REFLEKSI HARI ANAK NASIONAL
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Juli 2013
HARI ini ada baiknya kita
mengunduh semangat Malala Yousafzai. Ya, Malala adalah remaja perempuan
Pakistan yang ditembak Taliban karena memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak
perempuan di daerahnya. Malala yang 12 Juli lalu berpidato di depan forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbicara tentang hak pendidikan bagi
anak-anak di seluruh dunia, kesetaraan perempuan, dan kedamaian. Malala menolak
tunduk pada teror Taliban yang melarang gadis-gadis perempuan bersekolah seraya
menembaki sekolah-sekolah yang menerima murid perempuan.
Kita beruntung apa yang dialami Malala dan anak-anak
perempuan di Lembah Swat, sebelah Utara Pakistan, tidak terjadi di Indonesia.
Namun, kita perlu cemas bahwa ‘wajah’ Taliban yang tak ramah anak dan perempuan
itu merembes ke Indonesia. Anakanak perempuan di Indonesia memang tidak
ditembak atau dilarang sekolah karena alasan agama, tapi kita tahu banyak
anak-anak dari kelompok minoritas di Indonesia yang tak bisa hidup dengan
nyaman karena perbedaan paham. Mereka dikucilkan, didiskriminasi, dan dicerabut
hak-hak mereka.
Di Sampang, Madura, Jawa Timur, sudah hampir setahun ini,
ratusan anak dari komunitas Syiah harus jadi pengungsi karena rumah mereka
dibakar orang-orang yang berbeda keyakinan dengan orangtua mereka. Bayi-bayi
mereka harus tidur di atas lantai hanya dengan alas terpal atau tikar. Anak-anak
tak bersekolah di tempat dan dengan fasilitas yang layak. Anak-anak Syiah
Sampang turut terusir dari rumah mereka, dari desa orangtua dan kakek moyang
mereka dulu dilahirkan. Banyak faktor menjadi musabab, tapi paham agama yang
tak ramah perbedaan adalah sumber yang meledakkan konflik tersebut.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, puluhan keluarga Ahmadiyah,
sudah tujuh tahun, mengungsi di asrama transit bersama anak-anak mereka. Mereka
hidup berdesakdesakan di dalam ruanganruangan yang hanya disekat gorden. Itu
hanya karena keyakinan orangtua mereka berbeda dengan keyakinan kebanyakan
orang di sana. Anak-anak dari kelompok minoritas lain, seperti penghayat
kepercayaan juga kerap menerima perlakuan diskriminasi, baik di sekolah maupun
di tempat tinggal mereka. Di sekolah, anak-anak dari kelompok penghayat
kepercayaan harus dipaksa memilih satu dari enam agama yang diakui negara,
yaitu Islam, Kristen Protestan, Katol Buddha, Hindu, dan lik, Konghucu.
Selalu jadi
korban
Di setiap konflik yang terjadi, anak-anak adalah kelompok
pertama yang menjadi korban. Mereka kehilangan hak-hak untuk tumbuh dengan
nyaman, bisa bermain, memperoleh pendidikan, dan kesehatan yang layak, serta
punya tempat tinggal yang layak, dan sebagainya. Akibat konflik, banyak anak
terpaksa menjadi yatim/piatu dan telantar. Oleh karena itu, kalau tidak
dicegah, konflik baru di kemudian hari bisa muncul karena dendam. Inilah yang
selalu tidak disadari kelompok-kelompok yang suka menyerang kelompok lain,
kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan, merasa paling benar, dan kelompok
yang memasang serban Taliban di kepala mereka.
Salah satu prinsip perlindungan anak yang tercantum dalam
Konvensi Hak Anak (KHA)/Convention on the
Rights of the Child (CRC) yang telah diratifikasi Indonesia adalah hak
untuk tidak didiskriminasi. Setiap anak tidak boleh didiskriminasi karena
alasan apa pun, baik perbedaan suku, warna kulit, agama, maupun status sosial. Prinsip
nondiskriminasi juga menegaskan bahwa semua anak berhak mendapatkan keadilan
atas hak-hak mereka. Diskriminasi adalah segala tindakan yang membedakan,
mengecualikan, membatasi, dan memilih berdasarkan perbedaan-perbedaan yang
disebutkan di atas.
Inilah yang masih dirasakan banyak anak Indonesia yang
lahir dari kelompok/komunitas minoritas di Indonesia. Hak mereka turut
tercerabut bersamaan dengan diskriminasi yang diterima orangtua mereka. Padahal
anak-anak mestinya tak dilibatkan dalam konflik orang dewasa. Anak-anak berhak
tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut, tanpa dilabeli atribut yang bisa
merugikan masa depan mereka, dan tanpa pembedaan-pembedaan yang didasarkan pada
pilihan-pilihan orangtua mereka.
Semangat kepedulian
Semangat
Malala adalah semangat menolak diskriminasi. Semangat inilah yang mestinya kita
unduh di Hari Anak Nasional tahun ini.
Semangat Malala sejalan dengan tema peringatan Hari Anak Nasional tahun 2013
ini, yakni Indonesia yang ramah dan peduli anak dimulai dari pengasuhan dalam
keluarga. Indonesia yang ramah dan peduli nak adalah Indonesia yang anak adalah
Indonesia yang menghargai dan menyayangi anak-anak dari kelompok mana pun,
termasuk anakanak dalam situasi khusus.
Menurut Pasal 59 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak disebutkan bahwa negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada
anak-anak dalam situasi darurat, seperti anak-anak pengungsi, korban kerusuhan,
dan anak dari kelompok minoritas. Sementara itu, pada pasal 65 disebutkan bahwa
`Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan
sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui, dan melaksanakan
ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.' Akhir Mei lalu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation, sebuah
lembaga yang mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia di New
York, Amerika Serikat. Meski sempat ditolak banyak kalangan, penghargaan tersebut
mestinya bisa mendorong Presiden untuk membuktikan komitmennya membangun
kehidupan antarumat beragama yang harmonis tanpa diskriminasi. Dalam pidatonya
saat menerima penghargaan, Presiden secara tegas menyatakan tidak ada ruang
bagi kelompok dan perilaku intoleran di Tanah Air. Presiden juga berjanji akan
melindungi minoritas dan memastikan tidak ada yang mengalami diskriminasi.
Anak-anak Indonesia dari kelompok minoritas yang sampai
sekarang masih menerima perlakuan diskriminatif menunggu janji Presiden
merealisasikan ucapannya. Anakanak dari kelompok penghayat kepercayaan,
anak-anak dari kelompok-kelompok Kristen, seperti GKI Yasmin dan HKBP
Filadelfia yang masih belum bisa menikmati ibadah yang nyaman karena gereja
mereka dilarang berdiri, dan anak-anak dari kelompok minoritas lainnya yang
selama ini disesatkan dan dikucilkan. Anak-anak dari komunitas Syiah Sampang
dan Ahmadiyah Lombok ingin kembali ke kampung halaman, bersekolah dengan aman,
bermain bersama teman-temannya tanpa rasa takut dan dendam. Mereka mengharap
kado istimewa Presiden di Hari Anak Nasional tahun ini. Selamat Hari Anak Nasional! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar