Rabu, 03 Juli 2013

Integritas Pemilu dan Setahun DKPP

Integritas Pemilu dan Setahun DKPP
Apung Widadi ;  Analis Politik Independen, Alumnus Universitas Diponegoro
DETIKNEWS, 01 Juli 2013



Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) genap berusia setahun pada Jumat (28/6) lalu. Dari hari pertama kelahirannya hingga saat ini, DKPP telah menerima pengaduan dari masyarakat dan menyidangkan 81 kasus pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu (Detiknews,28/6).

Lembaga etik Pemilu tersebut lahir dari rahim UU Pemilu, keberadaannya bukannya hal baru. Dalam UU Nomor 22 tahun 2007 dikenal dengan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Namun ibarat janin, masih belum begitu kuat kewenangannya, lembaga ini hanya berfungsi memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memeberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat ad hoc. 

Baru kemudian, dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara Pemilu, DKPP diakui sebagai lembaga yang bersifat tetap. Punggawa DKPP dipilih secara musyarawah oleh DPR RI, untuk kepengurusan 2012-2017 saat ini digawangi oleh lima orang yang terdiri dari tiga unsur, DPR, KPU dan Bawaslu. 

Ibarat bayi yang baru saja lahir, kelahiran dan kinerja DKPP perlu syukuri dan dijaga pertumbuhannya untuk mewujudkan Pemilu 2014 yang berintegritas. Tantangan dan risiko menegakkan integritas itulah yang tidak mudah, penuh rintangan dan perlawanan politisi yang ingin menang dengan memanfaatkan segala cara, termasuk mengintervensi dan “bermain” dengan penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu dipusat ataupun didaerah.

Bakteri problem penyelenggaraan Pemilu dan Pemilukada saat ini adalah korupsi administratif yang dilakukan oleh penyelenggara sehingga berdampak pada hasil Pemilu yang kurang fair. Modus umum biasanya, oknum penyelenggara ikut ‘bermain’ membantu salah satu calon dan kontestan agar menang dengan cara memanipulasi administratif, pemalsuan dokumen, hingga intervensi hasil suara. 

Jika sudah seperti ini, penyelenggara harusnya sebagai wasit tetapi ikut berpihak pada peserta, maka bisa dipastikan hasilnya yang berkuasa adalah pemerintah yang korup, dan tidak berpihak kepada rakyat. Suara rakyat tidak lagi suara tuhan, tetapi suara manusia yang dimanipulasi. 

Ke depan saat Pemilu 2014 berlangsung, tentu saja akan menjadi tugas berat bagi DKPP menegakkan integritas Pemilu. Kinerja satu tahun cukup berani dengan memberi sanksi kepada penyelenggara yang terbukti bersalah. Tidak tanggung tanggung, pemecatan menjadi opsi keputusan yang sering dilakukan oleh DKPP. Korbannya, mantan ketua Bawaslu Provinsi Jakarta pernah merasakan. Terkahir, DKPP memberi teguran administratif kepada KPU Pusat terkait dengan sengketa partai politik.

Tantangan 

Tentu tidak mudah bagi DKPP, lembaga yang baru lahir dan masih ‘menyusu’ pada Bawaslu berjuang menegakkan Integritas Pemilu. Tantangan lembaga etik tersebut ada dua, yaitu internal dan eksternal. 

Secara internal, kelembagaan DKPP juga perlu berbenah diri dalam hal keorganisasian dan kemandirian dalam bekerja. Dalam arti, pengelolaan anggaran negara, program kerja dan penegakkan etik harus dilakukan secara mandiri agar dapat progresif dan independen. Usulan revisi bentuk DKPP dalam UU Pemilu menjadi mandiri tidak dibawah Bawaslu menjadi relevan dalam hal ini.

Dari sisi eksternal, beban kerja menegakkan integritas Pemilu juga tidak mudah dan semakin banyak. Kualitas dituntut berbanding lurus dengan kuantitas kasus yang pasti akan meningkat. Pelanggaran kode etik oleh penyelenggara diprediksi akan semakin banyak dan waktu untuk memutuskan sangatlah sempit. Intervensi politik terhadap DKPP juga mungkin akan terjadi karena dinilai akan menghalangi konsolidasi elit politik korup yang memanfaatkan penyelenggara untuk merebut kuasa. 

Kedua tantangan tersebut akan menuntut perbaikan sumberdaya baik manusia maupun pendukung lainya agar kinerja DKPP dalam menegakkan integritas Pemilu menjadi optimal. Untuk itu diperlukan formula yang tepat agar bayi DKPP ini mampu tumbuh sehat dan berlari menegakkan dan membangun sistem integritas Pemilu yang kuat, efektif dan putusannya dapat memberi efek jera kepada penyelenggara Pemilu yang nakal. Namun begitu, harapannya DKPP tidak menjadi lembaga yang manja di mana karena keterbatasan saat ini akhirnya tidak bekerja secara optimal menegakkan integritas Pemilu.

Menjelang pertempuran sesungguhnya menegakkan integritas Pemilu 2014, DKPP harus berbenah dan butuh dukungan semua pihak termasuk Pemerintah dalam hal logistik dan sumberdaya penegakkan etik. Ini penting, sebab Indonesia akan mengalami fase genting, fase dimana demokrasi kita akan beranjak dari masa transisi menuju masa konsolidasi demokrasi, integritas pemilu menjadi prasyarat mutlak. 

Tanpa integritas, konsolidasi demokrasi tidak akan terjadi, sebaliknya konsolidasi elit yang akan berkuasa memimpin negeri ini. Tanpa integritas, kemenangan bisa dirampas tangan politikus kotor yang berkongkalikong dengan penyelenggara, jika begitu lalu dimana vox populi vox dei?.

Akhirnya, Dirgahayu DKPP, semoga mampu menjadi “malaikat pencabut nyawa”, mengakhiri ajal para bedebah demokrasi berwujud penyelenggara pemilu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar