|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juli 2013
PENEGAKAN hukum di Indonesia
sampai sekarang ini belum mampu mengimpresikan diri sebagai konsep kewajaran
dan keadilan yang utuh menyatu. Jika dikaitkan dengan pemikiran Ronald Dworkin
(1977), kondisi demikian terjadi karena aparatur hukum (legal apparatus) cenderung lemah dalam menstrukturkan hukum pada
prinsip keadilan dan kewajaran, sebagai due process yang terpadu dalam suatu content theory.
Putusan pengadilan mengenai kasus kerja sama Indosat dan
IM2 merupakan salah satu contoh aparatur hukum lemah dalam memahami content theory penegakan hukum. Hukum
bukanlah soal kumpulan wewenang yang melegalisasikan fungsi dan kekuasaan
institusi, melainkan hukum yang ditawarkan Dworkin adalah sebagai pertimbangan
yang terbaik mengenai bekerjanya institusi hukum dalam masyarakat dan keluaran
(output) aparatur dan institusi aparatur hukum.
Karakteristik
elemen
Kasus kerja sama Indosat dan IM2 dan putusannya, apabila
dikaitkan dengan content theory,
memiliki empat karakteristik kritik. Pertama, dari segi elemen, dalam hukum
terdapat suatu prinsip yang menjustifikasi alasan tindakan hukum, yaitu political morality dan political organization yang membenarkan
pengaturan secara yuridis-formal suatu tindakan hukum. Kerja sama Indosat dan
IM2 dibenarkan regulator sebagai suatu tindakan thukum dan dipolakan dalam
suatu ketentuan undang-undang yang mengatur sektor telekomunikasi.
Menurut karakteristik ini, jika political morality dan political
organization yang diekspresikan dalam UU Telekomunikasi dan pendapat
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan tindakan kerja sama Indosat
dan IM2 memiliki legalitas, hakim dibenarkan melakukan metode penafsiran
menurut UU Telekomunikasi dan pendapat regulator tersebut. Di sisi lain, hakim
harus menjadikan kepastian hukum (legal
certainty) dalam menjatuhkan sanksi untuk mencapai keadilan dan kewajaran
yang substantif. Dengan demikian, materi muatan dan pertimbangan putusan bukan
seperti kebanyakan putusan lainnya.
Karakteristik
relasi dan struktur
Karakteristik kedua dan ketiga ialah relasi yang menurut
Dworkin dinyatakan dalam bentuk pemahaman atas hukum dan regulasi (laws and regulation) yang utuh
sistematis dan tidak berdiri sendiri. Kasus kerja sama Indosat dan IM2 tidak
dapat dipersepsikan dalam suatu norma hukum tertentu berdiri sendiri, tanpa
memperhatikan norma hukum lainnya. Apa yang disebut sebagai intense intersection and interdependencies
dalam kasus kerja sama Indosat dan IM2 ialah UU Telekomunikasi, pendapat
pejabat administrasi negara yang berwenang, yaitu menteri komunikasi dan
informatika, serta perjanjian itu sendiri.
Kelemahan aparatur hukum dalam memersepsikan karakteristik
relasi dikategorikan sebagai anarkisme logika atas hukum. Sementara itu,
karakteristik ketiga ialah struktur yang menekankan hukum sebagai integritas
atau suatu pola prinsip yang bersinergi dan mengandung kepastian yang ditaati.
Formula itu dalam penegakan hukum di Indonesia belum sepenuhnya mapan
dijalankan karena sinergi aparatur hukum masih berpola pada egosentris sektoral
yang cenderung mempertahankan pendapat dan persepsi hukumnya sendiri, tanpa
memahami struktur hukum sebagai integritas keseluruhan aparatur hukum yang
terpadu. Artinya, integritas aparatur hukum belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya keadilan dan kewajaran dalam penegakan hukum yang terstruktur
masif.
Karakteristik
integralitas
Pemikiran Dworkin mengenai karakteristik keempat ialah
integralitas, yang berarti hukum dan aparatur hukum merupakan satu kesatuan
utuh yang terus dikembangkan dan dibenahi. Hukum tidaklah berkembang dan
bermanfaat untuk dirinya sendiri dan aparatur hukum, tetapi untuk mewujudkan
keadilan dan kewajaran bagi semua subjek hukum. Demikian halnya juga dengan
aparatur hukum yang tidak diadakan untuk kepentingan sektoral atau kebutuhan
lembaganya saja, tetapi sebagai pendukung keadilan dan kewajaran.
Apabila dikaitkan dengan kasus dan putusan kerja sama
Indosat dan IM2, karakter integralitas tersebut belum terwujudkan. Pengembangan
hukum atas kasus tersebut berputar hanya pada norma dalam satu undang-undang,
kurang dikembangkan dan didasari pada seluruh undang-undang secara integral. Adanya
kasus dan putusan tersebut menyadarkan pada perlunya pembenahan dalam cara
berpikir hukum yang tidak an sich hanya pada satu undang-undang, dengan
mengabaikan undang-undang lainnya yang memiliki kekuatan hukum yang sama
sebagai satu kesatuan sistem peraturan perundang-undangan.
Selain itu, praktik berpikir
aparatur hukum juga, apabila dikaitkan dengan pendapat Dworkin, harus juga
dikembangkan dan dibenahi. Dikembangkan kapasitas pengetahuan dan pendalaman
berpikirnya terhadap seluruh sistem hukum sebagai satu kesatuan. Di sisi yang
lain, perlu ada pembenahan dalam bertindak dan berpikir rasionalitas terhadap
suatu norma sehingga aparatur hukum memiliki kemampuan berpikir dalam skema
yang open ended, yaitu sebuah akhir pemikiran dan persepsi yang selalu terbuka
untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan dinamisasi hukum
dan kemanfaatan kepentingan umum yang harus dilindungi.
Keempat pemikiran Dworkin dalam content theory tersebut menjadi sangat relevan untuk diterapkan
dalam reformasi institusi aparatur hukum di Indonesia sekarang ini. Reformasi
tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kapasitas aparatur hukum
sehingga secara sendirinya akan menciptakan pertimbangan dan tindakan hukum
yang terbaik sebagai keluaran (output)
dari lembaga aparatur hukum di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar