Sabtu, 20 Juli 2013

Dihina dan Dipuja

Dihina dan Dipuja
Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
KOMPAS, 01 Juli 2013
  

“Gembira disebut goblok, sukacita kalau dihina”, begitu kata KGPAA Mangkunegoro IV, raja dan sekaligus penyair (1809-1881).

Baris puisi terebut terdapat dalam bukunya yang amat terkenal di abad ke-19 dan abad ke-20, Wedatama, pengetahuan hidup utama, yang aslinya dalam bahasa Jawa adalah bungah ingaranan cubluk, sukeng tyas yen den ina. Inilah kearifan spiritual kaum sufi. Itu pulalah yang dialami dan dijalani para nabi, manusia-manusia utama. Untuk manusia biasa macam kita ini bunyinya menjadi terbalik, ”marah besar disebut goblok, mengamuk kalau dihina.”
Dunia kita sekarang memang terbalik secara diametral dengan nenek moyang kita di masa silam. Dahulu, hal-hal spiritual, kerohanian, menguasai kehidupan sehari-hari. Sekarang, hal-hal material duniawi menguasai kehidupan bersama kita.
Serba dunia materi dengan serba rohani memang merupakan pasangan oposisioner. Kalau manusia memilih sisi dunianya, maka sisi rohaniahnya ditinggalkan. Kalau manusia memilih sisi rohaniahnya, maka sisi duniawi yang dinegasikan. Anda merasa pahit dan getirnya dihina karena Anda sedang menikmati sukacitanya dipuja-puja orang. Coba kalau Anda sudah siap sedia dihina, ”sukacita kalau dihina”, maka baik pujaan maupun hinaan tidak akan mempan mengubah perasaan Anda.
Posisi Anda paling aman di dunia ini adalah memasang diri Anda di tempat paling bawah. Pandai tetap merasa bodoh. Kaya tetap merasa tidak punya apa-apa. Berkuasa tetap merasa sebagai bawahan. Cakep tetap merasa dirinya ada cacat.
Dunia yang terbalik
Kita dididik dan dibesarkan dalam pandangan dunia yang terbalik dari zaman Pangeran Mangkunegoro IV. Kata-kata mukjizat tiap hari adalah ”sukses”, ”maju”, ”super”. Kita semua hanya disiapkan untuk ”menang”, ”unggul”, ”kelas wahid”. Akibatnya, kegagalan tak pernah siap kita hadapi. Kegagalan adalah sebuah dunia gelap tak dikenal. Kita bingung ketika terjerumus ke dalamnya, bahkan ada yang begitu tak bermaknanya ”tidak naik kelas” atau ”tidak lulus” sekolah lantas bunuh diri.
Ruang pengadilan dipenuhi perkara ”perbuatan tidak menyenangkan”. Sedikit-sedikit merasa dihina, direndahkan, dicemarkan nama baiknya. Televisi membikin blow up perseteruan, pertengkaran, penghinaan, makian, antara para selebritas, dalam porsi jauh lebih banyak dan jauh lebih sering daripada tangis kelaparan anak-anak miskin di Indonesia bagian timur.
Pikiran kita dipenuhi oleh gambaran ”maju”, ”baru”, ”unggul”, ”menang”, ”juara”, ”nomor satu”, ”super”. Apa gunanya semua ini kalau setiap negara yang mencapai status unggul, juara, dan nomor satu tadi hanya berujung pada penciptaan perang? Kemajuan dan keunggulan dalam sejarah hanya dapat dihentikan oleh kalah perang. Bacalah kembali sejarah kesombongan tentang keunggulan ini.
Mau super atau hidup damai tenteram? Ya, mau maju dong, Pak? Masa mau melarat terus? Ya, boleh-boleh saja, cuma ingat sisi pasangan negasinya. Jangan cuma kenal suksesnya belaka. Kalau sudah kaya jangan merasa paling kaya, tetapi ingatlah sebagai tidak punya apa-apa. Kalau sudah berkuasa jangan merasa paling kuasa, tetapi juga tidak berkuasa apa pun. Kalau sudah maha-guru, ya, harus merasa menjadi maha-siswa.
Guru-besar itu sebenarnya cuma murid-kecil. Kalau sudah ambivalen semacam itu, maka kaya dan miskin sama saja. Goblok dan pintar sama saja. Berkuasa dan pesuruh sama saja. Kawula dan gusti itu sama saja. Gusti itu ya kawula, kawula itu juga gusti. Kalau kamu dikatakan goblok, gembiralah. Kalau kamu dihina, sukacitalah. Karena seperti itulah manusia utama di mana pun dan kapan pun.
Sesuatu yang metafisik dan rohaniah adanya bukan di dunia ini. Namun kalau kamu mau menjadikan dunia ini seperti surga, ya cuma cara itulah yang harus kamu jalani. Nah, itu orang Indonesia menamainya Pancasila.
Pancasila dalam dunia sepak bola itu dilakukan oleh tim sepak bola Brasil. Kalah dan menang itu bukan tujuan utama. Mereka mengutamakan permainan yang cantik dan punya style, artinya menyenangkan orang lain, penontonnya. Kalau mereka menang pun tidak sorak gembira membanggakan diri sebagai juara. Kalau kalah pun tidak akan menderita. Kalah dan menang itu biasa. Akan tetapi kalau Anda ternyata kalah, Anda tidak apa-apa karena siap kalah. Coba bandingkan dengan Pancasila Indonesia, kalau tim pujaannya kalah, penontonnya mengamuk, merusak toko-toko dan membakari mobil lewat. Menang itu pujaan, kalah adalah kehinaan.
Sekarang ini yang sejenis itu terjadi di mana-mana di Indonesia. Dunia Indonesia sudah terbalik sejak pertengahan abad ke-20. Kearifan primordial dibuang jauh-jauh, digantikan pikiran modernitas yang berprinsip menang atau kalah, maju atau mundur, mulur atau mungkret, dipuja atau dihina, sukses atau gagal. Sementara itu kearifan lokal nenek moyang kita adalah ya menang ya kalah, ya maju ya mundur, mulur-mungkret.
Adalah William Shakespeare yang dalam lakon Hamlet bertanya dalam filsafatnya: to be or not to be, ada atau tiada, itulah persoalan pokoknya. Kalau orang Indonesia mempunyai Shakespeare mungkin akan menjawab: ada dan tiada itu sama saja, itulah jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar