|
KOMPAS, 02 Mei 2013
Di Indonesia, ada 3.000 lebih perguruan
tinggi, tetapi kebanyakan sebetulnya hanya further
education, bukan higher education,
yang seharusnya melaksanakan tridarma perguruan tinggi.
Data Scopus
(http://www.scopus.com) menunjukkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi yang
ada, hanya sekitar 20 perguruan tinggi yang mempunyai rekaman kinerja
signifikan dalam penelitian. Kinerja dalam pendidikan pun tidak terlalu
istimewa: banyak perguruan tinggi dan program studinya yang belum
terakreditasi.
Selain masalah pendanaan, Satryo S
Brodjonegoro dalam tulisannya ”Dejawatanisasi Pendidikan” (Kompas, 8/3)
mengemukakan bahwa kemajuan pendidikan kita lamban karena tidak ada ruang
kreativitas untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan tantangan zaman.
Seluruh kebijakan ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan yang
harus dipatu- hi, baik oleh perguruan tinggi maupun para dosen dan mahasiswa.
(Hal serupa juga dialami oleh sekolah serta para guru dan siswa).
Setengah hati
Otonomi perguruan tinggi seharusnya melekat
pada perguruan tinggi itu. Namun, sejumlah peraturan perundangan mengatur
hampir segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di negara ini bahkan
perguruan tinggi swasta pun tidak otonom. Sebagai contoh, membuka program studi
harus seizin pemerintah. Contoh lain berkenaan dengan kenaikan jabatan dosen ke
lektor kepala atau guru besar: usul harus disampaikan kepada pemerintah untuk
diperiksa dan, bila semua syarat dipenuhi, diterbitkan surat keputusannya oleh
Mendikbud.
Baru-baru ini, persisnya awal Maret 2013,
bahkan ada Peraturan Mendikbud yang mengatur pemberian gelar doktor kehormatan
(Dr HC) oleh semua perguruan tinggi di Indonesia harus dengan persetujuan
Mendikbud!
Yang tak kalah lucunya adalah perihal jabatan
guru besar tidak tetap, yang diundangkan sebagai Peraturan Mendikbud sejak
2012. Berdasarkan peraturan itu, Mendikbud dapat mengangkat kalangan
nonakademisi yang dinilai memiliki tacit knowledge sebagai guru besar tidak
tetap. Saat ini ada beberapa orang yang telah menyandang sebutan tersebut.
Lupakan dahulu frasa ”tidak tetap”. Tampaknya
kita perlu menengok kembali makna di balik frasa ”guru besar”. Di Indonesia,
jabatan guru besar rupanya dianggap sebagai hak individu dosen, bukan sebagai
strategi perguruan tinggi menjalankan misinya. Sebagai contoh, ada dosen yang
diangkat sebagai guru besar hanya lima hari menjelang usia pensiunnya.
Berkasnya konon tidak diperiksa oleh tim Dikti, tetapi langsung disetujui
oleh menteri.
Secara umum, kriteria kenaikan jabatan dosen
di negara kita cukup unik: berdasarkan perolehan angka kredit (kum) dari
kegiatan tridarma dosen yang diusulkan, mengacu ke Peraturan Menpan. Untuk
kegiatan penelitian, misalnya, kum dapat diperoleh dari publikasi hasil
penelitian sang dosen. Lucunya, ada asas kepatutan yang membatasi jumlah
publikasi dosen tak lebih dari dua risalah per tahun. Jadi, dosen yang banyak
publikasinya justru akan dianggap tak patut.
Kemdikbud c/q Dikti pun membuat peraturan
tentang jurnal tempat publikasi hasil penelitian dosen, yang meliputi nama
jurnal, ukuran kertas, jumlah halaman, dan hal-hal kecil lainnya: seluruhnya
122 indikator.
Dunia pendidikan tinggi di negara kita memang
unik. Selain beberapa hal yang telah disebutkan, masih banyak keanehan lain.
Sebagai contoh, setiap perguruan tinggi di Indonesia, baik universitas maupun
sekolah tinggi, mewajibkan mahasiswanya menulis skripsi di tahun terakhir.
Padahal, skripsi merupakan warisan Belanda untuk program pendidikan tinggi setingkat
program magister, yang di Belanda sana pun sudah tak diberlakukan lagi.
Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia,
misalnya, skripsi hanya diperuntukkan bagi mahasiswa program honors, tidak
untuk semua mahasiswa program sarjana. Di China, sekalipun di Universitas
Beijing, tidak ada kewajiban menulis skripsi bagi para mahasiswa program
sarjana.
Dengan pemaksaan kewajiban menulis skripsi di
seluruh perguruan tinggi Indonesia, yang terjadi kemudian adalah fabrikasi
skripsi, termasuk maraknya layanan jasa penyusunan skripsi. Solusi dari
pemerintah kemudian malah mewajibkan mahasiswa memublikasikan skripsinya.
Contoh keanehan lain dalam dunia pendidikan
tinggi kita adalah adanya perguruan tinggi yang baru-baru ini didirikan oleh
pemerintah, belum mempunyai statuta, kampus, ataupun dosen, tapi sudah menerima
mahasiswa dan ada pula lulusan SMA yang mau kuliah di perguruan tinggi
tersebut.
Memang tidak semua perguruan tinggi di negara
kita buruk. Sayangnya, saat ini, status hukum perguruan tinggi di Indonesia
masih mengambang, termasuk nasib beberapa perguruan tinggi andalan bangsa.
Bahkan, Universitas Indonesia dibiarkan tidak mempunyai rektor definitif untuk
sekian lama.
Mau dibawa ke mana pendidikan tinggi kita,
baik oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat, sulit menjawabnya. Seperti
halnya diperlukan guru mbeling dalam
melaksanakan Kurikulum 2013 (Sidharta Susila, Kompas, 7/3), mungkin diperlukan
perguruan tinggi mbeling untuk
memajukan pendidikan tinggi kita! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar