alat kontrol masyarakat yang harganya sangat tinggi, yang sama sekali tak
ada hubungannya dengan pertahanan negara. Mereka juga menggelontorkan
program-program sosial yang tak masuk akal khususnya untuk para pemuda
penganggur dan terdidik, menyewa para tentara bayaran, dan caracara lainnya
yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Semua itu hanya untuk meminimalkan
kemungkinan meletusnya gerakan rakyat melawan mereka.
Peristiwa di Mesir menjadi angin segar bagi mereka. Selama
ini, mereka berupaya menunjukkan kepada rakyatnya dengan propaganda media
secara masif bahwa gerakan rakyat menjatuhkan penguasa berdampak sangat buruk
terhadap kehidupan rakyat secara luas. Apa yang terjadi di empat negara `Musim
Semi Arab' memang banyak memberikan kecemasan ketimbang harapan. Kini, mereka
bisa menunjuk bukti tambahan dengan mudah, yakni Mesir. Para diktator Arab
dengan mudah mengatakan perubahan kekua saan secara radikal seperti di Mesir
(2011) pasti membawa korban sangat besar. Hal itu tidak mengantarkan mereka
kepada kehidupan yang lebih baik, bahkan sebaliknya, membawa mereka kepada
pertikaian tanpa ujung dan kehancuran bersama. Wallahu a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar