Rabu, 24 Juli 2013

Semangat Malala buat Anak Indonesia

REFLEKSI HARI ANAK NASIONAL
Semangat Malala buat Anak Indonesia
Budhi Kurniawan  ;  Aktivis anak; Direktur Lingkar Studi Anak Nusantara (LiSAN)
MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2013


HARI ini ada baiknya kita mengunduh semangat Malala Yousafzai. Ya, Malala adalah remaja perempuan Pakistan yang ditembak Taliban karena memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak perempuan di daerahnya. Malala yang 12 Juli lalu berpidato di depan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbicara tentang hak pendidikan bagi anak-anak di seluruh dunia, kesetaraan perempuan, dan kedamaian. Malala menolak tunduk pada teror Taliban yang melarang gadis-gadis perempuan bersekolah seraya menembaki sekolah-sekolah yang menerima murid perempuan.

Kita beruntung apa yang dialami Malala dan anak-anak perempuan di Lembah Swat, sebelah Utara Pakistan, tidak terjadi di Indonesia. Namun, kita perlu cemas bahwa ‘wajah’ Taliban yang tak ramah anak dan perempuan itu merembes ke Indonesia. Anakanak perempuan di Indonesia memang tidak ditembak atau dilarang sekolah karena alasan agama, tapi kita tahu banyak anak-anak dari kelompok minoritas di Indonesia yang tak bisa hidup dengan nyaman karena perbedaan paham. Mereka dikucilkan, didiskriminasi, dan dicerabut hak-hak mereka.

Di Sampang, Madura, Jawa Timur, sudah hampir setahun ini, ratusan anak dari komunitas Syiah harus jadi pengungsi karena rumah mereka dibakar orang-orang yang berbeda keyakinan dengan orangtua mereka. Bayi-bayi mereka harus tidur di atas lantai hanya dengan alas terpal atau tikar. Anak-anak tak bersekolah di tempat dan dengan fasilitas yang layak. Anak-anak Syiah Sampang turut terusir dari rumah mereka, dari desa orangtua dan kakek moyang mereka dulu dilahirkan. Banyak faktor menjadi musabab, tapi paham agama yang tak ramah perbedaan adalah sumber yang meledakkan konflik tersebut.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, puluhan keluarga Ahmadiyah, sudah tujuh tahun, mengungsi di asrama transit bersama anak-anak mereka. Mereka hidup berdesakdesakan di dalam ruanganruangan yang hanya disekat gorden. Itu hanya karena keyakinan orangtua mereka berbeda dengan keyakinan kebanyakan orang di sana. Anak-anak dari kelompok minoritas lain, seperti penghayat kepercayaan juga kerap menerima perlakuan diskriminasi, baik di sekolah maupun di tempat tinggal mereka. Di sekolah, anak-anak dari kelompok penghayat kepercayaan harus dipaksa memilih satu dari enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katol Buddha, Hindu, dan lik, Konghucu.

Selalu jadi korban

Di setiap konflik yang terjadi, anak-anak adalah kelompok pertama yang menjadi korban. Mereka kehilangan hak-hak untuk tumbuh dengan nyaman, bisa bermain, memperoleh pendidikan, dan kesehatan yang layak, serta punya tempat tinggal yang layak, dan sebagainya. Akibat konflik, banyak anak terpaksa menjadi yatim/piatu dan telantar. Oleh karena itu, kalau tidak dicegah, konflik baru di kemudian hari bisa muncul karena dendam. Inilah yang selalu tidak disadari kelompok-kelompok yang suka menyerang kelompok lain, kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan, merasa paling benar, dan kelompok yang memasang serban Taliban di kepala mereka.

Salah satu prinsip perlindungan anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA)/Convention on the Rights of the Child (CRC) yang telah diratifikasi Indonesia adalah hak untuk tidak didiskriminasi. Setiap anak tidak boleh didiskriminasi karena alasan apa pun, baik perbedaan suku, warna kulit, agama, maupun status sosial. Prinsip nondiskriminasi juga menegaskan bahwa semua anak berhak mendapatkan keadilan atas hak-hak mereka. Diskriminasi adalah segala tindakan yang membedakan, mengecualikan, membatasi, dan memilih berdasarkan perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas.

Inilah yang masih dirasakan banyak anak Indonesia yang lahir dari kelompok/komunitas minoritas di Indonesia. Hak mereka turut tercerabut bersamaan dengan diskriminasi yang diterima orangtua mereka. Padahal anak-anak mestinya tak dilibatkan dalam konflik orang dewasa. Anak-anak berhak tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut, tanpa dilabeli atribut yang bisa merugikan masa depan mereka, dan tanpa pembedaan-pembedaan yang didasarkan pada pilihan-pilihan orangtua mereka.

Semangat kepedulian

Semangat Malala adalah semangat menolak diskriminasi. Semangat inilah yang mestinya kita unduh di Hari Anak Nasional tahun ini. Semangat Malala sejalan dengan tema peringatan Hari Anak Nasional tahun 2013 ini, yakni Indonesia yang ramah dan peduli anak dimulai dari pengasuhan dalam keluarga. Indonesia yang ramah dan peduli nak adalah Indonesia yang anak adalah Indonesia yang menghargai dan menyayangi anak-anak dari kelompok mana pun, termasuk anakanak dalam situasi khusus.

Menurut Pasal 59 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak dalam situasi darurat, seperti anak-anak pengungsi, korban kerusuhan, dan anak dari kelompok minoritas. Sementara itu, pada pasal 65 disebutkan bahwa `Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui, dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.' Akhir Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation, sebuah lembaga yang mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia di New York, Amerika Serikat. Meski sempat ditolak banyak kalangan, penghargaan tersebut mestinya bisa mendorong Presiden untuk membuktikan komitmennya membangun kehidupan antarumat beragama yang harmonis tanpa diskriminasi. Dalam pidatonya saat menerima penghargaan, Presiden secara tegas menyatakan tidak ada ruang bagi kelompok dan perilaku intoleran di Tanah Air. Presiden juga berjanji akan melindungi minoritas dan memastikan tidak ada yang mengalami diskriminasi.

Anak-anak Indonesia dari kelompok minoritas yang sampai sekarang masih menerima perlakuan diskriminatif menunggu janji Presiden merealisasikan ucapannya. Anakanak dari kelompok penghayat kepercayaan, anak-anak dari kelompok-kelompok Kristen, seperti GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang masih belum bisa menikmati ibadah yang nyaman karena gereja mereka dilarang berdiri, dan anak-anak dari kelompok minoritas lainnya yang selama ini disesatkan dan dikucilkan. Anak-anak dari komunitas Syiah Sampang dan Ahmadiyah Lombok ingin kembali ke kampung halaman, bersekolah dengan aman, bermain bersama teman-temannya tanpa rasa takut dan dendam. Mereka mengharap kado istimewa Presiden di Hari Anak Nasional tahun ini. Selamat Hari Anak Nasional! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar