|
SUARA
MERDEKA, 02 Juli 2013
Belakangan ini, soal larangan berjilbab bagi polisi wanita (polwan)
menjadi perdebatan yang menarik. Secara agamais, jilbab merupakan identitas
perempuan muslim dan sebagai kewajiban menjalankan perintah agama, sehingga
tidak ada alasan melarang wanita menggunakan jilbab, apalagi di negara dengan
mayoritas muslim terbesar di dunia.
Menarik untuk dicermati Surat Keputusan Kapolri No Pol:
Skep/702/ IX/2005 yang tidak membolehkan polisi wanita menggunakan jilbab di
lingkungan institusinya.
Meskipun surat ini sudah dibuat pada 200, namun efeknya
baru terasa saat ini. Padahal negara Indonesia tidak pernah memisahkan antara
negara dan agama.
Hal ini dapat dilihat dari sila pertama Pancasila yang
berbunyi ’’Ketuhanan yang Maha Esa’’, namun sepertinya hal ini tidak
diindahkan oleh Polri.
Sejauh ini juga belum ada kasus yang menimpa Polri
gara-gara personelnya menggunakan jilbab saat bertugas.
Larangan penggunaan jilbab ini berkaitan dengan peraturan
seragam. Tentu alasan yang dikemukakan Polri sangat tidak mendasar. Masalah
seragam itu berbeda dari jilbab. Jilbab bukan bagian dari seragam melainkan
identitas keyakinan seseorang dalam menjalankan kehidupannya sebagaimana aturan
agama yang diyakininya.
Kebijakan Polri ini melukai perasaan pemeluk agama Islam,
dan dapat menimbulkan tafsir bahwa memberantas teroris dimulai dari memberantas
jilbab di institusinya sendiri. Dugaan ini sebenarnya tidak boleh lahir dan
Polri sendiri juga tidak boleh mengundang masyarakat untuk melahirkan paradigma
demikian.
Bertentangan
Polisi wanita di Nanggroe Aceh Darussalam mengenakan jilbab
karena peraturan di daerah tersebut mengharuskan wanita menggunakan jilbab.
Pertanyaannya, jika di Aceh saja bisa dan tidak ada
masalah, lantas mengapa di daerah lain harus ada peraturan diskriminatif.
Kebijakan Kapolri No Pol: Skep/702/IX/2005 secara hukum sudah
bertentangan dengan paraturan di atasnya. UUD 1945, pasal 29, ayat 2,
menyebutkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Jika konstitusi saja sebagai hukum tertinggi dalam hierarki
menjamin pemeluknya menjalankan keyakinannya dalam hal menggunakan jilbab,
lantas apa hak Polri melarang penggunaan jilbab? Peraturan Polri tersebut sudah
bertantangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan harus dicabut oleh pihak
kepolisian.
Jika Polri enggan mencabut peraturan tesebut, maka pihak
yang merasa hak konstitusionalnya hilang karena peraturan tersebut dapat
menguji peraturan ini.
Kebijakan pelarangan penggunaan jilbab sebenarnya bukan
hanya ada di institusi kepolisian, di institusi lain juga pernah ada larangan
pemakaian jilbab.
Dunia pendidikan juga pernah melakukan hal yang sama, yaitu
melarang siswinya yang muslim menggunakan jilbab saat foto ijazah, dan bagi
pihak yang tidak mengikuti aturan tersebut harus membuat surat pernyataan.
Paradigma kuno yang selalu digunakan berbagai pihak untuk
membuat jilbab itu tampak tidak baik seharusnya menjadi bahan renungan kita,
karena usaha pelarangan jilbab sudah semakin terlihat tujuannya.
Padahal jilbab sendiri bukanlah sesuatu penghalang
seseorang beraktivitas, justru melindungi penggunanya dalam beraktivitas.
Tidak Relevan
Jilbab selalu saja dianggap sebagai simbol yang tidak
relevan digunakan pada era yang sudah maju.
Pernyataan demikian adalah pernyataan orang yang menginginkan
negara dan agama dipisahkan, sehingga Indonesia tampak seperti negara sekuler
layaknya Turki.
Namun, lagi-lagi semua itu kembali pada Pancasila yang
merupakan sumber dari segala sumber hukum tertinggi, bahwa negara dan agama di
Indonesia tidak pernah terpisahkan melainkan satu kesatuan.
Hukum itu sejatinya dibentuk untuk manusia, sehingga hukum
harus bisa menyesuaikan fungsinya untuk manusia yang berperilaku dinamis.
Apabila hukum dibentuk untuk memaksakan kehendak, maka bukan keadilan yang
didapatkan melainkan kesengsaraan bagi yang menjalankannya.
Peraturan sepihak seperti pelarangan penggunaan jilbab
harus dibatalkan, apa pun alasannya. Karena hukum dibentuk hanya untuk
kepentingan penguasa, bukan kepentingan manusia secara alami.
Hukum juga tidak boleh bertentangan dengan local wisdom manusia itu sendiri, hukum
harus dinamis, tidak statis. Kekakuan hukum akan membawa dampak buruk bagi
tegaknya hukum itu sendiri.
Kesimpulannya adalah larangan jilbab merupakan kebijakan
kaku yang dibuat Polri dan ini bertentangan dengan HAM yang dijamin konstitusi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar