Setelah
lebih enam dasawarsa negara Indonesia berdiri dengan memakai hukum pidana
yang diadopsi 100 persen dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
penjajah Belanda, akhirnya usaha untuk memiliki KUHP buatan sendiri
hampir tiba pada putik buahnya. DPR RI sekarang tengah membahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) KUHP.
Ada
satu pasal yang menarik perhatian yaitu pasal kumpul kebo, yakni Pasal
485 yang menyebutkan, "Setiap
orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan
yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak Kategori II" (katagori II adalah denda
maksimal Rp 30 juta). Sebagian orang menolak tegas pasal ini
dimasukkan KUHP baru. Alasan mereka kumpul kebo adalah masalah privasi
(hak pribadi) yang tidak boleh diganggu gugat oleh pihak manapun.
Cara
berpikir segelintir kelompok ini rasanya perlu dicermati. Sebagai manusia
yang mengaku makhluk ciptaan Tuhan, semestinya semua manusia tunduk pada
aturan yang telah digariskan Sang Pencipta itu. Bagaimanapun yang paling
tahu mengenai seluk-beluk sesuatu pastilah penciptanya.
Fahsya'
dan mungkar Alquran menjelaskan bahwa dosa besar itu dibagi dalam dua
kategori, yang pertama disebut fahsya' dan yang kedua disebut mungkar.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa fahsya' itu adalah perbuatan keji yang
merupakan perbuatan dosa besar, namun perilakunya itu tidak merugikan orang
lain. Sedangkan mungkar adalah perbuatan keji yang merupakan dosa besar
dan perilakunya merugikan pihak lain. Contoh perbuatan fahsya'
adalah berzina, mabuk minuman keras, memakai narkoba, suap-menyuap, dan
bunuh diri yang tidak merugikan orang lain. Sedangkan contoh
perbuatan mungkar adalah memerkosa, memeras, korupsi, dan membunuh orang,
yang merugikan pihak lain.
Berzina
adalah melakukan hubungan suami istri antara pria dan wanita yang tidak
diikat dengan hubungan pernikahan yang sah, dan dilakukan secara sukarela
antara kedua belah pihak. Dapat dilihat bahwa tidak ada pihak yang
merasa dirugikan dari perbuatan ini. Sang pria merasa senang dan begitu
juga sang wanita. Keduanya mendapatkan kenikmatan syahwat tanpa merugikan
pihak lain. Ternyata Alquran memasukkan perbuatan zina itu ke dalam
perbuatan fahsya'. Allah berfi rman dalam surat al-Isra' ayat 32, "Dan janganlah kamu mendekati
zina; Sesungguhnya zina itu adalah salah satu perbuatan fahsya'
(keji) dan seburuk-buruknya jalan."
Para
penentang Pasal 485 itu merasa bahwa hal-hal yang bersifat privasi dan
tidak merugikan orang lain semestinya tidak boleh diancam pidana atau
denda. Sayangnya kelompok yang sering menyebut diri sebagai pembela
hak asasi manusia ini, terkesan tidak konsekuen dengan pola pikirnya
itu.
Jika
yang menjadi acuan adalah hak pribadi yang tidak merugikan orang lain,
sehingga tidak boleh dilarang, apalagi diancam pidana, maka perbuatan
lain yang sejenis dengan itu harus diberi kedudukan yang sama pula. Ambil
contoh, misalnya, kasus suap-menyuap. Dalam perkara suap-menyuap, pihak
penyuap dan pihak yang disuap sama-sama rela dan tidak merasa
dirugikan.
Keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan dari perbuatan mereka
itu.
Semestinya tidak boleh juga diancam pidana. Namun anehnya, ternyata pasal
suap-menyuap dengan ancaman penjara dapat mereka terima dan tidak mereka
ributkan. Mereka tidak meminta pasal suap-menyuap dalam KUHP baru
itu dicabut. Bukankah ini menunjukkan sikap yang tidak konsekuen?
Perlu
dicatat bahwa suap-menyuap adalah perbuatan fahsya' dan tidak
merugikan orang lain. Contoh lain kasus narkoba. Mengonsumsi narkoba
sampai mabuk dan hilang ingatan sama sekali tidak merugikan orang lain.
Uang yang dipakainya adalah hartanya sendiri. Sedangkan tubuh yang
dipakainya adalah tubuhnya sendiri juga. Maka, apabila seseorang memakai
narkoba di dalam ruang privasinya dan tidak mengganggu orang lain pula,
semestinya orang tersebut tidak boleh ditangkap dan dipidanakan. Namun, aneh bin ajaib, pasal narkoba
ternyata tidak diributkan sama sekali.
Jangan Menghina Adat
Seorang
pakar hukum pidana Prof Dr Andi Hamzah menilai bahwa memidanakan kumpul
kebo tidak selaras dengan hukum adat bangsa Indonesia. Di beberapa
daerah, kumpul kebo ditoleransi dan mereka bisa memisahkan diri dari
Indonesia apabila RUU KUHP disahkan.
Kami
sangat meragukan ucapan profesor ini. Apa benar masyarakat Bali yang
religius Hindu itu menoleransi perzinaan, sehingga sampai akan memisahkan
diri dari Republik Indonesia jika berzina dilarang di tengah masyarakat
Bali?
Begitu juga masyarakat Minahasa yang mayoritas religius Kristen, apa
benar mereka semua juga menoleransi perzinaan dan sangat mencintai
zina.
Sehingga, jika zina dipidanakan maka masyarakat Minahasa akan memisahkan
diri dari NKRI? Begitu juga masyarakat Mentawai. Kami khawatir dengan
mengatakan masyarakat Mentawai melegalisasi zina adalah sebuah pernyataan
yang sangat menghina harga diri mereka.
Indonesia
adalah negara hukum yang ber-Pancasila. Sila pertama dari Pancasila
adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang berarti mengakui keberadaan agama di
negeri ini. Perlu dicatat bahwa tidak ada satu agama pun yang resmi
diakui di negara Indonesia ini yang melegalkan zina. Kumpul kebo sudah
pasti perbuatan zina.
Meskipun
tergolong ke dalam perbuatan fahsya' yang tidak merugikan orang lain,
namun wajib dilarang dan dikenai sanksi atas semua pelakunya tanpa
pandang bulu dan alasan. Apalagi zina itu rentan penyakit kelamin dan
penyakit kejiwaan. Betapa banyak sudah korban zina yang menderita
penyakit kelamin, bahkan HIV/AIDS. Ujung-ujungnya, jika sudah kena
penyakit ini, mereka akan masuk dalam pelaku kemungkaran, karena akan
merugikan dan menularkannya pada orang-orang lain, bahkan pada orang yang
tidak berdosa.
Bagi
Penulis, semestinya Pasal 485 itu tidak diberi ruang celah meringankan
dengan membuka alternatif denda, karena justru akan melemahkan usaha
memberantas zina itu sendiri. Wallahu
a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar