Sabtu, 20 Juli 2013

Keluar dari Kutukan Mubarak

Keluar dari Kutukan Mubarak
Novriantoni Kahar ;   Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah
MAJALAH TEMPO, 15-21 Juli 2013


 isis Mesir pasca-kudeta atas Presiden Muhammad Mursi, 3 Juli 2013 lalu, tampaknya kian rumit dan mulai berdarah-darah. Kerumitan ini hanya bisa dipahami jika kita mampu menelusuri pangkal masalahnya. Bagi saya, ini soal transisi yang tidak mudah dari otokrasi menuju demokrasi. Sejak menegara 6000 tahun silam, Mesir sudah mapan dengan kepemimpinan “raja separuh dewa” (al-malik al-ilah) yang menghadirkan rasa gentar, sakral, dan menuntut kepatuhan. Musim Semi Arab menggoyang kemapanan itu. Sejak 2011 lalu, tembok-tembok ketakutan, kesakralan, dan kepatuhan rakyat Mesir telah goyah (Saad Eddin Ibrahim, 2013).

Namun, di kancah politik Timur Tengah, Mesir terlalu penting untuk berubah secara radikal. Menjelang Husni Mubarak tumbang, aspirasi rakyat yang terkuat adalah berakhirnya otokrasi dan tegaknya demokrasi. Husni Mubarak secara salah kaprah terlanjur dilabeli, mengutip peneliti Timur Tengah dari Universitas Durhan, Khalil al-Anani, “otokrat liberal”, bukan sosok otoriter yang absolut. Celakanya, mitos “otokrasi liberal” Mubarak itulah yang dianggap paling pas untuk negara sepenting Mesir. Dalam sistem otokrasi itu, politik tetap didominasi penguasa tunggal yang selalu pandai melakukan manipulasi. Doktrin utamanya: katakan saja apa yang kau suka, aku (penguasa) akan mengerjakan apa yang aku mau.

Selama 3 dekade, itulah yang ditempuh Mubarak. Sang otokrat terus mengkhianati rakyatnya sembari menipu dunia dengan pilihan ganda: terima otokrasiku atau demokrasi akan membawa Mesir jatuh ke pangkuan fundamentalisme! Sang otokrat menyembunyikan fakta bahwa dari rahimnyalah fundamentalisme dibuahi dan alternatifnya—seperti gerakanKifayah yang telah menyemai benih-benih kaum demokrat lintasfaksi—berguguran mati. Namun apa daya, ramalan Mubarak sahih dan kini menjadi semacam kutukan. Alternatif dirinya adalah fundamentalisme al-Ikhwan al-Muslimun selaku kekuatan politik tergigih selama dia memerintah.

Peran Amerika sebagai broker politik masa transisi menjadi relevan di titik ini. Yang saya pahami, kepentingan Amerika di masa peralihan Mesir ini cuma dua. Pertama, Mesir tetap menjadi penyeimbang kawasan agar radikalisme menentang Israel tidak menguat. Kedua, Mesir tetap serta dalam perang global melawan terorisme. Di luar dua kepentingan itu, seperti pemenuhan tuntutan para pejuang Tahrir, hampir pasti bersifat sekunder belaka.

Dari dua kepentingan itulah muncul ide reformasi terkendali (orderly reform) yang disuarakan Presidan Amerika, Barack Obama tatkala Mubarak sudah tak tertolong lagi. Ketika itu, kudeta dianggap aksi penyelamatan negara. Mandat perubahan dititipkan kepada tentara sebagai partner jangka panjang Amerika. Dan berbekal platform itulah Dewan Tinggi Militer Mesir bekerjasama dengan faksi-faksi konservatif dalam melucuti tuntutan revolusi Tahrir. Kisah pengkhianatan itu berlanjut ke era Mursi yang diharapkan menyingkirkan otokrasi lewat jalur demokrasi. Abang Sam kini lebih pusing lagi. Lalu muncul ilusi: otokrasi mungkin saja dipertahankan dengan wajah yang lebih agamis.

Setelah menolak hasil demokrasi di Gaza, Amerika justru dihadapkan pada leluhur Hamas di Negeri Kinanah Mesir. Para Ikhwan ini terlalu besar untuk ditolak walau tak terlalu hebat untuk gagal. Pilihan logis adalah memberi mereka peluang memerintah sembari menitipkan dua agenda: amannya hubungan Mesir dengan Israel dan penanggulangan terorisme. Bagi kaum muda Tahrir, kedua agenda itu berhasil dijalankan Mursi dengan tangkasnya.

Konstelasi global ini penting disebut meski bukan faktor terpenting kejatuhan Mursi. Sejak Mursi memerintah, semua mafhum bahwa warisan otokrasi Mesir jauh lebih parah dari Tunisia, bahkan Libya. Yang paling mencolok misalnya misalnya, 40% penduduk masih buta huruf. Authoritarian legacy yang parah itulah yang memungkinkan faksi-faksi politik paling konservatif, seperti Ikhwan dan Salafi, naik tahta. Namun kekuasaan tak selamanya berkah, bahkan dapat menjadi kutukan dalam situasi-situasi yang payah. Rasa gentar, sakralitasasi, dan ketaatan rakyat Mesir terhadap penguasanya kini sudah tak ada lagi.

Saat memerintah, Presiden Mursi tak lagi diperkenankan berdalih tentang buruknya warisan era otokrasi. Terlebih, kekuasaan ini juga dipandang sebagai doa mustajab para pejuang Ikhwan dari balik jeruji penjara (Shadi Hamid, 2012). Namun karena perubahan menaruh ekspektasi tinggi, minimnya visi adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan Mursi membuat begitu banyak blunder sehingga dijuluki sebagai sosok paling piawai dalam seni menghimpun musuh (Fawaz Gerges, 2013). Arogansi dan ketidakmampuan menjalin koalisi justru menumpuk tanggungjawab era transisi di pundak Ikhwan yang sesungguhnya lemah.

Kesediaan dan kepandaian berbagi tanggungjawab (power sharing) itulah yang membedakan Ikwan Mesir dengan an-Nahdlah Tunisia. Di Tunisia, an-Nahdlah punya sosok Rashid al-Ghannushi yang dianggap sedikit berkaliber Nelson Mandela (Noah Feldman dan Fareed Zakaria, 2013). Sadar akan beratnya tantangan memerintah, al-Ghannushi justru memelopori rekonsiliasi nasional dengan konsesi-konsesi yang menyakitkan. Dia misalnya meyakinkan elit partai dan konstituennya untuk tidak bermain-main dengan isu syariah dan atau mengutak-utik Undang-Undang Perkawinan Tunisia yang sangat progresif.

Itulah yang tak dilakukan Mursi dan Ikhwani. Relatif mulusnya langkah Tunisia menjalankan masa transisi, antara lain, karena sudah terjalinnya kesepahaman antar berbagai faksi politik Tunisia. Di Mesir, tingginya polarisasi dan kecurigaan antar elit politik justru mengukuhkan persepsi bahwa demokrasi bukanlah the only game in town dan kudeta absah saja untuk membendung munculnya apa yg disebut Abdurrahman al-Qardlawi sebagai firaun-firaun belia.

Ironisnya, kudeta justru memupus peluang Mesir untuk “menghukum” inkompetensi Ikhwan pada pemilu berikutnya. Ikhwan kini bisa berdalih bahwa mereka bukannya gagal dalam uji coba “Islam adalah solusi”, melainkan dirongrong konspirasi tentara sebagai pemegang mandat pokok Amerika. Narasi palsu ini akan berdengung dalam waktu yang lama dan itu sulit disanggah kaum muda Tahrir. Fakta bahwa Gedung Putih sampai kini enggan menyebut ini sebagai kudeta memberi dalih tambahan bagi Ikhwan untuk berapologia.

Dampak krisis Mesir ini hampir pasti meradikalisasi kelompok Ikwan. Tapi yang paling mematikan adalah krisis legitimasi politik yang akan berkepanjangan. Pemerintahan interim pasca-kudeta takkan mudah menyusun roadmap transisi tanpa tercapainya kompromi antar semua faksi politik yang bertikai. Dan jika kudeta diniatkan untuk menyingkiran Ikhwan dari dunia politik, itu tentu hanya ilusi. Saya yakin, jika dalam waktu dekat Ikhwan kembali ikut pemilu, mereka akan tampil sebagai pemenang lagi.

Jika itu yang terjadi, Mesir akan kembali lagi ke titik nol demokrasi, bahkan bisa balik ke otokrasi. Kemajuan demokrasi Mesir hanya akan tercapai bila pemilu menghasilkan kekuatan yang makin imbang, atau Ikhwan tampil dengan kubu reformis yang menggantikan faksi pragmatisme konservatif saat ini. Ikhwan perlu meninggalkan romantisisme islamis Turki era Erbakan, lalu beranjak ke reformisme ala Erdogan. Manuver tentara tentu penting juga dalam menentukan nasib demokrasi Mesir ke depan. Tapi yang lebih vital lagi adalah kemampuan kekuatan-kekuatan non-Ikhwan dan non-Salafi dalam menjungkalkan mereka lewat korak suara. Sungguh misi yang tidak mudah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar