|
IndoPROGRESS,
01 Juli 2013
DALAM
sistem neoliberalisme, Politik (dalam pengertian P besar) sebagai sebuah
ikhtiar publik untuk melayani kepentingannya sendiri telah bangkrut. Apa yang
terjadi, politik semata-mata diorientasikan untuk melayani dan tunduk pada
mekanisme pasar. Segala sesuatu yang menghambat hukum pasar, baik yang datang
dari negara, kelas, dan komunitas harus disingkirkan. Politik disapu bersih
oleh, meminjam Walter Benjamin, ‘angin puyuh kemajuan/storm of progress.[1]Jika pada masa Benjamin ‘kemajuan’ itu adalah
‘modernisasi,’ maka pada kita, ‘kemajuan’ itu adalah ‘neoliberalisme.’
Dalam neoliberalisme, pasar bebas adalah dasar dan tujuan bermasyarakat.
Inilah yang kita saksikan hari-hari ini. Politik menjadi
sesuatu yang menjengkelkan, membuang-buang waktu. Birokrasi itu korup dan tidak
efisien. Partai politik, apalagi, parasit yang harus disingkirkan jauh-jauh
dari rasionalitas hubungan sosial. Kalau terpaksa harus dipertahankan, jadikan
saja sebagai kuda tunggangan untuk mereka yang baik. Para politisi adalah
orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri, yang
omongannya tak bisa dipegang karena lidahnya bercabang banyak, yang bertindak
berdasarkan kepentingan jangka pendek dan sempit, kini dan di sini.
Demonstrasi-demonstrasi, dengan berbagai alasan, mengganggu kelancaran
pergerakan barang dan jasa, bikin kotor, bikin macet, meresahkan, apalagi jika
sudah meletus jadi bentrokan.
Politik
(dalam pengertian p kecil) lalu menjadi urusannya para manajer dan teknokrat,
baik itu di level birokrasi pemerintahan, korporasi, serta LSM. Kalkulasi
politik menjadi kalkulasi untung rugi secara ekonomis. ‘Sudahlah kita
hitung-hitungan bisnis aja,’ begitu mantra saktinya. Masyarakat digiring pada
sebuah jalan rasionalitas bahwa ‘jika ingin maju, ingin efisien, ingin setara,
ingin beradab, inilah jalan yang mesti dilalui walaupun sulit dan menyakitkan.’
Dalam hal pencabutan subsidi BBM, rasionalitas ini bekerja dengan sempurna,
yang konsekuensinya Politik ditaruh di bawah perhitungan matematis mengenai
seberapa besar uang yang bisa diselamatkan sebagai hasil dari kebijakan
‘populer’ selama ini. Follow the money, bukan follow the public lalu menjadi motivasi utama di
balik pembuatan kebijakan publik. Dengan kata lain, karena pengeluaran anggaran
untuk publik tidak mendatangkan penambahan jumlah uang, maka kebijakan tersebut
adalah keliru.
Tetapi, pasar yang merupakan meja dimana segala harapan
dan daya imajinasi mengenai kemakmuran diletakkan tak pernah bekerja sesuai
skenario. Bersamaan dengan pencapaiannya akan pertumbuhan ekonomi, ia juga
mengerek tinggi-tinggi bendera ketimpangan sosial, membuka lebar-lebar peta
kemiskinan massal di seantero wilayah, dan mengkriminalisasi kaum marjinal.
Sialnya ketika pasar mengalami krisis, ia membawa serta semua orang dalam
penderitaan, bahkan mereka yang tidak menikmati kue pembangunan di masa
pertumbuhan ekonomi. ‘Kapitalisme buat yang kaya dan sosialisme buat yang
miskin,’ kata orang AS ketika mereka terpaksa ikut menderita akibat krisis
ekonomi. Selain itu, pasar bersamaan dengan retorika kebebasan yang
dihembuskannya, menggandeng pula aparatus-aparatus kekerasan negara dan
non-negara untuk menjaga kebebasannya itu. Individu bebas dalam pasar adalah
individu yang bergerak atau beraktivitas dalam batas-batas logika pasar. Si
kaya dan si miskin tetap menjadi individu bebas sejauh ia terus melakukan
tranksasi, tetapi begitu transaksi itu terganggu maka pasar melalui aparatusnya
siap mengambilalih kebebasan tersebut. Inilah kontradiksinya, sehingga itu kita
tidak dapat menghentikan daya rusak pasar dengan semakin mengintegrasikan diri
ke dalam pasar.
Sektarianisme
sebagai mekanisme kontrol sosial
Tentu
saja mekanisme pasar untuk mendisiplinkan masyarakat melalui kompetisi, logika
ekspansi dan akumulasi kapital, serta kriminalisasi kaum miskin, tidak
berlangsung secara otomatis dan sukarela. Seperti yang saya katakan di
atas, kapitalisme-neoliberal selalu membutuhkan negara melalui aparatus
represif dan hegemoniknya untuk proses pendisiplinan itu. Pendisiplinan ini
bertujuan untuk menundukkan dan mengontrol potensi-potensi dan aksi-aksi
perlawanan yang muncul dalam masyarakat terhadap ketimpangan sosial-ekonomi
akibat penerapan kebijakan neoliberalisme. Di sini negara fungsinya menjadi
algojo (state punishment) dari orde neoliberal.
Namun,
pada tahap tertentu, ketika proses demokrasi membatasi pengerahan aparatus
negara secara langsung untuk mendisiplinkan masyarakat, negara kemudian
memfasilitasi dan memanfaatkan elemen-elemen non-negara untuk proses
pendisiplinan itu. Di negara-negara kapitalis maju, elemen non-negara ini
tampil dalam bentuk privatisasi jasa keamanan serta privatisasi penjara yang
kini populer disebut prison-industrial-complex,
atau kelompok-kelompok neo-fasis. Di Indonesia, elemen-elemen non-negara itu
muncul dalam bentuk kelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam, Forum Umat
Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, dsb.
Nah, pemanfaatan elemen-elemen non-negara itu diproduksi
melalui sebuah proses politik yang tidak bertujuan mengoreksi kontradiksi
sosial dan ekonomi yang dimunculkan oleh sistem tersebut. Itu
sebabnya, kalangan ini aktif mempromosikan isu-isu sektarian, baik yang
berbasis agama, ras maupun etnis. Aksi-aksi ini tidak bercorak vertikal, yang
bertujuan mempertanyakan atau mengoreksi ketimpangan penguasaan dan distribusi
akses-akses ekonomi. Apa yang disuarakan dalam setiap aksi tersebut sepenuhnya
bercorak horizontal: sesat, kafir, penodaan agama, menihilkan yang lain,
anti-Barat, atau antek zionis yang intinya mengusung isu-isu moral yang
abstrak. Jika toh mereka mempertanyakan ketimpangan penguasaan ekonomi, maka
itu sepenuhnya bertolak dari kacamata agama, ras, atau etnis.
Dengan karakternya seperti itu, maka jika Politik adalah
sebuah ikhitiar publik untuk melayani kepentingannya, maka proses politik
berbasis sektarian ini saya sebuat sebagai ‘politik yang anti politik.’ Ia
tidak membawa kita pada demokrasi sejati melainkan pada barbarisme.
Demikianlah, melalui aksi-aksi kekerasan terhadap
kelompok-kelompok yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah, Syiah, dan tentu
saja, Kristen, harus dilihat sebagai bagian dari proses pendisiplinan hubungan
sosial yang ada. Para penyerang ini tak mungkin bisa beraksi, jika tidak diberi
peluang atau didukung oleh negara atau fraksi-fraksi tertentu dalam negara.
Apalagi dengan sejarah negara Indonesia yang sangat kuat, yang kekuasaannya
menjulur di seluruh lini kehidupan, dari pusat ibukota yang gemerlap hingga ke
desa-desa terpencil, maka mustahil mengabaikan peran negara dalam
aksi-aksi kekerasan ini. Melalui aksi-aksi kekerasan elemen non-negara itu,
negara secara langsung maupun tidak langsung mau menyatakan kepada para
penentangnya ‘jangan berani-berani melawan kami.’ Dan terbukti, kelompok
pengusung sektarianisme ini juga bisa dengan mudah menyerang kelompok buruh,
mahasiswa, atau organisasi komunitas yang memperjuangkan hak-hak
sosial-ekonominya.
Aceh
sebagai contoh kasus
Jika
kekerasan sektarian merupakan bagian dari strategi rezim neoliberal untuk
memecah-belah dan mengontrol munculnya perlawanan dalam masyarakat, maka
bagaimana kita menempatkan kasus Aceh? Di provinsi itu, penerapan Syariah
diwujudkan melalui sebuah mekanisme demokrasi elektoral, atau ditetapkan oleh
pemimpin yang terpilih secara demokratik. Apakah ini juga bagian dari kontrol sosial?[2]
Sekadar
mengingatkan, Aceh adalah sebuah wilayah yang hubungannya dengan pemerintah
pusat, lebih sering ditandai oleh konflik sosial dan politik ketimbang kerjasama
dan perdamaian. Studi Graham K. Brown (2005)[3] menunjukkan bahwa akar dari hubungan yang
konfliktual itu adalah pada lebarnya kesenjangan ekonomi akibat proses
pembangunan yang diterapkan Orde Baru. Aceh, sebagai salah satu provinsi
terkaya di Indonesia, ternyata juga adalah salah satu provinsi termiskin.
Kenyataan ini jelas tak bisa diterima oleh penduduk lokal, yang kemudian
terekspresikan dalam tuntutan untuk merdeka dari apa yang mereka sebut sebagai
‘kolonialisme Jawa.’
Kita semua tahu, rezim Orba kemudian merespon tuntutan
merdeka tersebut dengan sebuah operasi militer yang berdarah-darah. Sementara
akar masalah, berupa kesenjangan penguasaan akses ekonomi, sama sekali
tidak dibereskan. Akibatnya, rezim Orba gagal memadamkan perjuangan menuntut
kemerdekaan tersebut, sampai kemudian Soeharto jatuh pada 1998 dan jalan damai
penyelesaian konflik menjadi opsi yang paling realistis.
Setelah
proses perdamaian Helsinki, Aceh kemudian memperoleh status otonomi khusus.
Para kombatan turun gunung, rakyat bersuka, proses politik mulai digelar, lalu
hasil pun dicapai. Namun, walaupun menggunakan hukum Syariah, mekanisme dan
desain pemerintahan sepenuhnya berwatak demokrasi elektoral. Pertanyaan
kemudian, apakah imajinasi politik untuk bisa mengelola kekayaan alam secara
adil dan mensejahterahkan kehidupan penduduk lokal terpenuhi? Sebagai provinsi
yang kaya sumberdaya alam, apakah pemerintahan baru ini mampu mensejahterahkan
rakyatnya, seperti tuntutan mereka ketika melawan rezim Orba? Kenyataannya
dengan kandungan SDA yang begitu tinggi, [4] ‘Kemiskinan di Aceh berada pada urutan ketujuh
di Indonesia atau peringkat satu untuk wilayah Sumatera’ ujar Gubernur Aceh,
Zaini Abdullah (2012). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa
tingkat kemiskinan Aceh berada pada kisaran 19,48 persen. Angka ini berada jauh
di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 persen. [5]
Masih
menurut pemerintah Aceh, kemiskinan itu disebabkan oleh tingkat pendidikan yang
rendah, minimnya lapangan kerja, dan rendahnya etos kerja. Tapi, apa benar
kemiskinan itu karena budaya rakyat Aceh sendiri? Saya katakan tidak. Seoharto
dan para intelektualnya sudah mengatakan ini ketika memulai proses pembangunan
di Aceh ketika itu, dan terbukti keliru. Lalu kenapa pemerintah Aceh pasca
Helsinki ini kembali mengulang-ulang mantra-mantra modernisasi
pembangunan a la rezim Orde Baru?
Di sini kita mesti menempatkan motif utama dibalik
pengkambinghitaman sikap budaya rakyat Aceh itu untuk membenarkan beroperasinya
kebijakan neoliberal. Ini tampak dari berbagai pernyataan pejabat lokal bahwa
untuk menghela laju pembangunan ekonomi Aceh tidak bisa diserahkan pada
dinamika lokal, melainkan harus meminta bantuan korporasi keuangan
internasional (IFC) yang merupakan bagian dari Bank Dunia.
‘Aceh saat ini butuh investor asing untuk membawa modal,
teknologi tepat guna, untuk membantu meningkatkan nilai produk-produk kami.
Kepada mereka yang melakukan investasi minimum Rp. 5 milyar, kita siap untuk
membebaskan mereka dari kewajiban membayar pajak lokal,’ demikian janji Said
Yulizal, direktur Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP), kabupaten Aceh
Besar.
Jika
dilihat lebih detil lagi, maka sebenarnya SDA Aceh itu telah dikapling-kapling
baik oleh perusahaan-perusahaan multinasional, seperti ExxonMobil yang
menguasai PT Arun LNG, maupun oleh para pengusaha nasional seperti Arifin
Panigoro, Surya Paloh, Tommy Winata, Siti Hartati Murdaya, Aburizal Bakrie,
bahkan mantan kombatan GAM seperti Muzakkir Manaf.[6] Bersama-sama dengan para elite oligarki ini, elite
politik lokal Aceh mengeksploitasi SDA Aceh yang kaya raya tersebut untuk
kepentingan mereka.
Lalu, apa pentingnya penerapan Syariat Islam jika ia
tidak bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan sosial tersebut, yang menurut
Brown, merupakan dasar perlawanan Aceh terhadap pemerintah pusat di masa lalu?
Atau dalam pernyataan yang berbeda, karena ketimpangan penguasaan dan
distribusi kekayaan SDA itu terus berlangsung, maka potensi perlawanan kini
mengarah pada elite lokal di Aceh. Disinilah, menurut saya, pemerintah
dan elite lokal Aceh menjadikan Syariat Islam ini sebagai alat untuk mengontrol
dan menundukkan potensi perlawanan rakyat terhadap ketimpangan sosial-ekonomi
akibat pemberlakuan kebijakan neoliberal. Dari perspektif pemerintah
Aceh, karena rakyatnya berpendidikan rendah, tidak punya motivasi berprestasi,
dan karenanya rawan akan tindakan kriminal, maka melalui seperangkat kebijakan
hukum Syariah, rakyat Aceh harus didisiplinkan kehidupan sosialnya.
Pembangkangan terhadap UU yang ditetapkan oleh sebuah lembaga
politik ini, lalu diabstraksikan sebagai pembangkangan terhadap perintah Allah,
kitab suci, Nabi, dan hadis-hadisnya. Dan tentu saja pembangkangan itu patut
diganjar menurut hukum yang ditafsirkan sebagai suci, dan melalui ganjaran
itulah kehidupan sosial didisiplinkan.
Siapa yang berani membangkang dan
melawan dicap sebagai sesat, kafir, anti-Islam, dihukum, dst. Dengan tradisi beragama
yang kuat di Aceh, ancaman dan tuduhan sesat tentu saja akan dihindari
semaksimal mungkin. Di sinilah mekanisme pendisiplinan sosial itu bekerja,
karena UU tersebut berimplikasi politik yang sangat luas. Melalui kontrol
ketat atas tubuh, cara berpakaian, dan berperilaku, yang diimbangi dengan
hukuman, maka rakyat dibikin tak berdaya.
Mengembalikan
yang Politik
Melalui pemaparan singkat ini, saya berpendapat
perlawanan terhadap aktivitas politik yang anti-politik tersebut, tidak bisa
dilokalisir sebagai persoalan penerapan hukum Syariah, atau lebih khusus lagi,
dalam konteks perang tafsir ayat-ayat suci dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW,
semata. Perlawanan seperti ini, bukan saja tidak efektif, tapi tidak menyentuh
akar persoalan yang ada karena melepaskan aksi-aksi tersebut dari konteks
ekonomi-politiknya. Selama kita terus berpikir dan bertindak partikular, maka
sejatinya kita tidak berbeda dengan kelompok yang mengendepankan ‘politik yang
anti-politik’ itu.
Bersamaan dengannya, perlawanan terhadap politik
sektarianisme harus ditujukan untuk menghidupkan kembali Politik, sebagai
ikhtiar publik untuk melayani kepentingannya. Dan di sini, kita mesti
berani menentang ‘angin puyuh’ neoliberalisme yang telah menjadi meja
pertaruhan hidup kita saat ini. Karena inilah ruang dimana kita tidak bisa
bicara Politik, kecuali mengikuti hukum besi pasar yang impersonal yang dikawal
oleh negara. Dengan mengritik dan menentang sistem kapitalisme-neoliberal, kita
dipaksa untuk berpikir holistik, secara menyeluruh, karena inilah desain
pembangunan yang kita anut dan jalani selama ini. Karena itu menjadi absurd,
jika kemarin kita menentang aksi-aksi sektarianisme tapi hari ini kita
mendukung kebijakan pencabutan subsidi BBM. ●
Kepustakaan
[1] Henry A. Giroux, Neoliberalism and the death of the social
state: remembering Walter Benjamin’s Angel of History, Social Identities, Vol. 17, No. 4, 2011.
[2] Saya membahas hukum Syariah ini sebagai sebuah gagasan
politik untuk menopang kepentingan ekonomi-politik dari elite lokal di Aceh.
Studi yang lebih detil berkaitan dengan turunan dari hukum Syariah ini secara
ekonomi politik, bisa dibaca pada studi Michael Buehler, The rise of shari’a by-laws in Indonesian districts
An indication for changing patterns of power accumulation and political
corruption, South
East Asia Research, 2008.
[3] Graham K. Brown, Horizontal Inequalities, Ethnic Separatism,
and Violent Conflict:The Case of Aceh, Indonesia, Human Development Report, 2005.
[4] Laporan kementerian energi dan Sumber Daya Alam (2007),
misalnya, menyebutkan bahwa Aceh diperkirakan memiliki kandungan emas 20 juta
ton, 600 juta ton tembaga, 32 juta ton platinum, 32 juta ton merkuri, 53.000
ton timah, 350,000 ton biji besi, 6.4 juta ton besi, dan 600 juta ton
molybdenum. Lihat Andi Haswidi, Aceh province moves to exploit natural-resource
potential, Jakarta Post, Thusday, April 19, 2007,
[5] ‘Aceh termiskin se-Sumatera,’ Waspada Online, Thursday, 28
June 2012,
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=251946:aceh-termiskin-se-sumatera&catid=13:aceh&Itemid=26
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=251946:aceh-termiskin-se-sumatera&catid=13:aceh&Itemid=26
[6] Untuk laporan lebih detil mengenai ekonomi-politik
penguasaan SDA Aceh ini, lihat Goergo Junus Aditjondro, Profiting From Peace: The Political Economy of
Aceh’s Post-Helsinki Reconstruction, Working Paper #3, INFID, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar