Rabu, 24 Juli 2013

Menghapus Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Menghapus Eksploitasi Seksual Komersial Anak
Sutrisno  ;  Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
SINAR HARAPAN, 23 Juli 2013


Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Dalam memperingati HAN, ada satu persoalan yang melanda dunia anak, yaitu maraknya eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak.
Apalagi, menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat tajam hingga mencapai 535 kasus atau 52 persen dari 1.032 laporan tindak kekerasan pada semester pertama 2013.

Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (Stockholm, 1996) maupun ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial terhadap anak meliputi kegiatan penyalahgunaan seksual anak oleh orang dewasa dengan cara paksa (coercion), pemberian uang atau sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ketiga, anak dijadikan sebagi objek seks serta objek komersial.

Eksploitasi seksual komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan serta kekerasan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern (comtemporary form of slavery).
Kegiatan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual di dunia dari tahun ke tahun terus meningkat. Laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara global memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di dunia terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan untuk kegiatan seksual komersial.

Sebanyak 225.000 orang di antaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia Selatan. Dari kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia diduga yang paling banyak. Menurut sumber badan PBB tersebut, perdagangan anak tersebut diperkirakan memperoleh keuntungan US$ 7 miliar per tahun.

Berbagai kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial dan eksploitasi ekonomi sesungguhnya telah banyak terjadi di sekitar kita. Di Pulau Batam dan Lombok, misalnya, fakta menunjukkan bahwa telah ditemukan ratusan anak-anak di bawah usia 16 tahun dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi.

Daerah pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial maupun eksploitasi ekonomi itu, umumnya adalah daerah-daerah kantong kemiskinan, seperti Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.

Daerah penerimanya adalah kota-kota besar, kota industri, dan wisata, seperti Jakarta, Lombok, Bali, dan Batam. Di luar negeri, negara penerima adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Arab Saudi, Taiwan, dan Australia.

Sementara itu, aktor-aktor yang berperan dalam perdagangan anak adalah keluarga, teman, agen perantara pengiriman tenaga kerja, agen pemerintah antara lain dalam pembuatan KTP, paspor palsu maupun organisasi sindikat seks komersial, pedofilia dan distributor narkoba.

Faktor-faktor yang memengaruhi masalah ini adalah tiadanya akta kelahiran bagi hampir 60 persen anak di Indonesia, perkawinan usia muda, pekerja migran, kekerasan terhadap perempuan, juga dampak dari konflik sosial, etnik dan konflik bersenjata di beberapa daerah.

Mencermati penyalahgunaan seksual terhadap anak di beberapa daerah di Indonesia, sudah selayaknyalah pemerintah bersama masyarakat memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini; sebab sudah banyak terdapat bukti ditemukan anak-anak terjangkit HIV/AIDS. Upaya-upaya pencegahan (prevention), perlindungan (protection), penyatuan kembali (reintegration) bagi anak korban eksploitasi seksual komersial sudah sepatutnya menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah.

Ini karena ketentuan dari konvensi hak anak (1989), Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (1996) maupun Konvensi ILO No 182 (1999), mewajibkan pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional yang berisikan rekomendasi rinci bagi langkah-langkah untuk menghentikan segala bentuk eksploitasi tersebut.

Untuk menjawab kasus-kasus eksploitasi seksual komersial yang telah memprihatinkan kita semua, penulis menyarankan: Pertama, pemerintah termasuk legislatif, yudikatif, kepolisian, Kementerian Luar Negeri, kantor imigrasi, dan Kemenhukham agar memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai.

Meningkatkan kerja sama yang lebih mantap antarnegara dan semua sektor masyarakat untuk mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.

Kedua, menindak pelaku eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual anak, serta menghukum semua yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun asing, serta menjamin agar anak-anak yang menjadi korban praktik eksploitasi seksual komersial tidak dihukum.

Ketiga, melakukan upaya penegakan hukum, kebijakan, program-program yang melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi serta kerja sama antarpihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta diseminasi undang-undang untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak.

Mengembangkan dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif gender untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak, melindungi dan membantu anak yang menjadi korban serta memfasilitasi pemulihan, juga program-program reintegrasi anak ke dalam masyarakat.

Keempat, pemerintah segera meratifikasi dua protokol tambahan dari Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dan Konvensi Transnational Organized Crime beserta dua protokolnya, yakni protokol tentang pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan orang melalui undang-undang.

Kelima, pemerintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.

Keenam, pemerintah dan masyarakat segera memobilisasi mitra politik, masyarakat nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan LSM, untuk membantu menghapus segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak serta memacu peran partisipasi masyarakat yang populer, termasuk partisipasi anak-anak, dalam mencegah serta menghapus eksploitasi seksual komersial anak.
Peranan pemerintah juga sangat diharapkan dalam hal pencegahan pornografi pada kalangan anak. Ini karena masih terus beredar media dalam berbagai bentuk dan buku sekolah yang mengandung pornografi.

Ketujuh, memobilisasi sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial dan mendorong kalangan profesional untuk mengembangkan strategi yang memperkuat peran media dalam memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta standar etika yang mencakup semua aspek eksploitasi seksual komersial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar