Rabu, 03 Juli 2013

Larangan Polwan Berjilbab

Larangan Polwan Berjilbab
Tiara Puspitasari ;  Peneliti Politik di LBH Justitia, Semarang
SUARA MERDEKA, 02 Juli 2013


Belakangan ini, soal larangan berjilbab bagi polisi wanita (polwan) menjadi perdebatan yang menarik. Secara agamais, jilbab merupakan identitas perempuan muslim dan sebagai kewajiban menjalankan perintah agama, sehingga tidak ada alasan melarang wanita menggunakan jilbab, apalagi di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

Menarik untuk dicermati Surat Ke­putusan Kapolri No Pol: Skep/702/ IX/2005 yang tidak memboleh­kan polisi wanita menggunakan jilbab di lingkungan institusinya.

Meskipun surat ini sudah dibuat pada 200, namun efeknya baru terasa saat ini. Padahal negara Indonesia tidak pernah memisahkan antara negara dan agama.

Hal ini dapat dilihat dari sila pertama Pancasila yang berbunyi ’’Ketuhanan yang Ma­ha Esa’’, namun sepertinya hal ini tidak diindahkan oleh Polri.

Sejauh ini juga belum ada kasus yang menimpa Polri gara-gara personelnya menggunakan jilbab saat bertugas.

Larangan penggunaan jilbab ini berkaitan dengan peraturan seragam. Tentu alasan yang dikemukakan Polri sangat tidak mendasar. Masalah seragam itu berbeda dari jilbab. Jilbab bukan bagian dari seragam melainkan identitas keyakinan seseorang dalam menjalankan kehidupannya sebagaimana aturan agama yang diyakininya.

Kebijakan Polri ini melukai perasaan pemeluk agama Islam, dan dapat menimbulkan tafsir bahwa memberantas teroris dimulai dari memberantas jilbab di institusinya sendiri. Dugaan ini sebenarnya tidak boleh lahir dan Polri sendiri juga tidak boleh mengundang masyarakat untuk melahirkan paradigma demikian.

Bertentangan

Polisi wanita di Nanggroe Aceh Darussalam mengenakan jilbab karena peraturan di daerah tersebut mengharuskan wanita menggunakan jilbab.

Pertanyaannya, jika di Aceh saja bisa dan tidak ada masalah, lantas mengapa di daerah lain harus ada peraturan diskriminatif.

Kebijakan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 secara hukum sudah bertentangan dengan paraturan di atasnya. UUD 1945, pasal 29, ayat 2, menyebutkan negara menjamin kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk meme­luk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jika konstitusi saja sebagai hukum tertinggi dalam hierarki menjamin peme­luknya menjalankan keyakinannya dalam hal menggunakan jilbab, lantas apa hak Polri melarang penggunaan jilbab? Peraturan Polri tersebut su­dah bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan harus dicabut oleh pihak kepolisian.

Jika Polri enggan mencabut peraturan tesebut, maka pihak yang merasa hak konstitusionalnya hilang karena peraturan tersebut dapat menguji peraturan ini.

Kebijakan pelarangan penggunaan jilbab sebenarnya bukan hanya ada di institusi kepolisian, di institusi lain juga pernah ada larangan pemakaian jilbab.

Dunia pendidikan juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu melarang siswinya yang muslim menggunakan jilbab saat foto ijazah, dan bagi pihak yang tidak mengikuti aturan tersebut harus membuat surat pernyataan.
Paradigma kuno yang selalu digunakan berbagai pihak untuk membuat jilbab itu tampak tidak baik seharusnya menjadi bahan renungan kita, karena usaha pelarangan jilbab sudah semakin terlihat tujuannya.
Padahal jilbab sendiri bukanlah sesuatu penghalang seseorang beraktivitas, justru melindungi penggunanya dalam beraktivitas.

Tidak Relevan

Jilbab selalu saja dianggap sebagai simbol yang tidak relevan digunakan pada era yang su­dah maju.
Pernyataan demikian adalah pernyataan orang yang meng­inginkan negara dan agama dipisahkan, sehingga Indonesia tampak seperti negara sekuler layaknya Turki.

Namun, lagi-lagi semua itu kembali pada Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum tertinggi, bahwa negara dan agama di Indonesia tidak pernah terpisahkan melainkan satu kesatuan.
Hukum itu sejatinya dibentuk untuk manusia, sehingga hukum harus bisa menyesuaikan fungsinya untuk manusia yang berperilaku dinamis. Apabila hukum dibentuk untuk memaksakan kehendak, maka bukan keadilan yang didapatkan me­lainkan kesengsaraan bagi yang menjalankannya.

Peraturan sepihak seperti pelarangan penggunaan jilbab harus dibatalkan, apa pun alasannya. Karena hukum dibentuk hanya untuk kepentingan pe­ngua­sa, bukan kepentingan manusia secara alami.

Hukum juga tidak boleh bertentangan dengan local wisdom manusia itu sendiri, hukum harus dinamis, tidak statis. Kekakuan hukum akan membawa dampak buruk bagi tegaknya hukum itu sendiri.


Kesimpulannya adalah la­rangan jilbab merupakan kebi­jakan kaku yang dibuat Polri dan ini bertentangan dengan HAM yang dijamin konstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar