|
KOMPAS, 02 Mei 2013
Kebijakan BBM bersubsidi di Indonesia akan
memasuki fase baru jika dua harga BBM bersubsidi diberlakukan: Rp 4.500 untuk
angkutan umum dan sepeda motor, serta Rp 6.500-Rp 7.000 untuk mobil pribadi.
Pilihan kebijakan dua harga ini muncul di
tengah kebingungan pemerintah memilih antara tetap mempertahankan harga BBM
bersubsidi serta risiko fiskal yang makin besar dan memberlakukan dua harga BBM
dengan harapan meminimalkan dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat
dibandingkan dengan jika harga BBM bersubsidi seluruhnya dinaikkan. Tentu
kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara menyeluruh tidak populis secara
politik, apalagi pemilu akan dilangsungkan tahun depan.
Risiko Dua Harga
Secara umum, selama substitusi BBM tidak
tersedia, harga BBM bersubsidi cenderung inelastis dalam jangka pendek.
Artinya, dampak penurunan konsumsi BBM sebagai respons atas kenaikan harga
relatif tidak sig- nifikan.
Dalam jangka panjang, dengan syarat moda
transportasi publik yang memadai dan bahan alternatif BBM sudah tersedia,
kenaikan harga akan menyebabkan penurunan konsumsi secara signifikan.
Keberadaan substitusi BBM akan memengaruhi keputusan konsumen, misalnya pada
cara berkendara dengan mengurangi perjalanan mobil pribadi dan lebih banyak
menggunakan angkutan publik atau menggunakan alternatif BBM seperti gas dan
listrik.
Dalam literatur ekonomi, penerapan
diskriminasi dua harga BBM akan berhasil jika memenuhi dua prasyarat berikut.
Pertama, terdapat perbedaan permintaan BBM bersubsidi di antara (kelompok)
konsumen. Dalam hal ini, pengetahuan tentang elastisitas permintaan BBM antara
kelompok konsumen kendaraan umum serta sepeda motor dan pemilik mobil pribadi
menjadi penting.
Secara umum, pemilik mobil pribadi merupakan
kelompok dengan tingkat pendapatan menengah-atas. Dalam hal berkendara dan
seiring dengan kenaikan pendapatan, kelompok ini dipandang lebih sensitif
terhadap aspek selain harga, seperti kenyamanan. Karena itu, bisa dikatakan,
permintaan BBM bersubsidi bagi pemilik mobil pribadi akan cenderung inelastis
terhadap harga. Artinya, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada kelompok ini
relatif kecil sehingga tidak akan memicu penurunan konsumsi yang signifikan.
Identifikasi konsumen BBM bersubsidi
berdasarkan kategori apakah mobil pribadi atau bukan tentu bukan hal sulit.
Becermin pada kondisi ini, potensi keberhasilan kebijakan diskriminasi harga
cukup besar. Namun, hal ini sangat bergantung pada aspek nonteknis lain,
seperti ketegasan petugas di lapangan untuk tidak melayani pembelian BBM
bersubsidi bagi mobil pribadi.
Kedua, diskriminasi harga akan berhasil
selama upaya menjual kembali BBM bersubsidi kepada pemilik mobil pribadi dapat
dicegah. Jika BBM yang dibeli de- ngan harga Rp 4.500 bisa dijual kepada
pemilik mobil pribadi atau industri dengan harga Rp 6.500-Rp 7.000 atau minimal
lebih besar dari harga subsidi, penerapan dua harga justru akan menimbulkan
”pasar gelap” BBM bersubsidi.
Munculnya potensi menjual kembali bisa dari
sisi konsumen ataupun pemilik SPBU. Insentif untuk melakukan jual-beli BBM dari
pasar angkutan umum dan sepeda motor ke pasar mobil pribadi cenderung besar di
suatu tempat, di mana biaya transportasi untuk memindahkan produk BBM rendah.
Untuk itu, pengawasan dan ketegasan dalam penegakan hukum terhadap para
pelanggar harus terus diupayakan. Sayangnya, berkaca pada pengalaman masa lalu,
pengawasan dan penegakan hukum di negeri ini masih menjadi barang mahal.
Beda Dengan Listrik
Berbeda halnya dengan praktik diskriminasi
harga yang terjadi untuk listrik. Produk listrik relatif sulit diperjualbelikan
di pasar karena karakteristik produk yang secara fisik sulit dipindahtangankan
sehingga tidak dimungkinkan terjadi jual kembali. Di samping itu, strategi block pricing/tariff memungkinkan terjadinya
self-selection, di mana konsumen
mendapatkan harga bervariasi pada level konsumsi yang berbeda.
Strategi dua harga berhasil di beberapa
negara, seperti Swiss, Finlandia, Thailand, dan India. Negara-negara itu
memberlakukan harga tiket transportasi publik lebih murah bagi warganya
karena kontribusi mereka sebagai pembayar pajak. Oleh karena status warga
negara tidak bisa dipindahtangankan, kebijakan tarif ganda ini tidak
memungkinkan terjadinya jual kembali.
Menurut penulis, daripada memaksakan model
dua harga yang dibahas saat ini, dalam jangka pendek pemerintah seharusnya
membuat produk BBM dengan kualitas medium bagi konsumen kendaraan pribadi. Saat
ini, produk BBM bersubsidi merupakan produk beroktan 88, sedangkan BBM
nonsubsidi bervariasi, antara oktan 92 dan 95. Makin tinggi nilai oktan
mencerminkan kualitas BBM. Ini yang menjadi alasan sebagian orang mengonsumsi
BBM nonsubsidi karena BBM beroktan tinggi dipandang bisa menghasilkan
pembakaran yang lebih bagus: meningkatkan efisiensi dan kinerja mesin.
Jadi, dengan membayar Rp 6.500-Rp 7.000,
konsumen kendaraan pribadi seharusnya berhak mendapatkan kualitas BBM lebih
bagus, misalnya BBM beroktan 90 atau yang mendekati nilai oktan BBM nonsubsidi.
Dalam jangka menengah-panjang, pemerintah
harus mendorong industri kendaraan memproduksi mobil yang kompatibel dengan BBM
kualitas medium atau lebih tinggi, tapi tidak cocok dengan BBM bersubsidi
atau BBM beroktan rendah. Salah satu disinsentif mengurangi konsumsi BBM
bersubsidi: industri membuat mobil yang jika mengonsumsi BBM beroktan rendah
akan mengurangi performanya.
Tentu setiap kebijakan memiliki risiko.
Potensi kebocoran di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum akan
terjadi jika kebijakan dua harga bagi BBM bersubsidi ini diterapkan. Hal ini
juga yang menyebabkan pemerintah gagal menerapkan kebijakan
pembatasan/kuota BBM bersubsidi pada 2011 dan 2012.
Inilah beberapa pilihan rasional yang
tersedia bagi pemerintah: tetap memberlakukan dua harga dengan risiko kebocoran
yang besar, membuat BBM berkualitas medium dengan harga mendekati
keekonomian, atau menaikkan harga BBM secara bertahap seperti yang dilakukan
oleh PLN untuk listrik dengan risiko dampak inflasioner yang lebih besar karena
hadirnya ekspektasi. Kenaikan hargabertahap hingga harga keekonomian BBM juga
harus dibarengi dengan perbaikan kualitas produk yang tecermin dari nilai
oktan.
Sebenarnya momentum kenaikan BBM bersubsidi
itu ada pada satu-dua tahun lalu di bulan-bulan perekonomian mengalami deflasi.
Sayangnya, saat itu pemerintah tak berani. Sebaliknya, karena 2013 dipandang
sebagai tahun politik, kenaikan harga BBM bersubsidi tanpa terkecuali akan
menciptakan risiko politik yang sangat besar, khususnya bagi partai penguasa.
Di tengah tekanan kenaikan harga beberapa komoditas saat ini, dampak inflasi
akan lebih besar dari yang diperkirakan. Inilah harga yang harus dibayar
pemerintah untuk sebuah keraguan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar