|
KOMPAS,
02 Juli 2013
Masih adakah wahyu kepemimpinan
dalam demokrasi uang? Banyak orang meyakini uang telah menjadi kultur baru
untuk meretas jalan kekuasaan, sehingga tak dibutuhkan spiritualitas. Namun,
kesangsian pun muncul ketika yang lahir dari demokrasi uang bukan para pemimpin
autentik, tetapi pemimpin jadi-jadian. Mereka tak lebih dari telur busuk dalam
peradaban.
Pemimpin
autentik bisa dikenali dengan kesungguhan hati dan pikirannya yang
terartikulasi dalam dedikasi. Di sana muncul pijar-pijar komitmen, integritas
dan kapabilitas yang memberikan makna pada kehidupan rakyat yang dipimpin.
Kepemimpinan
dipahami dan dihayati sebagai tugas kenabian (profetik) yang berorientasi untuk
membebaskan rakyat dari kemiskinan spiritual-material sehingga sejahtera dan
bermartabat. Para pemimpin autentik sangat sadar: rakyat adalah pemilik sah
kedaulatan. Dalam kapasitasnya sebagai negarawan, mereka pun meletakkan diri
pada posisi rendah hati: pelayan rakyat. Ya, pelayan agung!
Faktor
kewahyuan pun berperan, yakni inspirasi ilahiyah yang menjadi orientasi nilai
untuk menjalani peran kepemimpinan. Wahyu itu tidak otomatis menclok (hinggap
dan lindap dalam kesadaran), tetapi diupayakan secara spiritual melalui
pembersihan jiwa yang konsisten, kontinu, dan konstan. Asketisme menjadi salah
satu jalan kebudayaan.
Adapun
pemimpin jadi-jadian tak lebih dari pemimpin semu atau gadungan yang
dimunculkan oleh rekayasa kekuasaan, uang dan pasar. Pencitraan dan
tipu-muslihat merupakan modusnya untuk menelikung rakyat. Satu-satunya ideologi
hanyalah golek bathi (mencari
keuntungan).
Loket kekuasaan
Perkawinan
kekuasaan politik dan kapital telah melahirkan banyak pemimpin jadi-jadian.
Mereka jadi pemimpin bukan karena kerja keras dan investasi sosial, politik dan
kultural, tetapi karena mampu membeli ”tiket” di loket-loket partai politik
atau melalui calo dengan harga tinggi, dari ratusan juta hingga miliaran
rupiah.
Obsesi yang
terpahat di benak mereka hanyalah kursi kekuasaan dan cita-cita untuk melakukan
kapitalisasi untuk mengeruk keuntungan, bukan wajah rakyat yang penuh guratan
penderitaan.
Para pemimpin
jadi-jadian itu akhirnya tak lebih dari orang yang gembelengan (berlagak dan sombong) di depan rakyatnya yang
kelaparan, sambil menyunggi wakul (wadah
berisi nasi) demi memamerkan kekenyangan dirinya dan tumpukan uang. Saat ejekan
kejam yang dilakukan secara struktural dan sistemik ini berlangsung, doa rakyat
hanya satu: semoga wakul itu tumpah dan terkuak dosa-dosa
penyelewengan mereka sehingga mengundang pengusutan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pemimpin gembelengan bukan
pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kehadiran mereka di negeri ini bukan
memberikan penghiburan secara lahir dan batin, melainkan justru jadi badut yang
menggelikan atau monster yang menebar teror bagi rakyatnya. Terhadap pemimpin
semacam itu, rakyat sudah merasa ”selesai” alias memutus hubungan emosional dan
sosial.
Di mata
rakyat, manajemen perasaan mereka mengalami eror, hingga tak mampu menangkap
berbagai pasemon (sindiran
halus) yang berisi penderitaan rakyat, baik melalui bahasa verbal,
gestur/ekspresi maupun narasi-narasi kelam yang tersirat.
Rakyat
menilai, pemimpin yang tidak mampu menangkap simbol-simbol penderitaan rakyat
adalah pemimpin yang kurang berbudaya atau kurang memiliki ketajaman dan
kehalusan akal budi.
Ini terkait
dengan pemahaman bahwa kebudayaan selalu bicara tiga hal mendasar: etika,
logika, dan estetika yang bermuara pada makna (nilai).
Etika
merupakan orientasi bagi manusia untuk memiliki moralitas sehingga mampu
membedakan nilai baik dan buruk. Logika menuntun manusia untuk memiliki akal
sehat dan mampu berpikir obyektif (adil dan benar).
Adapun
estetika mengajari manusia untuk memiliki keindahan, sehingga mampu membedakan
mana yang pantas dan tidak pantas, mana yang layak dan tidak layak, serta mana
yang elok dan tidak elok.
Berbasis pada
tiga hal itu, kebudayaan membangun peradaban di mana nilai kebenaran,
rasionalitas, dan keindahan memancarkan pijar-pijar yang mencerahkan manusia.
Panggilan jiwa
Rakyat sangat
membutuhkan pemimpin yang berbudaya dan menjunjung peradaban. Serapan atas
pijar-pijar peradaban mampu membangun passion
(gairah, hasrat, dan panggilan jiwa) dalam diri pemimpin (Ashadi Siregar,
2013).
Dengan passion, kepemimpinan bukan sekadar
berfungsi secara teknis, melainkan etis untuk membangun kebudayaan dan
peradaban serta martabat manusia/bangsa.
Martabat
diukur antara lain dari kualitas budaya ide, budaya perilaku/eskpresi, dan
budaya material. Rakyat yang bermartabat adalah rakyat yang mampu melakukan
pemaknaan atas segala aktualisasinya, memiliki basis etis dan etos dalam
berperilaku dan berkarya yang menyejahterakan dirinya.
Tugas pemimpin
yang memiliki passion adalah membangun masyarakat yang bermartabat.
Celakanya, cita-cita kultural ini masih kabur dalam dinamika para pemimpin
negeri ini. Kebanyakan mereka terserimpung godaan kekuasaan: kaya tanpa
martabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar