|
KOMPAS,
01 Juli 2013
Berhubung
demokrasi merupakan fondasi dari suatu pengalaman hidup bebas, di ranah
sosio-politik ia terus-menerus berusaha menemukan suatu solusi problematis bagi
pembentukan suatu komunitas dari manusia-manusia bebas. Problematis karena
solusi tersebut tak kunjung henti dipersoalkan, termasuk kedemokrasian kita
sekarang ini.
Betapa tidak.
Demokrasi representatif yang diusung oleh kaum reformis mengesankan semakin
tidak demokratis. Ini tecermin pada sikap publik yang semakin banyak bergairah
menjadi golput berhadapan dengan euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang
berkembang di kalangan politikus berpartai. Ketidakpuasan terhadap
kedemokrasian yang berlaku dinyatakan pula oleh gerakan yang semakin gencar menuntut
pemekaran daerah dengan dalih perwujudan otonomi.
Prinsip ekonomi
tetap dinyatakan sebagai ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.
Sebagai realisasinya, rakyat dipersilakan untuk ”berpesta demokrasi”, memilih
wakilnya, yang notabene ditetapkan oleh parpol, lima tahun sekali. Sesudah itu
rakyat tidak perlu lagi aktif berpolitik. Para wakil yang dipilihnya mengambil
alih wewenang dan hak rakyat membuat keputusan-keputusan politik. Mereka
berbuat begitu ”atas nama” rakyat.
Prinsip
demokrasi katanya tetap dijunjung tinggi, tetapi pemerintahan yang dilahirkan
oleh pesta demokrasi itu menggunakan esensi dari disposisinya untuk melucuti
kekuasaan dari rakyat dengan jalan mengorganisasi dan melegitimasi
ucapan-ucapan dari para wakil rakyat, yang berarti membungkam suara rakyat yang
katanya berkuasa. Pembungkaman rakyat menjadi semakin luas dan semakin berlapis
melalui praktik legislasi parlementer-trikameral, yaitu dengan keberadaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, di samping Dewan
Perwakilan Rakyat.
Kelihatan
sekali betapa politikus berlomba-lomba menjadi ”wakil rakyat yang terhormat”,
berambisi berbicara ”atas nama...”. Kecenderungan ini, apa pun dalihnya, tentu
tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja tanpa sanksi. Dan rakyat memang sudah
semakin muak, lebih senang dan puas menjadi golput saja daripada diatasnamakan
terus-menerus.
Para warga
negara (citizens) yang menyebut
dirinya ”wakil rakyat” seharusnya tidak mengklaim membuat sendiri
undang-undang. Mereka seharusnya tidak punya kehendak partikular untuk
dipaksakan. Jika mereka toh mendiktekan kehendak, memaksakan kemauan politik,
Indonesia tidak lagi merupakan negara representatif. Indonesia lalu berpeluang
menjadi negara demokratis. Rakyat di satu negeri yang bukan demokrasi, dan
Indonesia seharusnya tidak begitu, tidak bisa bicara, tidak dapat bertindak,
kecuali melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kontinu
Namun,
demokrasi dewasa ini tidak mungkin dibuat langsung seperti keadaan aslinya dulu
di zaman Yunani Purba, di mana setiap warga berbicara sendiri di Agora mengenai
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Jadi, persoalannya sekarang adalah
bagaimana dalam sistem dan suasana demokrasi-tak-langsung, demokrasi
representatif, warga negara masih mungkin dan dibenarkan aktif berpartisipasi
langsung dalam membuat undang-undang dan mengambil keputusan.
Anggapan bahwa
pembahasan undang-undang akan lebih terjamin apabila dilaksanakan oleh
orang-orang terpilih melemah di saat rakyat, yang adalah juga warga negara yang
punya kuasa, menyatakan kemampuannya untuk melakukan sendiri pengambilan
keputusan. Jadi, kebajikan hakiki demokrasi di transformasi dari ”hak rakyat
untuk memilih dan dipilih” menjadi ”kebebasan rakyat berpartisipasi aktif
setiap waktu dalam memutuskan”. Dengan kata lain, yang menjadi masalah krusial
dalam berdemokrasi adalah bagaimana membuat ”demokrasi representatif” bisa
berfungsi efektif sebagai suatu ”demokrasi kontinu”. Artinya, rakyat bisa
mengambil keputusan tidak hanya satu kali dalam lima tahun, tetapi
terus-menerus selama lima tahun.
Praktik
demokrasi kontinu ingin memperhitungkan, selain ”kebajikan hakiki” demokrasi,
juga ambiguitas fundamental dan penggerak konfigurasi politik kontemporer, di
mana setiap unsur mungkin dapat dianalisis sebagai suatu modernisasi dari
sistem representatif atau awal dari kemerosotannya, dari suatu usaha kolektif
yang terlepas dari (masalah) representasi dan langsung terkait dengan upaya
pengukuhan pembentukan bangsa kita yang, per definisi, serba rawan.
Jadi, demokrasi
kontinu berbeda dengan demokrasi langsung karena ia memupus distingsi antara
yang mewakili dan yang mewakilkan. Ia juga berbeda dengan demokrasi
representatif berhubung kerjanya memintasi (bypass) organ representatif. Ia
berbuat begitu bukan hendak meniadakan representatif, melainkan karena ia
mentransformasi dan memperluas ruang partisipasi langsung dari rakyat dengan
menciptakan bentuk-bentuk partikular yang memungkinkan opini berkarya politis,
yaitu kontrol yang kontinu dan efektif terhadap kebijakan/aksi pemerintahan, di
luar momen-momen pemilihan umum atau pemberian suara.
Partisipasi
langsung dari warga negara dalam pengambilan keputusan politik dapat merupakan
instrumen yang memperkuat pendelegasian kekuasaan. Satu di antara instrumen itu
adalah model pembangunan nasional dalam term
”ruang sosial”, yang bertujuan menciptakan kebahagiaan bersama (a common happiness), bukan pembangunan
ekonomi dalam term produk nasional bruto (GNP), yang bertujuan meningkatkan
kemakmuran bersama (a commonwealth),
seperti yang dilakukan rezim Orde Baru dan kini dilanjutkan oleh rezim
Reformasi.
Model
pembangunan nasional itu sudah beberapa kali saya paparkan di harian ini dalam
konteks yang berbeda. Kali ini saya hanya ingin mengingatkan betapa relevan
model tersebut dengan kebajikan dari demokrasi kontinu begitu rupa hingga
bahkan bisa menjadi mekanisme pengukuhan pembentukan negara-bangsa kita.
Ruang sosial
Kebahagiaan
bersama adalah milik rakyat yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Namun,
rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan makhluk manusia yang mengelompok dengan
jalan apa saja. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar orang, yang
berasosiasi dalam suatu persetujuan tentang keadilan dan kemitraan bagi
kebaikan bersama. Asosiasi seperti ini bukanlah berkat dorongan kelemahan
individual, tetapi karena spirit sosial tertentu yang disuratkan alam dari diri
manusia.
Asosiasi alami
tersebut terjadi di suatu ruang sosial. Ruang ini adalah ruang hidup rakyat
yang konkret, diciptakan dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu.
Hubungan antara referen dan pembangunan diformulasikan sebagai suatu ”gerakan
komunitas”, selama proses di mana komunitas yang bersangkutan terasa menjadi
lebih adil, lebih akseptabel karena lebih manusiawi. Di sini setiap warga diajak
merundingkan rasionalitas setiap proyek pembangunan, baik yang berasal dari
pusat maupun atas inisiatif pemerintahan lokal.
Jadi, dalam
model pembangunan dalam term ruang sosial ini, ”musyawarah” (sila keempat
Pancasila) antar-orang yang berkepentingan merupakan satu keniscayaan, terlepas
dari kedudukan formal, sosial, dan tingkat keterpelajaran individual
masing-masing. Berarti semua warga ”diuwongke”,
dianggap bermartabat setara. Berhubung terbuka kemungkinan untuk membahas tidak
hanya ongkos finansial, tetapi juga opportunity costsdari proyek, model
pembangunan ini mendorong kebiasaan how
men behave, sesuai dengan pesan-pesan implisit Pancasila selaku dasar
filosofis bernegara, bukan how
markets behave (home economicus).
Dengan begitu,
dalam politik tercipta participatory
democracy, bukan spectator
democracy dan pembangunan menjadi participatory development, bukan spectator development. Jika interaksi kewargaan dijalankan terus
secara konsisten akan lahir budaya-budaya lain (hukum, ekonomi, artistik, pengetahuan)
yang menjurus ke pembentukan masyarakat pembelajar, yaitu dasar ideal bagi
pembentukan masyarakat madani.
Ruang sosial
yang dengan sadar dibina oleh konsep pembangunan nasional ini menjadi atmosfer
yang menghasilkan pengalaman eksternal. Pengalaman konstruktif ini disimpulkan
sebagai faktor sentripetal oleh pikiran manusia dan karena itu menjadi state
of mind, bahkan jalan pikiran (mindset).
Bila demikian, ia berpotensi memupus kerawanan dari dasar pembentukan bangsa.
Bangsa adalah the will to live together (Renan).
Jadi ”bangsa” bukan suatu entitas yang sudah jadi. Ia selalu in potentia,
tidak pernah in actu,
terus-menerus dalam status nascendi.
Jadi, istilah ”bangsa” bukan menarasikan kemapanan keadaan, tetapi suatu tekad,
suatu usaha kolektif terarah dan terpadu dan berkesinambungan, berupa
pembangunan nasional yang beratmosfer demokrasi kontinu.
Filosofi politik
Di samping
sebagai statecraft, demokrasi kontinu merupakan suatu filosofi politik
mengenai the polity, yang jauh lebih luas daripada lembaga-lembaga
pemerintahan. Ia meliputi semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan lain-lain
faktor pada mana pemerintah bergantung dan, karena itu, untuk mana pemerintah
seharusnya berusaha membentuk pengaruh.
Bila demikian,
Indonesia bukan hanya sekadar ”suatu lokalitas fisik”. Hotel adalah suatu
lokalitas fisik (George F Will). Ia punya penghuni. Indonesia tidak punya
penghuni, tetapi warga negara (citizens).
Maka, Pemerintah Indonesia yang demokratis seharusnya berperan sekaligus
sebagai ”tutor” dan ”pelayan” bagi para warga negara. Sebab, ”kewarganegaraan”
(citizenship) merupakan suatu jalan
pikiran (mindset). Mengingat setiap
aksi manusia berawal dari pemikiran, maka dalam benak manusia itu perlu
dibangun mindset yang serba
human dan konstruktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar