|
KOMPAS, 01 Mei 2013
Saya
baru dengar dari media, belum terima putusan itu secara resmi. Saya sampaikan
ke kesatuan saya bahwa saya sangat hormati dan taati putusan kasasi ini. Saya
wajib hormati hukum, apalagi putusan pengadilan. Kalau saya tidak mengaku salah
dan tidak menerima putusan itu, tentu ada perlawanan di peninjauan kembali.
(Susno Duadji)
Inilah kutipan wawancara Susno Duadji dengan
wartawan dari Kompas Online, Desember akhir tahun lalu.
Namun, kenyataannya Susno mangkir sepanjang
tiga kali surat pemanggilan eksekusi dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Puncaknya, Susno melawan saat dieksekusi paksa tim gabungan Kejaksaan Agung,
Rabu (24/4).
Tim eksekutor pulang dengan tangan kosong.
Harapan membawa sang mantan Kabareskrim yang terkenal dengan ucapan
kontroversial, ”cicak kok melawan buaya”,
menjadi pupus.
Susno kini menghilang dan ditetapkan sebagai
buron.
Terbukti Korupsi
Perlawanan Susno adalah pembangkangan
terhadap putusan pengadilan. Secara materiil, Susno terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi di semua tingkat peradilan: tingkat
pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung.
Ia tidak bisa berkelit dari dakwaan jaksa
karena terbukti korupsi dalam kasus PT Salmah Arwana Lestari dan dana
pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Susno pun divonis 3 tahun dan 6 bulan
penjara.
Namun, Susno mencari kelemahan putusan
pengadilan. Aspek formil putusan disasar karena tidak mencantumkan perintah
penahanan (Pasal 197 Ayat 1 Huruf k KUHAP). Inilah alibi penolakan Susno
bersama kuasa hukumnya.
Harus dipahami tafsir Susno dan pengacaranya
tidak bisa membatalkan putusan pengadilan. Yang bisa membatalkan hanyalah
putusan pengadilan lain yang lebih tinggi sesuai asas res judicata pro veritate
habetur.
Silat Hukum
Korps Adhyaksa seharusnya tidak perlu gamang
mengeksekusi. Argumentasi Susno adalah tafsir orang yang enggan menjalani
hukuman dan sebaliknya kejaksaan setidaknya memiliki tiga dasar kuat untuk
menjebloskan Susno ke balik jeruji.
Pertama, putusan Mahkamah Agung sebagai judex
juris bersifat eksekutorial sehingga tidak perlu mencantumkan perintah terdakwa
ditahan. Jika sudah diputus di tingkat kasasi, status hukum dan sebutannya
bukan terdakwa lagi, tetapi sudah terpidana sehingga Pasal 197 Ayat (1) Huruf
(k) KUHAP tidak lagi diterapkan.
Apa bukti putusan kasasi bersifat
eksekutorial? Pasal 268 (1) KUHAP pada intinya menyatakan peninjauan kembali
(PK) tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi. Pasal tersebut membuktikan
putusan kasasi (sebelum PK) bersifat eksekutorial. Oleh karena itu, Susno yang
divonis bersalah oleh MA bukan lagi menjalani penahanan yang bersifat temporer,
melainkan pemidanaan yang lamanya sesuai dengan vonis MA.
Maka, sangat relevan jika putusan MA tidak
lagi mencantumkan perintah penahanan karena Susno sebagai terpidana akan
menjalani pemidanaan, bukan penahanan.
Kualifikasi Imperatif
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
69/PUU-X/2012. Putusan ini merupakan pengujian atas Pasal 197 (1) Huruf (k)
oleh Parlin Riduansyah. MK dalam putusannya menolak permohonan pemohon
keseluruhannya. Dalam pertimbangan hakim menyatakan bahwa secara
materiil-substantif kualifikasi imperatif atau mandatori Pasal 197 Ayat (1)
tidak dapat dikatakan setingkat, terlebih lagi jika membacanya dikaitkan dengan
pasal-pasal lain sebagai satu kesatuan sistem pengaturan.
Hal ini semakin menguatkan argumen sebelumnya
bahwa putusan MA bersifat eksekutorial dan memisahkan makna antara penahanan
dan pemidanaan sehingga akhirnya putusan MK sekaligus melegitimasi praktik yang
dijalankan MA selama ini.
Ketiga, demi tegaknya keadilan substansial.
Harus menjadi prinsip bahwa yang bersalah harus dihukum, apalagi menyangkut
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti korupsi. Tanpa bermaksud
mengecilkan aspek keadilan formal, keadilan materiil harus lebih diutamakan.
Aspek Formal
Jangan karena aspek formal, orang yang
terbukti korupsi dibebaskan. Begitu pula sebaliknya, orang yang divonis bebas
karena tidak terbukti melakukan kejahatan harus tetap dibui karena tidak
dipenuhinya aspek formal berupa perintah untuk dibebaskan dalam amar
putusannya.
MK menyadari, kekurangan Pasal 197 Ayat (1)
dapat terjadi karena kekhilafan (human error) dan kesengajaan orang-orang
tertentu. Maka, keadilan materiil menjadi hal yang paling utama.
Tiga dasar di atas seharusnya memperkuat
keyakinan jaksa untuk mengeksekusi Susno. Eksekusi Susno adalah awal, karena
banyak terpidana korupsi lain dengan problem sama menolak dieksekusi. Salah
satunya Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko.
Jika kejaksaan takluk pada Susno, kasus-kasus
lain akan mengekor: terbukti korupsi tetapi tidak bisa dieksekusi.
Silat hukum atas putusan tersebut harus
dihentikan. Susno harus sadar, seorang jenderal harus kesatria menjalani
hukuman atas kesalahannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar