|
KOMPAS, 01 Mei 2013
Perayaan Hari Buruh tahun ini akan
berlangsung dalam suasana tahun politik, saat elite bangsa sedang fokus pada
persiapan Pemilu 2014.
Dari beberapa aksi buruh yang dilakukan,
agaknya gerakan buruh akan menggunakan tahun politik ini sebagai momentum
meneruskan tuntutan politik lama: penertiban sistem alih daya, penghapusan
politik upah buruh murah, dan perluasan akses ke jaminan sosial. Masalahnya,
tak satu partai politik pun yang mau meng- usung agenda politik buruh.
Alasannya jelas: tak ada yang bisa memastikan dalam pemilu nanti buruh akan
memilih partai yang mengusung agenda politik buruh.
Sebagai akibat fragmentasi gerakan buruh,
serikat buruh juga tak bisa memastikan konstituennya akan bisa diarahkan
memilih partai tertentu atau caleg tertentu. Kegagalan beberapa tokoh buruh
menjadi anggota DPR pada pemilu sebelumnya menjadi salah satu indikator atas
hal ini. Inilah salah satu dilema yang segera harus dipecahkan gerakan buruh
bila ingin diperhitungkan dalam konstelasi politik nasional. Sudah jadi rumusan
baku, untuk menjadi kuat, gerakan buruh tak boleh berhenti hanya sebagai
gerakan ekonomi, tetapi harus menjadi gerakan politik.
Hambatan Koalisi Buruh
Gerakan politik tak berarti harus mendirikan
parpol, menjadi anggota badan legislatif atau kepala daerah. Namun, gerakan
buruh memiliki kemampuan memengaruhi kebijakan politik negara, khususnya
terkait nasib buruh. Bung Karno pernah mengatakan, gerakan buruh harus
melakukan machtsvorming, proses pembangunan atau pengakumulasian kekuatan,
melalui pewadahan setiap aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat buruh,
menggelar kursus politik, mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan
koperasi buruh, dan sebagainya.
Terlepas dari kesalahan gerakan buruh di masa
Orde Lama yang terlalu fokus ke dalam urusan politik ketimbang kesejahteraan buruh,
satu hal yang membuat gerakan buruh dulu kuat: mereka memiliki pemahaman
ideologis jernih dan pengaruh politik yang kuat. Ini terjadi karena ada
pendidikan politik buruh yang diajar- kan dalam organisasi buruh. Seseorang
yang telah memiliki pemahaman ideologi akan militan: tak mau jadi kutu loncat,
berpindah-pindah ke organisasi lain. Jadi, sekali pun serikat buruh dulu
terpecah dalam berbagai faksi, perpecahan didasarkan karena perbedaan
ideologis. Itu bedanya dengan gerakan buruh era Reformasi.
Ratusan serikat buruh nasional saat ini
kebanyakan lahir akibat perpecahan yang dilatari masalah personal: karena kalah
dalam perebutan suara saat kongres, marah dan mendirikan organisasi baru.
Banyak dari gerakan buruh ini akhirnya terjebak pada kepentingan personal dan
perjuangannya terbatas pada tuntutan normatif. Minimnya kemampuan finansial
akibat minimnya anggota yang membayar iuran membuat aktivis buruh memilih jalur
yang dirasa akan memberikan hasil tercepat dengan cara instan.
Gerakan buruh Indonesia harus segera
berefleksi, mengapa kebebasan berserikat yang luas ini belum mampu menunjukkan
efek terhadap pengaruh politik buruh? Jawabannya berkisar pada absennya tiga
hal pokok. Pertama, serikat buruh tidak bersatu dalam sebuah wadah nasional. Dalam
kondisi saat ini, ide penyatuan semua serikat buruh hanya bagus di tingkat
wacana, tetapi sulit di tingkat operasional karena persaingan, saling curiga,
dan ego personal masih pekat.
Penulis hanya merekomendasikan wacana ini untuk
jangka panjang. Serikat buruh Jepang, AS, Jerman, dan Pakistan butuh lebih dari
50 tahun untuk bersatu. Karena serikat buruh Indonesia tak memiliki ideologi
berbeda, penyatuan gerakan buruh dalam satu wadah tak perlu melewati rute
panjang seperti empat negara itu.
Kedua, belum ada kekuatan serikat buruh
dominan, atau absennya koalisi gerak- an buruh sebagai kekuatan penyeimbang
atas sistem kapitalis. Di banyak negara yang mengizinkan lahirnya banyak
serikat, sebuah serikat buruh sulit memiliki pengaruh politik yang kuat akibat
tingginya fragmentasi dan konflik horizontal antarserikat dalam rebutan anggota.
Jadi, pilihan yang tersedia untuk menguatkan gerakan buruh: menyatukan beberapa
serikat buruh yang sehaluan dalam satu koalisi.
Ide koalisi tiga konfederasi buruh besar
Indonesia (KSBSI, KSPSI, KSPI yang disebut Majelis Pekerja/Buruh Indonesia
[MPBI]) adalah sebuah inisiatif bagus mengatasi kerumitan di atas. Yang harus
dijaga adalah MPBI jangan tergoda jadi alat tunggangan politik personal atau
dimanfaatkan untuk tujuan politik praktis, khususnya menjelang Pemilu 2014,
sebab akan menciptakan trauma jangka panjang buat buruh mendirikan koalisi di
masa datang.
Ketiga, masih lemahnya kapasitas pemimpin
buruh dalam memperkenalkan solusi alternatif. Yang tampak menonjol masih dalam
bentuk menyuarakan tuntutan dan kritik. Serikat buruh pada haki- katnya bukan
gerakan oposisi karena ada peran khas yang diembannya dan terikat dalam prinsip
bipartitisme dan tripartisme. Dalam relasinya dengan pengusaha dan pemerintah,
serikat buruh tidak bisa berperan sebagai oposan murni atas kedua mitranya.
Prinsip oposisi tak dikenal dalam prinsip bipartit dan tripartit; yang ada
adalah kesediaan merundingkan tuntutan, mendiskusikan pilihan, tanpa keinginan
menjatuhkan lawan.
Serikat buruh tidak bisa bergaya seperti
partai oposisi, LSM, atau gerakan maha- siswa yang bisa melakukan negasi,
kritik, tanpa alternatif operasional. Sebagai salah satu konstituen yang
bernegosiasi dalam wadah bipartit dan tripartit, serikat buruh bahkan dituntut
ikut menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan untuk menyelamatkan anggotanya
dari PHK. Dalam kamus ILO diistilahkan sebagai social dialogue, menggantikan ide klasik Marx dalam bentuk
pertentangan kelas melalui jalur social
confrontation. Serikat buruh tidak lagi diarahkan merebut alat produksi
dari kaum borjuis, tetapi memperjuangkan pembagian keuntungan yang adil.
Hanya saja, syarat utama ide social dialogue:
ada jaminan kebebasan berserikat bagi buruh. Tanpa jaminan ini, jalur
perjuangan buruh akan tetap berbau konfrontasi. Pengalaman internasional, kian
tinggi cakupan buruh diwadahi serikat buruh, semakin harmonis hubungan industri
di negara itu. Teori ini juga berlaku sebaliknya. Jadi, kunci utama terciptanya
hubungan industri yang harmonis adalah mempertinggi kondisi yang nyaman buat
buruh bebas berserikat dan berunding.
Dari Tuntutan Normatif ke Politik
Akibat kurangnya pengaruh politik, aksi
gerakan buruh cenderung pada perjuangan ekonomi: menuntut upah, bonus, jaminan
sosial, dan hubungan kerja. Mayoritas buruh masih belum paham akar penindasan
yang dialaminya saat ini bersumber dari sistem kapitalisme. Untuk memahami ini,
buruh harus mengetahui soal ekonomi politik. Tanpa paham ini, aksi buruh akan
reaktif dan sporadis. Program aksi harus dipandu sebuah ideologi dan agenda
politik jangka panjang. Jangan sampai rezim berganti, nasib buruh tak berubah.
Di era Soeharto, buruh direpresi dengan pengekangan kebebasan berserikat.
Di era Habibie, di bawah tekanan reformasi,
kebijakan perburuhan sedikit lebih baik karena Indonesia meratifikasi delapan
konvensi dasar ILO (salah satunya kebebasan buruh berserikat). Di era Megawati,
buruh justru mendapat UU kontroversial (No 13/2013) tentang liberalisasi sistem
alih daya dan privatisasi BUMN. Di masa SBY, buruh menghadapi maraknya
pelanggaran UU ketenagakerjaan dan ketimpangan pendapatan terparah dalam
sejarah Indonesia (rasio Gini). Gerakan buruh tak boleh membiarkan momentum
tahun politik berlalu tanpa arti. Masih ada waktu menyatukan suara dan aksi
bersama menegosiasikan agenda politik buruh. Jangan lagi buruh hanya tempat
mendulang suara partai tanpa komitmen atas aspirasi buruh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar