Hasil
survei beberapa lembaga menyiratkan partai-partai berasas Islam dan
berbasis Muslim, serta para tokohnya dalam bursa capres, akan meraih
suara kurang dari lima persen, patut dikritisi. Tanggapan kritis terhadap
suatu survei bukan untuk mempertanyakan integritas penyelenggara survei
atau menjadi manuver defensif partai-partai Islam karena hasilnya tidak
menggembirakan.
Kritik konstruktif diperlukan untuk mendudukkan posisi survei pada
maqamnya, sebagai suatu potret sesaat sehingga bukan menunjukkan tren,
apalagi dapat menggambarkan hasil pemilu. Akan tetapi, pertimbangan
terpenting dalam menanggapi survei adalah agar semua survei tetap terjaga
kredibilitas ilmiahnya.
Dalam
survei LSI, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, diindikasikan
meraih empat persen suara. Sementara Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali akan
dipilih 2,9 persen responden sebagai calon wakil presiden. Jumlah
respondennya 1.200 orang. Sebelumnya, pada 6-20 Desember 2012 SMRC
mengadakan survei serupa dengan responden 1.220 orang dan memperoleh hasil
yang tidak berbeda signifikan. Akan tetapi, benarkah semua survei
politik telah memenuhi syarat ilmiah?
Secara
umum, ukuran sampel bukan segalanya ketika populasi yang disurvei
bersifat seragam atau menyebar random
sempurna. Ukuran sampel yang kecil tetap dapat mewakili
populasi. Masalahnya, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam.
Keragamannya sangat besar. Keragaman tersebut bertambah karena beberapa
fenomena, antara lain, (1) peningkatan interaksi antarelemen, seperti
pernikahan antaretnis, (2) mobilitas vertikal, seperti peningkatan pendapatan
karena pendidikan, dan (3) mobilitas horizontal.
Selain
itu, transmigrasi dan perpindahan tempat karena faktor pendidikan juga
meningkatkan heterogenitas karena menciptakan kombinasi
antarelemen.
Oleh karena populasi Indonesia sangat beragam, selayaknya setiap survei
mempertimbangkan keragaman tersebut dalam penentuan sampel. Caranya
adalah membaginya dulu ke dalam strata atau klaster tertentu. Selain itu,
dengan meningkatkan intensitas sampel.
Selama
ini survei parpol dan capres umumnya mengambil sampel seribu orang lebih.
Sekalipun jumlah sampel seribu orang mungkin memadai pada populasi
seragam, tetapi dalam kasus PPP, ukuran sampel tersebut tidak memadai
.
Sebagai contoh, semua lembaga survei sepanjang 2007-2009 sebelum Pemilu
2009 memprediksi perolehan suara PPP hanya dua koma sekian persen.
Nyatanya, perolehan suara PPP mencapai 5,3 persen atau sama dengan angka
prediksi lembaga survei ditambah besar marjin kesalahan. Keadaan serupa
juga terjadi pada Pemilu 1999 dan 2004.
Keadaan
ini tentu kurang baik untuk dibiarkan. Melesetnya survei politik di
Indonesia tampaknya karena ukuran sampel terlalu kecil, atau metode penarikan
contoh yang tidak mempertimbangkan keragaman latar belakang pemilih. Bila
ukuran sampel hanya seribu orang maka itu terbukti gagal
merepresentasikan 171 juta orang.
Hasil
survei nasional biasanya berbeda jika dibandingkan dengan survei pilkada.
Survei-survei sebelum pemilihan kepala daerah umumnya lebih tepat, meskipun
hasil survei pilkada DKI Jakarta meleset jauh dari realitasnya. Oleh
karena itu, perlu penelitian tentang hasil-hasil survei dengan keadaan
yang sebenarnya sehingga kita dapat mengetahui seberapa jauh akurasi
survei- survei politik selama ini.
Lebih
baik lagi jika lembaga-lembaga survei tersebut melakukan apa yang disebut
sebagai meta-analisis tersebut terhadap hasil survei mereka sendiri,
sehingga mereka dapat introspeksi diri. Dengan demikian, survei
dapat menjadi bagian dari pendidikan politik.
Selain
itu, partai politik Islam dan politisi Muslim pun harus berbenah diri,
antara lain, dengan memperbaiki komunikasi publik dan komunikasi
strategis dengan para tokoh masyarakat dan umat. Komunikasi publik
dilakukan secara langsung, tetapi membutuhkan waktu dan sumber daya
sangat besar. Sementara komunikasi melalui media massa memerlukan dana
untuk iklan, tetapi yang terpenting adalah kemampuan memenuhi kebutuhan
media dan publik akan informasi yang akurat dan jujur.
Komunikasi
strategis akan menjadi kunci hubungan kemitraan antara partai Islam dan
ormas Islam, pesantren, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Bahkan,
komunikasi adalah kunci sukses memimpin para pemimpin (Salacuse, 2006, Leading Leaders: How to Manage Smart,
Talented, Rich, and Powerful People). Sementara berbagai ormas dan organisasi
lain itu juga dipimpin oleh para pemimpin dan partai Islam tidak mungkin
dapat menarik para anggota dan simpatisan organisasi kemasyarakatan
tersebut tanpa menjalin hubungan baik dengan para pemimpin mereka.
Komunikasi
yang baik akan menciptakan kepercayaan. Dalam politik, kepercayaan adalah
mata uangnya. Logikanya, jika kepercayaan timbal balik antara partai
Islam dan ormas juga umat Islam meningkat maka survei politik yang jujur
akan dapat membacanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar