|
SINAR
HARAPAN, 04 Juli 2013
Hadirnya
pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan menjadi wadah penanaman nilai dan membentuk karakter serta
kepribadian anak bangsa. Dengan pendidikan, diharapkan kehidupan masyarakat
lebih bermartabat.
Bila
masalah pendidikan diperhatikan dengan saksama maka tampak jelas bahwa
pendidikan berbanding lurus antara krisis moral dan komersialisasi pendidikan.
Pendidikan diarahkan untuk dikomersialisasikan sehingga hal ini akan menimbulkan
krisis moral terhadap anak bangsa.
Hal
demikian terjadi karena orientasi pendidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi
pasar dunia yang material-kapitalistik. Sistem pendidikan yang berbasis
material-kapitalistik itu sudah melekat mulai dari kebijakan hingga
penyelenggaraan; sehingga tujuan serta fungsi pendidikan yang diimplikasikan
dalam materi dan kurikulum hanya menjadi slogan verbal belaka.
Sistem
pendidikan yang berbasis material-kapitalistik tersebut berdampak terhadap
sikap masyarakat dan warga sekolah. Adanya sistem tersebut menimbulkan sikap
pragmatis bagi warga sekolah, sehingga berdampak terhadap cara pandang
masyarakat. Saat ini masyarakat menganggap pendidikan identik dengan mencari
kerja. Pendidikan hanya dijadikan tempat pengembangan potensi, agar
setelah lulus sekolah bisa bekerja di tempat yang layak.
Hal
demikian menjadi pertimbangan utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Mereka berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit ataupun
sekolah yang menjanjikan pekerjaan bagi muridnya.
Selain
orang tua, sekolah pun berlomba-lomba menjanjikan pekerjaan bagi siswanya
ketika sudah lulus sekolah. Ini merupakan salah satu potret sistem pendidikan
yang pragmatis.
Lantas
yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa masyarakat menganggap pendidikan
hanya dijadikan tempat mencari ijazah dan pekerjaan? Bukankah sudah jelas dalam
UU No 20 Pasal 3 Tahun 2003 dijelaskanbahwa pendidikan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Tidak terealisasinya tujuan pendidikan itu akibat dominasi budaya serta
sistem pragmatisme dalam dunia pendidikan.
Bukan
hanya dalam dunia pendidikan, budaya pragmatis juga menjalar di masyarakat. Hal
itu karena adanya ketidaksesuaian dalam sistem pendidikan saat ini. Pendidikan
diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan pasar.
Penanaman
nilai serta pembentukan karakter dan kepribadian pun kian terbengkalai, karena
yang ditekankan adalah agar siswa dapat bekerja. Proses tidak lagi mendapatkan
ruang yang banyak dalam pendidikan, tapi hasil menjadi hal yang urgen. Lulus
ujian dan mendapatkan ijazah merupakan harapan utama para siswa.
Dengan
lulus ujian dan mendapatkan ijazah, siswa dapat melamar pekerjaan, karena kedua
hal tersebut menjadi salah satu syarat. Ironisnya, berhasil tidaknya siswa
mengenyam pendidikan itu ditentukan dengan Ujian Nasional (UN). Inilah yang mendukung
dominasi sistem pendidikan yang pragmatis.
Dengan
sistem pendidikan pragmatis, pendidikan tidak lagi mencetak siswa yang
berkarakter, tetapi mencetak siswa yang hanya ahli bekerja. Dengan demikian,
yang terjadi adalah banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan siswa saat
mengenyam pendidikan, tawuran antarpelajar, menyontek, bolos sekolah misalnya.
Sistem
pendidikan pragmatis, juga menyeret banyak lembaga pendidikan untuk terjebak
dalam budaya pragmatis. Budaya pragmatis tersebut menjadikan corporate
values sebagai nilai utama dalam membangun pendidikan. Pendidikan tidak lebih
hanya seperti supermarket. Pengelola pendidikan akan berbondong-bondong untuk
mencari siswa sebanyak-banyaknya dengan memberikan jaminan mendapatkan
pekerjaan setelah lulus.
Akibatnya,
kecurangan kerap kali menghiasi lembaga pendidikan pada saat pelaksanaan UN,
guna menjaga popularitas lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang dapat
meluluskan siswa 100 persen yang akan dicari masyarakat. Jika seperti itu terus
dilestarikan, nilai-nilai pendidikan sedikit demi sedikit akan pudar.
Sistem
pragmatis pastinya akan memengaruhi pada proses pendidikan. Menurut
pandangan Habermas, ada tiga kategori pengetahuan yaitu teknis, praktis
dan emansipatoris. Jika budaya pragmatis mendominasi dunia pendidikan,
pengetahuan teknis-praktis akan mendominasi proses pendidikan. Yang terjadi
dalam proses pendidikan adalah pengetahuan dipisahkan dari proses
pembentukannya.
Tak
“Mendidik”
Pergolakan
antara idealisme dan sistem pragmatisme dalam dunia pendidikan akan terus
terjadi. Di satu sisi, pendidikan mempunyai peran dalam membentuk dan
menanamkan nilai, kepribadian serta karakter siswa. Namun, di sisi lain
pendidikan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Idealisme
pendidikan tidak akan berarti ketika disandingkan dengan sistem pragmatis yaitu
berupa ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, pendidikan dewasa ini diarahkan
untuk memperbaiki ekonomi seseorang. Jika hal ini terjadi, “Kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan?”
(Neil Postman: 1996).
Pendidikan
diyakini untuk memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan
masyarakat yang bermartabat. Bahkan, pendidikan diyakini sebagai tolok ukur
keberhasilan bangsa. Namun, jika pendidikan diarahkan ke hal yang bersifat
pragmatis maka yang menjadi basis pendidikan bukan lagi nilai-nilai idealisme.
Saat
ini pasarlah yang membentuk pendidikan. Pendidikan memenuhi kebutuhan pasar.
Sedikit sekali lembaga pendidikan yang mempertahankan idealismenya. Pendidikan
mengikuti kebutuhan pasar, karena tanpa bekerja seseorang tidak akan bisa
hidup.
Paradigma
seperti itulah yang sudah tertanam dalam masyarakat. Lembaga pendidikan jika
mempunyai prospek untuk kerja maka lembaga pendidikan tersebut akan laris.
Bahkan, hal itu sangat kentara di tataran perguruan tinggi.
Orang
tua akan lebih senang jika anaknya kuliah di fakultas yang dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih kelak ketika sudah kerja. Jadi,
tidak heran fakultas yang digemari masyarakat adalah fakultas yang berorientasi
pasar dan mudah untuk kerja, misalnya fakultas ekonomi, akuntansi, dan
kedokteran.
Fakultas
yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar maka sedikit yang berminat, seperti
fakultas filsafat dan antropologi. Saat ini masyarakat menyekolahkan anak bukan
berdasarkan keilmuan yang akan diperoleh, tetapi berdasarkan prospek kerja ke
depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar