|
MEDIA
INDONESIA, 02 Mei 2013
Mencuatnya konundrum korupsi dalam
kehidupan bangsa akhir-akhir ini membutuhkan penanganan yang jitu. Solusinya
bisa berasal dari gerakan warga yang bersepakat untuk mengimbangi
berlangsungnya penyalahgunaan kekuasaan secara beruntun.
Ada dua tulisan, yang pertama dari seorang ekonom, Albert
Hirschman, yang menyoal hawa nafsu dan kepentingan (The Passions and The
Interests, 1996) dan yang kedua dari seorang sosiolog, Ann Swidler, tentang
budaya bertindak (Culture in Action, 1986)
yang secara berbeda menggambarkan soal kepentingan manusia secara umum. Namun,
hanya tulisan Swidler-lah yang secara tegas menggambarkan strategi yang bisa
diambil manakala kultur bangsa sedang mengalami kelabilan (unsettled).
Pada Hari Buruh 1 Mei, di samping konsepsi Hirschman dan
Swidler tersebut, pengalaman Brasil dengan kestabilan pemerintahannya di masa
kini bisa menginspirasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita masyarakat
yang adil dan makmur.
Pemikiran
Hirschman dan Swidler
Secara gamblang Albert Hirschman menguraikan soal bagaimana
tatanan sosial berdasarkan mekanisme pasar itu pada awalnya memang ditujukan
untuk dapat mencapai hasil berupa upaya mengatasi kekuatan perusak yang datang
dari hawa nafsu manusia. Dalam hal ini `soal ketamakan' justru dianggap k lebih
kurang berbahaya jika l dibandingkan dengan sifat buruk manusia lainnya karena
memang begitu kapitalisme berjaya dalam tatanan borjuis di Eropa, hawa nafsu
manusia memang tampak terkendala atau mulai pupus (1996).
Melihat kenyataan mimpi tersebut tidak terwujud di
masa-masa selanjutnya Amartya Sen dalam kata pengantar karya Hirschman ini
justru memfokuskan catatannya soal fitur dan jangkauan hasil Zaman Pencerahan
yang berkaitan dengan soal kemanusiaan. Sebuah wilayah kajian yang menarik bagi
kalangan bukan ahli ekonomi. Apalagi setelah disadari bahwa kelompok mafia pun
bisa secara paksa menggabungkan pencarian uang dan keuntungan dengan kekerasan
dan brutalitas (Sen, 1996).
Swidler mendekati soal kepentingan dari sudut yang berbeda.
Ia melihat kepentingan sebagai hal yang turut membentuk beragam gagasan. Namun,
ia menggarisbawahi bahwa ideologi dibutuhkan untuk bisa mendukung kepentingan
tersebut agar dapat terus-menerus merekonstruksi dan meregulasi pola tindakan
orang lain (Swidler 1986). Memang pada dasarnya kapasitas untuk bertindak dan
mengatur tindakan orang lain itu yang sesungguhnya membentuk kepentingan para
pendukungnya (Swidler 1986).
Swidler membedakan dua kurun waktu, di kala kultur itu
mapan (settled culture) dan kultur
itu labil (unsettled culture) (1986).
Ia menawarkan konsep budaya dalam bertindak (culture in action). Ia melihat kultur sebagai perangkat atau tool kit yang terdiri dari simbol,
ritual, narasi, dan pandangan tentang dunia; ia melihat efek kausalnya berwujud
sebuah strategi dalam bertindak (strategies
of action); ia juga melihat kausalitas dari kultur bukanlah terletak pada
pendefinisian tujuan dari sebuah tindakan, melainkan lebih kepada penyediaan
komponen kultural yang bermanfaat di saat seseorang sedang menyusun strategi
dalam bertindak (1986).
Dengan jelas terlihat bahwa pandangan Swidler itu berbeda
dari pandangan tentang kultur yang lazim dikenal yang lebih berkenaan dengan
cara kehidupan masyarakat, termasuk teknologi dan artefak material (Geertz
1973). Buat Swidler, tindakan dan nilai bisa diorganisasikan sedemikian rupa
untuk bisa memanfaatkan kompetensi kultural seseorang (1986).
Kontinuitas dalam langgam dan etos tindakan dengan demikian
dapat diartikan sebagai hasil nyata upaya pelanggengan cara pengorganisasian
tindakan sekalipun gagasan serta tujuan tindakan telah berubah (Swidler, 1986). Menurut Swidler, kultur bisa menjelaskan hadirnya sebuah kontinuitas dalam
kehidupan yang mapan (settled lives)
(1986).
Perbedaan antara kultur yang mapan dan labil lebih terletak
pada peran kultur dalam mempertahankan strategi bertindak seseorang dan dengan
demikian juga tidak absolut sifatnya (Swidler, 1986). Sekalipun kehidupan
seseorang itu telah mapan, ia dapat berupaya sekuat tenaga mempertahankan
maupun menghaluskan kapasitas kulturalnya (Swidler, 1986).
Gerakan warga bisa membawa sebuah model baru untuk
mengorganisasikan tindakan dan merestrukturisasi komunitas bangsa yang ada
(Swidler, 1986). Situasi konkret yang dihadapi sebuah gerakan warga yang pada
akhirnya akan menentukan nasib apakah sebuah model kultur baru akan muncul dan
berjaya (Swidler, 1986). Di Amerika Latin masyarakat sipil telah lama mengalami
intervensi negara sehingga untuk melaksanakan upaya meregulasi kepentingan
untuk menjadi kebijakan sangat tidak bersifat kontroversial.
Indonesia sebagai
kultur mapan maupun labil
Suasana kelabilan yang diakibatkan maraknya kasus korupsi
di Indonesia masih mencerminkan adanya kegamangan yang lebih erat terkait
dengan konsepsi Swidler tentang sifat manusia yang cenderung memilih budaya
bertindak yang ia kenal atau mengambil tindakan dengan seseorang telah memiliki
perangkat budayanya (1986).
Kalangan terorganisasi yang ada justru tampak
berlomba-lomba menggerogoti alur pemerintahan Indonesia yang bercita-cita
mewujudkan keadilan. Hal itu berbeda dengan cara yang terungkap dalam konsepsi
Hirschman dan Swidler maupun pengalaman nyata Brasil dalam mengorganisasikan
tindakan demi merestrukturisasi komunitas bangsa yang ada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar