Dunia sedang
menyaksikan tragedi skala masif di Suriah, tetapi lamban mengatasi meski pembunuhan,
pembantaian atau eksekusi massal, dan kekerasan mematikan lainnya telah
merenggut lebih dari 70.000 orang. Pengungsian, kelaparan, penculikan,
dan pemerkosaan menambah panjang penderitaan warga sipil tidak bersalah
yang menjadi korban perang saudara yang seakan tak berkesudahan.
Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi paling berkuasa di dunia saat ini,
tidak berdaya menghentikan kekerasan demi kekerasan di Suriah. Rusia dan
China sebagai anggota tetap DK PBB lebih mengamankan rezim Suriah
ketimbang memproteksi keselamatan dan perlindungan jutaan warga sipil
yang terintimidasi kekuatan senjata.
Menghadapi konflik Suriah, DK
PBB bak macan ompong. Krisis Suriah dan ketidakberdayaan DK menjadi
bagian pokok bahasan diskusi Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri RI tentang ”Peran
Pemerintah RI dalam Mengupayakan Perdamaian di Suriah”, di Jakarta,
Kamis (28/3).
Seminar yang diprakarsai Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika
(P3K2 Aspasaf) Kemlu itu menampilkan empat pembicara. Mereka adalah Broto
Wardoyo (Universitas Indonesia), Bantarto Bandoro (Universitas Pertahanan
Indonesia), Febrian A Ruddyard (Kemlu RI), dan Kolonel (Pnb) Irwan Ishak
Dunggio, Wakil Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (Mabes TNI).
Febrian mengatakan, DK sangat
lemah dalam menghadapi konflik Suriah. Menurut Direktur Keamanan
Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI ini, tiga rancangan
resolusi terkait Suriah telah gagal disepakati DK, yakni pada Oktober
2011 serta Februari dan Juli 2012. Kegagalan mengadopsi resolusi
menyebabkan penutupan Misi Pemantau PBB di Suriah.
Meski Piagam PBB telah
menetapkan DK bertugas memelihara keamanan dan perdamaian dunia serta
telah dilengkapi wewenang luas baik sanksi nonmiliter maupun penggunaan
kekuatan bersenjata, penggunaan hak veto oleh China dan Rusia, sekutu
terdekat Damaskus, menjadi salah satu penyebab mandulnya DK merespons
cepat krisis kemanusiaan Suriah.
Bentuk, format, kewenangan, dan
cara kerja DK sudah ”kedaluwarsa”, hasil warisan arsitektur politik
Perang Dunia II. Sementara tanggung jawab internasional yang dihadapi
kini sudah sangat modern.
”Konflik Suriah menjadi momen untuk mereformasi DK. Badan ini
harus direformasi agar menjadi institusi yang responsif, kredibel, dan
representatif,” kata Febrian.
Proses negosiasi terkait
reformasi PBB itu kini sedang berjalan. Menurut Febrian, ada beberapa isu
utama dalam proses itu. Di antaranya adalah apakah akan tetap 15 negara
atau akan ditambah atau dikurangi. Dilihat dari kategori, apakah masih
perlu anggota tetap dan anggota tidak tetap ataukah semuanya memiliki
privilese yang sama.
Peran Indonesia
Konflik Suriah yang terinspirasi
dan merupakan bagian dari aksi prodemokrasi Musim Semi Arab yang dimulai
dari Tunisia telah menjadi ancaman bagi keamanan internasional. Konflik
tidak saja menjadi persoalan domestik, tetapi juga telah melebar ke
negara tetangga.
Sebagai bagian komunitas dunia,
dan dalam konteks untuk mengupayakan perdamaian global, apakah sikap Indonesia
menghadapi krisis terkini dunia, terutama terkait konflik panjang Suriah?
Dengan cara apa pula Indonesia bisa berperan? Apakah perlu menjadi
anggota DK PBB hasil reformasi terlebih dahulu baru Indonesia bisa lebih
berperan?
Broto Wardoyo, pengajar Departemen
Hubungan Internasional UI, menegaskan, kebijakan luar negeri Indonesia
harus dibangun atas kepentingan yang akan dicapai, nilai bebas-aktif yang
mendukung kemerdekaan sebuah bangsa, perdamaian, dan ketertiban dunia.
Terkait dengan krisis Suriah, aktor-aktor
eksternal sangat dominan dengan jurang kepentingan yang tajam. Menurut
Broto, ada tiga tendensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan
jurang kepentingan itu, yakni meningkatnya konfesionalisme, menguatnya
radikalisme, dan jejaring akar rumput di kalangan rakyat Suriah.
Tiga faktor itu menjadi kunci
bagi penyelesaian krisis Suriah. Indonesia bisa mengeksploitasinya untuk
memaksa para pihak eksternal keluar dari krisis Suriah. Harus diupayakan
pula menciptakan lingkungan yang baik di kawasan dan sekitarnya.
Potensi perluasan konflik Suriah
sangat terbuka karena posisinya berada di episentrum pertarungan politik
kawasan. Saat ini ada tiga konflik bersinggungan dengan krisis Suriah,
yakni konflik Arab-Israel, konflik internal Lebanon, dan isu nuklir Iran.
Belum Ada Cetak Biru
Indonesia disadari sebagai salah
satu negara besar, yang kedudukannya semakin penting di kancah
internasional serta memiliki hubungan diplomatik dan bilateral dengan
Suriah. Dengan posisi strategisnya itu, juga berpenduduk Muslim terbesar,
Indonesia semestinya bisa berperan dan lebih bisa diterima dalam
mengupayakan perdamaian di Suriah atau Timur Tengah.
Apakah langkah konkret Indonesia
dalam mengupayakan perdamaian di Suriah? Apakah dengan mengirim kontingen
penjaga perdamaian, seperti ke Mesir (1957), Kongo (1960 dan 1962), dan
Vietnam (1973), yang mencapai ribuan prajurit? Andaikan Indonesia hadir
di kawasan, kehadiran itu untuk mendapatkan manfaat ataukah sekadar
pencitraan?
Konflik Suriah seharusnya
menjadi momen bagi Indonesia bermain sebagai aktor perdamaian
internasional. Meski demikian, ternyata tetap tidak mudah bagi Indonesia
berperan di Timur Tengah. Para pembicara menyadari, kalaupun memiliki
pengaruh ekonomi dan perdagangan dengan kawasan itu, Indonesia tidak
memiliki kekuatan politik di sana.
Selain itu, sudah ada para
pemain besar yang memiliki kepentingan dan memperoleh keuntungan besar
juga di kawasan. Rusia dikenal memiliki pengaruh yang kuat dan pemasok
persenjataan bagi rezim Presiden Bashar al-Assad.
Meski kepentingan langsung China
di Suriah belum terlihat, negara itu semakin ingin menegaskan
sikapnon-intervention policy. ”Peningkatan
pengaruh China mengakibatkan mereka semakin asertif dalam hubungan
internasional,” kata Febrian.
Hal paling penting juga adalah
bahwa sampai saat ini Indonesia belum memiliki cetak biru tentang visi
strategis dalam mengupayakan perdamaian di wilayah konflik internasional.
Menurut Bantarto dan Irwan, visi adalah identifikasi dari tujuan akhir
atau tujuan kegiatan yang akan dilakukan Indonesia. Visi itu harus
realistis dan fokus.
Bantarto menambahkan, ketika
Indonesia merancang visi strategis perdamaian internasionalnya, dia harus
memperhatikan bukan saja lingkungan di mana visi dilaksanakan. Hal
terpenting adalah kapasitasnya untuk menjalankan visi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar