Kamis, 18 Juli 2013

Akuntabilitas Fasilitas Pejabat

Akuntabilitas Fasilitas Pejabat
Tasroh  ;   Anggota Tim Penataan Aset Daerah Pemkab Banyumas, Alumnus Pascasarjana Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
JAWA POS, 15 Juli 2013


BERITA pemecatan seorang direktur utama (Dirut) BUMN oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan menyodok perhatian publik. Apalagi penyebabnya adalah istri sang pejabat menggunakan fasilitas suaminya yang pejabat BUMN di bidang infrastruktur dan logistik (Jawa Pos, 11/7). Sang menteri yang dikenal lugas itu juga menyebutkan banyak fasilitas pejabat negara justru dipergunaan untuk kepentingan "lain-lain", di luar kedinasan. 

Memang jamak di mana-mana penggunaan fasilitas negara oleh "orang dekat" sang pejabat negara. Baik itu di eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga pejabat BUMN/D dan pemerintah daerah. Apa yang dilakukan Dahlan terasa menyentak karena selama ini tidak pernah terdengar penyalahgunaan fasilitas negara itu ditindak secara tegas dan tuntas.

Sebenarnya, sudah ada aturan main di UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan dan Kekayaan Negara  serta UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan aturan pelaksanaannya. Ditegaskan di sana, segala aset, fasilitas, dan sarana negara dilarang dimanfaatkan dan atau dipergunakan oleh orang atau pihak lain di luar tugas pokok dan fungsi sang pejabat tersebut (pasal 45). Bahkan, pelanggarnya diancam dengan denda Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar (pasal 49 UU nomor 1/2004).

Kepatuhan pada aturan hukum dan akuntabilitas di birokrasi amat bergantung pada ketegasan, kedisiplinan, dan kepedulian pemimpin. Kebiasaan pinjam pakai, sewa, atau bahkan alih fungsi fasilitas negara sering dianggap lumrah. Sebab, sistem birokrasi masih mengidap kronisme, nepotisme. Fasilitas pejabat seolah fasilitas keluarga. Semakin tinggi jabatan seseorang semakin mudah "nyah-nyoh" terhadap barang dan fasilitas negara.

Lalu, bagaimana mencegahnya? Sebenarnya sederhana, tinggal belajar dari banyak negara maju. Seperti di Jepang, setiap fasilitas negara tidak sekadar diatur secara makro, tetapi juga detail pemanfaatan dan pemakaiannya. Ketika saya belajar di Jepang, Prof Maniavm, direktur pascasarjana Ritsumeikan Asia Pacific University (Ritsumeikan Ajia Taiheiyô Daigaku), selalu meninggalkan mobil fasilitas kampus di garasi kampus, tanpa dibawa pulang. Dia pulang dengan angkutan umum. Kedisiplinan itu jadi tradisi karena bisa berdampak hukum bagi pelanggarnya. Juga bisa dipecat seperti yang dilakukan Dahlan Iskan.

Dalam Public Officials Conduct (2008)pemerintah Jepang, selain ancaman hukum yang pasti dan tuntas, digarisbawahi kesederhanaan fasilitas untuk pejabat. Kemewahan fasilitas bukan prioritas, tetapi lebih ke tujuan fungsional untuk memudahkan pelaksanaan tugas. Misalnya, mobil 1.000 cc dengan semua biaya operasionalnya ditanggung pemakai agar sang pejabat tidak pamer dan seenaknya menggunakan fasilitas.

Di Indonesia, selain bebas dibawa pulang ke rumah masing-masing, semua kebutuhan mobil dinas (mulai biaya servis hingga BBM) ditanggung dinas. Sang pejabat juga diberi kebebasan pada pilihan kendaraan dan fasilitas yang dipakainya. Mobil 1.000 cc yang sederhana dan hemat BBM justru jarang sebagai kendaraan dinas. Sang pemimpin birokrasi justru lebih senang dalam pengadaan barang/jasa kantor yang mewah dan mahal.

Karena itulah, gampang dilihat mobil-mobil dan fasilitas kantor pejabat kita boros BBM dan mahal karena mewah. Tidak hanya pejabat BUMN yang beraset total Rp 3.000 triliun, untuk pejabat daerah pun pilihannya mobil ber-cc besar, boros, dan mahal biaya perawatan. 

Pejabat Jepang dituntut sadar dengan kondisi keuangan negara. Mereka amat peduli dengan kondisi keuangan negaranya karena perilaku dan tindakan para pejabatnya turut menentukan baik buruknya kondisi itu. Untuk alasan inilah, pemerintah Jepang akan memberikan fasilitas kepada seorang pejabat tidak secara otomatis. Selain dilihat dari kemampuan ekonomi sang pejabat, juga dilihat dari rekam jejaknya.

Ketentuan demikian ternyata berhasil mengendalikan nafsu "foya-foya" pejabat Jepang, sekaligus menghemat anggaran negara mencapai JPY 2 miliar (sekitar Rp 200 miliar) per tahun (the Japan Times, 23/6/2009). Kepercayaan publik pada pejabat pun terjaga. Tidak keliru kalau pemerintahan Jepang dikenal sebagai birokrasi pemerintahan yang paling disiplin, efektif, efisien, dan produktif. Spirit ini sekaligus menumbuhkan "merasa menghargai" bukan miliknya dan semua fasilitas negara yang dipakai akan dipertanggungjawabkana secara periodik. 

Jadi, apa yang dilakukan Dahlan dengan memecat pejabat BUMN yang membiarkan fasilitas negara dimanfaatkan oleh pihak yang bukan berwenang perlu terus dikembangluaskan. Perlu disentuh praktik tata kelola aset dan fasilitas negara di instansi lainnya. Sebab, berdasar data Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu, tiap tahun terdapat pengalihfungsian 2.823 kendaraan dinas negara di berbagai instansi pemerintahan lainnya yang berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 1,5 triliun (Sindo, 23/6/2013). 

Karena itu, jika sedang berkampanye hemat anggaran negara, hendaknya pemerintah juga menerapkan prinsip-prinsip tata kelola aset negara dan ketegasan seperti yang dilakukan Dahlan Iskan. Wajar kita berharap pemerintahan SBY mengembangterapkannnya lebih lanjut ke instansi/lembaga negara yang lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar