|
SUARA
KARYA, 04 Juli 2013
Kondisi bangsa kita masih sangat
memprihatinkan. Sebab, meski orang pintar makin banyak, toh tingkat kemiskinan
tidak banyak berkurang. Ketimpangan malah makin melebar dan kesenjangan makin
menganga.
Aneh, makin banyak orang pintar,
negeri ini justru makin bergantung kepada negara lain. Lihatlah, misalnya,
perkembangan impor. Saat ini, hampir semua barang yang kita perlukan diimpor
dari negara lain. Termasuk komoditas yang menurut logika kita mestinya bisa
kita penuhi dari dalam negeri, seperti beras, kedelai, bawang putih, ikan,
garam, dan lain-lain.
Makin banyak orang pintar di
negeri ini, makin banyak saudara kita yang menjadi TKI dan TKW di luar negeri.
Ini semua mengindikasikan bahwa berbagai kemajuan yang kita capai, termasuk di
bidang pendidikan, belum mampu membuat kita menjadi bangsa mandiri dan
bermartabat.
Kita berharap para pemimpin bisa
menginspirasi masyarakat tentang nilai-nilai kebaikan. Ini penting agar
masyarakat menjadi jujur, memiliki semangat juang tinggi, mandiri, pantang
menyerah, produktif, dan seterusnya. Tapi sayangnya, banyak di antara kita yang
baru pada level sibuk mencukupi kebutuhan dasar masing-masing, baru pada taraf
memperkaya diri, keluarga, dan kelompok.
Sebagian kita masih sibuk
berbantah-bantahan, saling menyalahkan, saling menjatuhkan, mencari kambing
hitam. Sebagian kita baru pada level senang melihat orang lain susah dan susah
melihat orang senang. Kita belum sampai ke menjadikan perbedaan sebagai rahmat
bagi upaya pemecahan berbagai persoalan bangsa.
Itulah sebabnya, kita harus
menyambut dengan sukacita keinginan putra-putri bangsa untuk melanjutkan studi
di perguruan tinggi. Tentu kita semua berharap, mereka memiliki tujuan mulia.
Kita berharap, keinginan mereka melanjutkan studi tidak hanya untuk memenuhi
keinginan orangtua, ikut-ikutan teman, atau hanya untuk mendapatkan selembar
ijazah.
Kita berharap, mereka tidak
menjadikan pendidikan sekadar sebagai jembatan untuk mendapatkan pekerjaan,
lalu memperoleh gaji yang layak untuk kesejahteraan diri dan keluarga. Pikiran
semacam ini harus segera diakhiri. Kita berharap anak-anak bangsa mengenyam
pendidikan tinggi dengan tujuan berdimensi jangka panjang dalam rangka
menemukan makna kehidupan. Dengan demikian, pada saatnya nanti, mereka mampu
mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Kita berharap lahir generasi
cerdas. Tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga cerdas spiritual, sosial,
emosional, dan kinestetis. Kita berharap lahir generasi berkarakter sebagai
buah proses pendidikan. "Intelligence
plus character... That is the goal of true education," demikian kata
Martin Luther King.
Putra-putri bangsa yang berkarakter
dan makin cerdas niscaya makin mencintai negeri dan bangsanya. Bukan
sebaliknya, menjadi generasi yang hanya mengeluhkan dan menjelekkan bangsa
sendiri. Kita berharap lahir generasi yang tidak hanya memanfaatkan bangsa
untuk memperoleh kehidupan layak bagi diri dan keluarganya, tetapi generasi
yang memberi kontribusi berarti bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.
Kita juga berharap lahir generasi
yang tidak hanya pandai bertanya tentang apa yang bisa diberikan oleh negara
kepadanya, tetapi generasi yang bertanya tentang apa yang bisa dia
kontribusikan bagi perkembangan dan kemajuan bangsanya. Dengan begitu, suatu
saat kelak, kita sebagai bangsa niscaya tampil berkarakter, memiliki harga diri
dan kebanggaan.
Oleh karena itu, mari kita
antarkan para putra bangsa memulai segala sesuatu dengan niat lurus, dengan
cara dan strategi yang benar. Mereka tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan jangka pendek, karena hal semacam itu sangat berbahaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar