|
KOMPAS, 01 Mei 2013
Filsuf
Aristoteles telah mengingatkan, ”a little
mistake at the beginning becomes a big mistake at the end”.
Hal ini yang
sekarang terjadi dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan
Lambang Aceh yang saat pengibarannya diiringi dengan azan. Jadi, keseluruhan
lambang Aceh dengan sadar dan sengaja dibuat serba Islami, perwujudan dari ci-
tra ideal Aceh Serambi Mekkah.
Menjelang
akhir 1960-an Teungku Daoed Beureueh singgah di Paris. Dia diiringi beberapa
orang intelijen pemerintah saat mengunjungi beberapa negara Arab dan negara
”modern” di Eropa agar memperoleh pandangan mencerahkan. Dubes RI di Perancis
ketika itu, Jenderal Askari, sudah mengenal pemimpin DI/TII atau NII ini.
Sewaktu
periode revolusi fisik 1945-1949, Pak Askari, ketika itu berpangkat Letkol,
adalah Paman Artileri yang cakap. Ia didetasir pemerintah pusat di Aceh menjadi
penasihat militer Buya Daoed Beureueh, pejabat Gubernur Militer Aceh, Langkat,
dan Tanah Karo/Komandan Divisi X, berpangkat mayor jenderal.
Dubes Askari
menyelenggarakan makan siang di rumahnya guna menjamu Teungku Daoed Beureueh
yang dia hormati. Dalam makan bersama ini, yang diundang rupanya hanya saya
sendiri. Pak Askari tak keberatan bila saya mengajukan pandangan kritis
terhadap tamunya asalkan suasana keintiman dan kesantaian tetap dijaga.
Aceh
Serambi Mekkah
Dalam
kesempatan itulah saya mengkritik ide Aceh Serambi Mekkah. Menurut saya, jauh
lebih tepat dan mengena kalau disebut ”Aceh Serambi Indonesia Merdeka”. Adalah
suatu kenyataan yang diakui Zentgraaf, penulis buku Aceh, bahwa hingga 1938,
meski resminya Aceh sudah takluk kepada Belanda, masih sering terjadi
penyerangan gerilyawan Aceh terhadap patroli tentara Belanda, hingga ada ucapan
bahwa sebenarnya Aceh tak pernah menyerah kepada Belanda. Ia merupakan
satu-satunya daerah Republik Indonesia yang tak pernah diduduki Belanda ketika
berusaha menjajah kembali sesudah Perang Dunia II. Jadi, di luar Pulau Jawa,
daerah Aceh berfungsi sebagai modal utama perjuangan kemerdekaan nasional.
Saya lihat
wajah Buya Daoed Beureueh berkerut masam tanda tak senang. Di Aceh, karisma
pribadinya sangat besar. Jangankan mempertanyakan kebijakannya, jika ada bayi
menangis di saat dia sedang berbicara, ibu bayi itu dihardik semua hadirin dan
diusir keluar ruang pertemuan. Konon, apa-apa yang diucapkannya merupakan ”wer”, pegangan absolut bagi semua dan
tiap orang.
Meski berwajah
masam, Buya Daoed Beureueh menjawab kritik saya dengan suara datar bahwa
julukan ”Aceh Serambi Mekkah” bukan
berasal dari dia atau orang Aceh lain. Julukan ini datang dari Bung Karno, Sang
Proklamator Kemerdekaan yang dia hormati dan dikagumi rakyat Aceh. Bung Karno
mengucapkannya di muka rapat umum, hadir alim ulama, tokoh pejuang, dan
pemerintahan Aceh ketika untuk kali pertama menginjakkan kaki di ranah rencong,
Juni 1948, selaku Presiden RI.
Inilah
kesalahan kecil Bung Karno yang kemudian menggelinding menjadi besar bagai bola
salju, pembawa bencana nasional yang tak terbendung. Betapa tidak! Ucapan yang
semula dimaksudkan sekadar pujian tulus terhadap kehidupan religius di Aceh
diterima komunitas Muslim Aceh sebagai citra ideal kehidupan yang perlu
dipertahankan at all costs. Begitu rupa hingga citra ini berubah menjadi dunia
tersendiri yang otonom, setara dengan dunia nasional yang dicitrakan revolusi
kemerdekaan 45.
Setiap kali
ada pemimpin Aceh yang kecewa terhadap kebijakan pemerintahan nasional, dia
ajak kelompok etnisnya masuk ke dunia Daar al Islaam (Darul Islam) sebagai
basis melawan dunia nasional. Hal ini yang dilakukan Teungku Daoed Beureueh
ketika menggerakkan pemberontakan di Aceh dengan DI/TII dan ditiru Hasan Tiro
pada 1976 dengan GAM dan kini oleh penggagas Partai Aceh.
Kekuatan Nalar
Kini
penggunaan simbol GAM sebagai bendera dan lambang Aceh, alih-alih mempersatu,
malah merusak kohesi sosial di Aceh. Sekarang bermunculan menampilkan diri
aneka ragam suku Aceh, masing-masing menonjolkan jati diri etnisnya yang unik,
yang dahulu tidak pernah terjadi, yang menjurus ke pembentukan provinsi baru
yang terpisah dari dan setara dengan Provinsi Aceh yang sekarang secara politis
dikuasai Partai Aceh.
Benar kata
antropolog Teuku Kemal Fasya bahwa simbol GAM seperti lepas dari konteks Aceh
(Kompas, 16/4). Simbol itu bahkan tidak menggambarkan kejayaan Aceh masa lalu
di zaman pra-kemerdekaan nasional.
Islam memang
sudah jadi bagian kehidupan di Aceh sejak abad XIII. Pergolakan yang kini marak
di dunia Muslim mengingatkan kita untuk merenungi betapa Islam istilah yang
kelihatannya memberi peluang timbulnya banyak kebingungan. Yang paling
destruktif: yang mencampuradukkan kredo dan sejarah.
Tak sedikit
penafsir yang memegang ide bahwa Rasulullah menciptakan suatu nukleus negara Islam
di Madinah, suatu komunitas yang majemuk dalam berkeyakinan religius. Namun,
bukanlah wahyu Allah yang dipercaya turun pertama kalinya di kota ini berbunyi,
”tidak ada paksaan dalam agama” (AQ, 2:256). Apakah Rasulullah seorang raja?
Jika ketika masih hidup dia memang telah menciptakan negara Islam, mengapa dia
tak membuat satu disposisi apa pun guna menjamin kontinuitasnya?
Ketika masih
hidup Rasulullah malah lebih sering mengingatkan umatnya supaya selalu
menggunakan nalar, aqala, yang didapat melalui pengaktifan otak, olah pikir
(tafakkur, dabbara, nazara). Nalar penting karena ia pencetus dan pengolah ilmu
pengetahuan. Bukan kebetulan kalau ia disebut sampai 44 kali dalam Al Quran. Di
bagian akhir hayatnya, dia mendorong usaha pengembangan budaya keilmuan. Begitu
rupa hingga, sesudah abad pertama hijrah, kota-kota Islam berkembang jadi
intelectual workshop yang mampu menggerakkan pertumbuhan ilmu yang begitu
pesat.
Itulah awal
zaman keemasan Islam yang berlangsung dalam tahun 750-1100, jadi selama 350
tahun terus-menerus. Sesudah itu budaya keilmuan Islam mulai merosot,
digantikan oleh peningkatan kejayaan keilmuan Barat. Dalam kondisi merosot
inilah, sekitar tahun 1350, Islam baru datang di Aceh. Itu pun tak dibawa
ilmuwan, tetapi pedagang Arab dan India yang mendarat di Peureulak dan
berangsur-angsur tersebar di seantero Nusantara. Jadi, Islam yang ke sini
miskin dalam nilai-nilai keilmuan dan budaya serta semangat ilmiah. Islam yang
sudah jatuh dari kebesaran penalarannya.
Kalau orang
Aceh, toh, mau tetap menjunjung tinggi nilai keis- laman, mengapa tak
menghayati dan mendorong perkembangan kekuatan nalar dan budaya keilmuan yang
terkait erat dengan itu melalui kegiatan pendidikan dan kebudayaan yang
relevan, seperti yang dilakukan Rasulullah semasa hidup. Kegiatan yang masih
kental bersifat Islami ini, selain sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman, pasti
akan mengokohkan kohesi sosial masyarakat Aceh yang ternyata dibentuk oleh
beberapa kelompok etnis.
Kini, kian
jelas pengorganisasian baru yang membagi peran keagamaan: menangani
spiritualitas di tingkat individu dan menangani nalar yang bertugas mengatur
kehidupan bermasyarakat yang serba majemuk, berbangsa, dan bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar