Kamis, 18 Juli 2013

Menjawab Kegalauan atas Nasib Petani

Menjawab Kegalauan atas Nasib Petani
M Noor Azasi Ahsan ;  Anggota Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan dan Divisi Perundang-undangan/Kebijakan Publik Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU)
SINAR HARAPAN, 15 Juli 2013


Setelah melalui proses pembahasan yang cukup panjang, dua rancangan undang-undang (RUU), yaitu RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) dan RUU Pencegahan Perusakan Hutan (P2H), akhirnya disepakati untuk disahkan menjadi undang-undang.

RUU P3 selain untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, bencana alam, dan risiko usaha, serta gejolak ekonomi global dan sistem pasar yang memarjinalkan petani, juga merupakan wujud pengakuan negara atas hak-hak dasar petani yang wajib dilindungi.

Sementara itu RUU P2H terutama didorong maraknya pertambangan, perkebunan, pembalakan liar, termasuk land clearing melalui aktivitas pembakaran yang merusak hutan. Kekhawatiran mengenai kemungkinan kriminalisasi terhadap petani yang ada di sekitar hutan akhirnya dijawab melalui penyempurnaan nomenklatur “terorganisasi” dalam ketentuan umum RUU P2H ini.

Kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial tidak termasuk dalam kategori pelaku pembalakan liar dan perusakan hutan yang terorganisasi.
Mungkinkah petani atau peladang tradisional ini juga sekaligus diberdayakan sebagai jagawana, menjaga hutan sambil melakukan aktivitas budi daya di bawah tegakan dan mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) di atasnya?

Peran sebagai Jagawana

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Di dalam hutan inilah, petani atau peladang tradisional dan masyarakat adat melakukan berbagai ritual kehidupan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam hutan. Ikan dari sungai, hewan buruan, kayu, dan rotan untuk pondokan, madu alam hingga bahan bakar dari ranting dan serasah.

Dalam ketentuan mengenai peran serta masyarakat, pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, antara lain dengan cara turut serta melakukan pengawasan dalam penegakan hukum pemberantasan perusakan hutan; dan/atau melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Di Nganjuk, kelompok tani yang biasa membudidayakan umbi porang di bawah tegakan jati telah menerapkan sanksi terhadap para pencuri kayu yang tertangkap; denda senilai harga kayu yang dicuri dan menanam 10 pohon untuk setiap pohon yang dicuri.

Selain sebagai jagawana, petani juga bisa membantu manggala agni dalam mengatasi kebakaran hutan. 
Penanganan kebakaran di Sepahat dan Pelintung, Riau, sudah melibatkan Masyarakat Peduli Api (MPA).
Untuk mengatasi ego sektoral, seperti yang tampak dalam persoalan kebakaran ini, RUU P2H juga mengamanahkan pembentukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan yang bersifat independen, serta berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

RUU ini juga membedakan subjek hukum atas tindakan pidana perusakan hutan menjadi satu orang atau pelaku individual dan korporasi.

Tindakan pidana perusakan hutan secara garis besar meliputi penebangan atau pembalakan liar, menadah dan mengedarkan hasil pembalakan liar, memiliki peralatan yang biasa digunakan dalam aktivitas pembalakan liar tanpa izin, membantu berlangsungnya pembalakan liar, serta menjalankan dan memanfaatkan hasil tambang dan hasil perkebunan di kawasan hutan tanpa izin dari pihak berwenang.

Satu hal yang sebenarnya tak kalah merusak adalah pembalakan legal yang berlangsung secara masif. Hasil hutan hasil pembalakan liar juga sering diputihkan melalui penerbitan surat keterangan seolah-olah kayu tersebut berasal dari kawasan hutan produksi tetap yang sudah ada izinnya.

Adanya ketentuan bahwa pejabat yang mengetahui dan membiarkan berlangsungnya pembalakan liar dan perusakan hutan juga akan dikenai pidana mudah-mudahan bisa mengurangi potensi penyimpangan seperti ini.

Hak Petani

Bagaimana dengan hak-hak petani dalam RUU P3? Menurut RUU ini, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Untuk melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat bencana alam, serangan organisme pengganggu tanaman, wabah penyakit menular, dampak perubahan iklim, dan jenis risiko lainnya, juga ada skema perlindungan melalui asuransi pertanian.

Selain itu ada pula fasilitasi pembiayaan dan permodalan yang dilakukan melalui pinjaman modal kepemilikan lahan, bantuan penguatan modal, subsidi bunga pinjaman dan pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau program Kemitraan dan Bina Lingkungan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Baik program asuransi maupun pembiayaan usaha tentu saja perlu dijalankan secara profesional, dan mau tidak mau harus BUMN yang kompeten yang menjalankannya.

Pembiayaan usaha pertanian bisa melalui penugasan pada Bank BRI, sedangkan asuransi kerugian dan jaminan sosial untuk petani bisa dijalankan oleh Jamsostek atau perusahaan asuransi yang sudah berpengalaman. Pembiayaan dan asuransi perlu dibuat dengan skema yang kompatibel dengan karakteristik usaha tani dan jam kerja petani.

RUU P3 ini juga membedakan antara kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani. Kelembagaan petani terdiri atas kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi, dan dewan komoditas nasional.

Kelembagaan ekonomi petani berupa badan usaha milik petani. Badan hukumnya diusulkan berupa koperasi atau badan hukum lain sesuai perundang-undangan. Pengarustamaan koperasi merupakan sebuah terobosan penting dalam RUU ini.

Perlindungan petani juga menggunakan instrumen tarif bea masuk dan tarif bea keluar, rekomendasi produk yang bisa masuk, karantina dan sertifikasi kesehatan, subsidi dan imbal jasa, serta pemanfaatan pasar modern dalam pemasaran produk lokal.

Namun, RUU ini belum secara tegas mendukung reforma agraria melalui program peningkatan luas lahan bagi petani gurem secara progresif dan belum mencakup perlindungan nelayan. Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah melalui penerbitan peraturan pemerintah atau pun legislator yang akan datang melalui usul inisiatif RUU Reforma Agraria dan RUU Perlindungan Nelayan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar