|
SINAR
HARAPAN, 23 Juli 2013
Tanggal
23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Dalam memperingati HAN,
ada satu persoalan yang melanda dunia anak, yaitu maraknya eksploitasi seksual
komersial terhadap anak-anak.
Apalagi,
menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), kasus kekerasan
seksual terhadap anak meningkat tajam hingga mencapai 535 kasus atau 52 persen
dari 1.032 laporan tindak kekerasan pada semester pertama 2013.
Deklarasi
Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (Stockholm,
1996) maupun ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) mendefinisikan bahwa eksploitasi
seksual komersial terhadap anak meliputi kegiatan penyalahgunaan seksual anak
oleh orang dewasa dengan cara paksa (coercion),
pemberian uang atau sejenisnya kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada
pihak ketiga, anak dijadikan sebagi objek seks serta objek komersial.
Eksploitasi
seksual komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan serta kekerasan
terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern (comtemporary form of slavery).
Kegiatan
perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual di dunia dari tahun ke tahun
terus meningkat. Laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara global
memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di dunia terdapat 30 juta
anak perempuan diperdagangkan untuk kegiatan seksual komersial.
Sebanyak
225.000 orang di antaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari
Asia Selatan. Dari kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia
diduga yang paling banyak. Menurut sumber badan PBB tersebut, perdagangan anak
tersebut diperkirakan memperoleh keuntungan US$ 7 miliar per tahun.
Berbagai
kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual komersial dan eksploitasi ekonomi
sesungguhnya telah banyak terjadi di sekitar kita. Di Pulau Batam dan Lombok,
misalnya, fakta menunjukkan bahwa telah ditemukan ratusan anak-anak di bawah
usia 16 tahun dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi.
Daerah
pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial maupun
eksploitasi ekonomi itu, umumnya adalah daerah-daerah kantong kemiskinan,
seperti Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi
Tenggara.
Daerah
penerimanya adalah kota-kota besar, kota industri, dan wisata, seperti Jakarta,
Lombok, Bali, dan Batam. Di luar negeri, negara penerima adalah Singapura,
Malaysia, Thailand, Hong Kong, Arab Saudi, Taiwan, dan Australia.
Sementara
itu, aktor-aktor yang berperan dalam perdagangan anak adalah keluarga, teman,
agen perantara pengiriman tenaga kerja, agen pemerintah antara lain dalam
pembuatan KTP, paspor palsu maupun organisasi sindikat seks komersial,
pedofilia dan distributor narkoba.
Faktor-faktor
yang memengaruhi masalah ini adalah tiadanya akta kelahiran bagi hampir 60
persen anak di Indonesia, perkawinan usia muda, pekerja migran, kekerasan
terhadap perempuan, juga dampak dari konflik sosial, etnik dan konflik
bersenjata di beberapa daerah.
Mencermati
penyalahgunaan seksual terhadap anak di beberapa daerah di Indonesia, sudah
selayaknyalah pemerintah bersama masyarakat memberikan perhatian yang serius
terhadap masalah ini; sebab sudah banyak terdapat bukti ditemukan anak-anak
terjangkit HIV/AIDS. Upaya-upaya pencegahan (prevention), perlindungan (protection),
penyatuan kembali (reintegration)
bagi anak korban eksploitasi seksual komersial sudah sepatutnya menjadi
perhatian dan tanggung jawab pemerintah.
Ini
karena ketentuan dari konvensi hak anak (1989), Deklarasi Kongres Dunia
Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (1996) maupun Konvensi
ILO No 182 (1999), mewajibkan pemerintah menyusun Rencana Aksi Nasional yang
berisikan rekomendasi rinci bagi langkah-langkah untuk menghentikan segala
bentuk eksploitasi tersebut.
Untuk
menjawab kasus-kasus eksploitasi seksual komersial yang telah memprihatinkan
kita semua, penulis menyarankan: Pertama, pemerintah termasuk legislatif,
yudikatif, kepolisian, Kementerian Luar Negeri, kantor imigrasi, dan
Kemenhukham agar memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang
eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai.
Meningkatkan
kerja sama yang lebih mantap antarnegara dan semua sektor masyarakat untuk
mencegah anak-anak memasuki perdagangan seks serta memperkuat peran serta
keluarga dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
Kedua,
menindak pelaku eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk lain dari
eksploitasi seksual anak, serta menghukum semua yang terlibat dalam
pelanggaran, baik itu warga lokal maupun asing, serta menjamin agar anak-anak
yang menjadi korban praktik eksploitasi seksual komersial tidak dihukum.
Ketiga,
melakukan upaya penegakan hukum, kebijakan, program-program yang melindungi
anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi serta
kerja sama antarpihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta
diseminasi undang-undang untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak.
Mengembangkan
dan melaksanakan rencana dan program yang sensitif gender untuk mencegah
eksploitasi seksual komersial anak, melindungi dan membantu anak yang menjadi
korban serta memfasilitasi pemulihan, juga program-program reintegrasi anak ke
dalam masyarakat.
Keempat,
pemerintah segera meratifikasi dua protokol tambahan dari Konvensi Hak Anak
tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dan Konvensi
Transnational Organized Crime beserta dua protokolnya, yakni protokol tentang
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan
orang melalui undang-undang.
Kelima,
pemerintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga
aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua bertanggung jawab atas
anak-anak untuk memenuhi hak-hak anak, kewajiban dan tanggung jawab untuk
melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial.
Keenam,
pemerintah dan masyarakat segera memobilisasi mitra politik, masyarakat
nasional maupun internasional, termasuk lembaga pemerintah dan LSM, untuk
membantu menghapus segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak serta
memacu peran partisipasi masyarakat yang populer, termasuk partisipasi
anak-anak, dalam mencegah serta menghapus eksploitasi seksual komersial anak.
Peranan
pemerintah juga sangat diharapkan dalam hal pencegahan pornografi pada kalangan
anak. Ini karena masih terus beredar media dalam berbagai bentuk dan buku
sekolah yang mengandung pornografi.
Ketujuh,
memobilisasi sektor bisnis, termasuk industri wisata, untuk menentang
penggunaan jaringan dan pembentukannya bagi eksploitasi seksual komersial dan
mendorong kalangan profesional untuk mengembangkan strategi yang memperkuat
peran media dalam memberikan informasi yang bermutu, bisa dipercaya serta
standar etika yang mencakup semua aspek eksploitasi seksual komersial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar