|
KOMPAS, 02 Mei 2013
Ki Hadjar Dewantara sebagai anggota BPUPKI
merumuskan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional”. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen pada
hakikatnya sama, hanya perkataan ”satu
sistem pengajaran nasional” diamandemen menjadi ”satu sistem pendidikan nasional”. Pada kabinet pertama Republik
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara ditunjuk memimpin Kementerian Pengajaran sebagai
menteri.
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa
(1922) sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat tertib, damai,
bahagia, tangguh, dan berjaya.
Sejarah dunia mencatat, di tengah penjajahan
kolonial, sekolah Tamansiswa mengajarkan kepada rakyat terjajah agar melawan
penjajah untuk meraih kemerdekaan. Gubernur Jenderal mengeluarkan ordonansi
melarang sekolah liar. Tamansiswa termasuk yang dianggap liar. Pergerakan
nasional melawan keras ordonansi itu. Ordonansi dicabut!
Darurat Nasional
Tersurat dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, Indonesia merdeka mengemban doktrin kebangsaan dan doktrin
kerakyatan. Artinya, kebangsaan (nasionalisme) dan kerakyatan (pakem takhta untuk
rakyat) harus mengambil perannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Lunturnya nasionalisme saat ini adalah
darurat nasional. Kita lengah membedakan antara ”pembangunan Indonesia” dan
sekadar ”pembangunan di Indonesia”. Kita menempatkan diri hanya sebagai
”penonton pembangunan” di negeri sendiri. Paham kerakyatan yang meluntur
membuat kita cuek ketika pembangunan menggusur orang miskin dan bukan menggusur
kemiskinan.
Saya menulis di Kompas terbitan 29 Agustus
2012 tentang seorang ekonom di sekitar Presiden yang meremehkan nasionalisme.
Ia barangkali termakan skenario global, neocortical
warfare, dalam diktum-diktum miring the
end of nation-states, the borderless world, dan the end of history. Dia mengatakan, ”Apa itu nasionalisme, kuno itu, masukin saja ke saku”.
Mengapa ekonom ini tidak malu dan tidak mau
tahu bahwa nasionalisme adalah kedaulatan bernegara yang tak pernah menjadi
kuno atau usang?
Jika yang dikatakan Bung Karno dan Bung Hatta
tidak dipahami dan dikatakan kuno, hal tersebut disebabkan sejarah perjuangan
bangsa makin diabaikan pendidikan nasional kita. Pembelaan Bung Karno di
Pengadilan Bandung, Indonesië Klaagt-Aan
”Indonesia Menggugat” (1930); dan
pembelaan Bung Hatta di Pengadilan Den Haag, Indonesië Vrij ”Indonesia
Merdeka” (1926), tidak akan usang.
Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar
Dewantara, menegaskan (1928), ”...
Pengajaran harus bersifat kebangsaan.... Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak
berdasarkan kenasionalan, anak-anak tidak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa
dan makin lama terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan
kita....” Kunokah ini?
Servilisme kaum intelektual kita barangkali
perlu digugah dengan mengutip pendapat kontemporer (abad ke-21) orang-orang
Barat berikut ini.
Leah Greenfeld (2001): ”Pertumbuhan perekonomian modern hanya akan berkesinambungan justru
jika didorong dan ditopang nasionalisme.”
Ian Lustic (2002): ”Nasionalisme merupakan suatu kekuatan pembangunan yang tidak ada
tandingannya di dunia masa kini.”
Perkataan ”satu
sistem pendidikan nasional” dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dapat
diartikan, kurikulum pendidikan nasional kita adalah satu bagi seluruh bangsa
untuk memperkukuh satu kenasionalan dari keberagamannya yang sangat kaya.
Kurikulum pendidikan nasional harus membentuk pola-pikir ”ketunggalikaan” di dalam realitas kebinekaan Indonesia sebagai
aset nasional. Bila tidak, ”persatuan”
hanya akan bermakna ”persatéan”.
Kurikulum pendidikan nasional kita wajib
membentuk dinamika konvergensi nasional, memperkukuh kohesi nasional. Pada
tahun 1997, Menteri Pendidikan Malaysia Najib Razak menyampaikan kepada Badan
Pertimbangan Pendidikan Nasional kita, ”Malaysia
negara federal, tetapi pendidikan dilakukan tersentralisasi untuk menjamin mutu
dan isi yang satu bagi seluruh bangsa.” Indonesia terjebak
ketidakterampilan plus lengah misi.
Budaya Bernalar
Adalah terburu-buru menolak ujian nasional
(UN) karena dikatakan merusak budaya bernalar. Apabila pelaksanaan UN tidak
”gagal”, pastilah tuntutan menghapus UN tidak akan berlebihan sekeras ini.
Keputusan Mahkamah Agung (2008) yang melarang pemerintah menyelenggarakan UN
tentulah keliru karena tidak memahami misi nasional.
Gagalnya pelaksanaan UN memang tanggung jawab
menteri, dan menteri memberi contoh keteladanan mendidik dalam ”berani memikul tanggung jawabnya”.
Namun, orang bertanya, mengapa para akademisi
di Badan Standardisasi Pendidikan Nasional dan Balitbang tidak mengaku salah
pula? Presiden menggunakan kata keras ”investigasi”,
berarti menduga keras telah terjadi penyusupan kepentingan atau sabotase.
Sejak tahun 1961 marak sistem ujian dengan
pilihan ganda, maka sejak itu pula diawali perusakan terhadap budaya bernalar,
berkomunikasi, dan berkreasi dalam menghadapi dinamika tantangan zaman.
Budaya bernalar adalah salah satu tuntutan.
Nalar tidak universal, tidak bebas-nilai. Neutrality
of science atau die Wertfreiheit der
Wissenschaft sudah lama ditolak. Ada nalar Indonesia, ada nalar Barat.
Tuntutan fundamental lain dalam bernegara adalah bercita-cita, bermimpi bersama
mendesain keindonesiaan masa depan, serta berdasarkan konsensus kebangsaan dan
kerakyatan.
Nalar menempel pada mimpi nasional yang tidak
boleh diabaikan oleh pendidikan nasional. Bahkan, Sejarah dan Ilmu Bumi untuk
menumbuhkan keindonesiaan diabaikan. Legiun Veteran Republik Indonesia
melayangkan teguran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi tidak
ditanggapi.
Materi ujian serta mutu pendidikan dan
pengajaran di ruang-ruang kelas memang harus ditingkatkan supaya substansinya
relevan dan terarah. Menghapuskan UN sebagai standar membentuk pola pikir
nasional merupakan kesalahan fatal. Bagaimana agar guru-guru dan oknum-oknum
Dinas Pendidikan tidak membohongi diri, tidak menjual kunci jawaban UN, adalah
soal lain lagi.
Menipis
Bonus demografi akibat membesarnya jumlah
penduduk usia produktif hingga tahun 2030 dan membengkaknya kelas menengah yang
dibanggakan sejumlah kalangan tidak akan merupakan ”bonus” apabila mereka
berperilaku lebih konsumtif daripada produktif, lebih menyukai barang-barang
impor daripada produk-produk dalam negeri.
Kepekaan anak-anak muda kita terhadap
kebanggaan dan kepentingan nasional pun menipis tatkala pendidikan membiarkan
”modernisasi” direduksi menjadi ”westernisasi”.
Tanpa nasionalisme, kecerdasan otak tidak
menjadi pendorong untuk mengangkat harkat kita dari keterjerumusan sebagai
jongos globalisasi, tidak akan mampu merasakan bahwa restoran-restoran asing,
mal-mal, dan supermarket-supermarket serba asing melumpuhkan dan memiskinkan
usaha-usaha anak negeri.
Perkembangan demografi tidak akan menjadi
bonus, tetapi menjadi lawan keindonesiaan yang ditakuti Ki Hadjar Dewantara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar