Layu
sebelum berkembang, begitulah kondisi RUU Keamanan Nasional (Kamnas)
sekarang. Sejak sebelum diagendakan di parlemen, RUU inisiatif pemerintah
itu telah disambut dengan fobia besar. Kali ini sikap mayoritas anggota
DPR yang satu barisan dengan masyarakat, sudah tepat. Karena, RUU ini
bermasalah sekali substansinya.
Tetapi,
berbeda dengan isinya, Naskah Akademik (NA)-nya cukup baik, karena
disusun para pakar studi keamanan asal UI dan LSM yang selama ini bergerak
dalam reformasi sektor keamanan. Wajarlah kalau dipertanyakan, apa yang
terjadi sesungguhnya dengan pengaturan yang keliru dalam RUU
dimaksud?
Jika
kita awas dengan agenda program legislasi nasional yang sudah disepakati
pemerintah dan DPR, antara lain, RUU Pemilu, RUU Ormas, dan RUU
Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS), tampak bahwa pengaturan ketiga RUU
itu senapas dengan RUU Kamnas ini. Ketiganya berjiwa represif, tujuan
konsolidasi demokratis cuma dipasang sebagai alasan untuk mengakhiri
hiruk-pikuk transisi demokratis yang berkepanjangan.
Sementara,
caranya justru akan meng akhiri era demokratisasi yang sudah digulirkan
sejak berakhirnya Orde Baru dan dikembalikannya TNI ke barak. Pengajuan
RUU ini dengan mengembalikan peran TNI untuk menangani keamanan nasional
di tengah-tengah meningkatnya ancaman atas keselamatan negara yang datang
dari konflik lokal, komunal, separatisme, dan terorisme, menjadi
manipulatif, jika kita menelaah substansi RUU.
Tidak
disangkal, kehadiran RUU lain untuk mendukung terwujudnya konsolidasi
demokratis dibutuhkan, demi mengisi kekosongan hukum menuntaskan
reformasi sektor keamanan. Tetapi, RUU yang diperlukan bukanlah sebuah
ketentuan induk (payung) seperti yang diklaim kalangan hardliners selama
ini untuk mendukung keterlibatan militer memerangi terorisme dan aksi melawan
hukum lainnya, yang kepolisian tidak berdaya mengatasinya.
Kehadiran
sebuah UU pokok seperti di masa lalu menjadi eksesif, sebab yang
diperlukan hanya UU biasa untuk mengatur hal yang spesifik dan tidak bisa
diatur dalam UU yang sama. Tidak mungkin sebuah UU diatur oleh UU pula yang
sederajat kedudukannya.
Kevakuman
hukum memang muncul dalam pengerahan TNI untuk membantu tugas-tugas
kepolisian atau sipil. Ironisnya, RUU Kamnas tidak mengatur tugas
perbantuan ini. Begitu dominannya peran TNI untuk mengatasi masalah
keamanan nasional, menimbulkan kekhawatiran rawan terjadinya
pelanggaran HAM. Wajarlah, sejak semula, paradigma keamanan nasional
dalam naskah RUU ini dipertanyakan, sebab jika dibiarkan, sama saja
menyediakan karpet merah bagi TNI untuk kembali menjalankan tugas
sospolnya.
TNI
jelas tidak bisa kerja sendiri menangani masalah keamanan nasional, menjadi
satu-satunya aktor penangkal soal keamanan yang dapat bermuara sebagai
masalah nasional. Kemhan dan petinggi militer tidak bisa semaunya
mengatur kepolisian di bawah subordinasi instansinya. Jika tidak
ditempatkan pada posisi yang tepat, peran TNI bisa terus melebar, tanpa
batas. Unsur TNI tidak perlu mengambil peran seperti Navy Seals untuk
membrantas kelompok teroris lintas negara dan geng narkoba internasional.
Demikian
pula, memerangi kejahatan transnasional lainnya, seperti pembalakan liar
dan pencurian ikan, tidak perlu membuat TNI menjadi ujung tombaknya.
Lemahnya institusi dan aparat Polri, justru harus memaksa pemerintah
memperbaiki kinerja mereka yang memiliki domain dalam menegakkan hukum
dan mengawal keamanan nasional.
Sebagai
konsekuensinya, banyak pasal dalam RUU Kamnas yang harus dibongkar dan
direvisi. Jika dibiarkan dan disahkan menjadi UU, berbagai pasal yang misleading dan melanggar hukum
akan membuat kemunduran besar reformasi sektor keamanan. Ini
termasuk usulan pengerahan TNI oleh pemda untuk menangani konflik sosial
tanpa persetujuan presiden dalam RUU PKS.
Sebelumnya, upaya melibat kan
aparat militer dalam menjalankan fungsi intelijen untuk memata-matai
gerak-gerik sipil sudah mengundang banyak kecaman. Penyimpangan lebih
jauh belum termasuk diperbolehkannya secara bebas aksi penyadapan oleh pemangku
kepentingan utama RUU Kamnas, di luar aparat kepolisian dan penyidik PNS.
Masalah
kamnas melibatkan pemangku kepentingan yang beragam. TNI bukan
satu-satunya yang dapat secara efektif untuk meresponsnya. Tantangan yang
multidimensi harus direspons dengan kebijakan pemangku kepentingan yang
multidimensi pula. Sayangnya, respons DPR tidak cerdas. Anggota
Komisi I cenderung emosional, dengan segera mengembalikan RUU ke
pemerintah.
Seharusnya, naskah RUU dibahas dulu, dalam sidang-sidang DPR,
pemerintah didesak untuk merevisi, termasuk judulnya. Jika tidak
diindahkan pemerintah, baru ditolak, dengan hak veto yang diberikan konstitusi.
Dengan cara ini, anggota DPR dapat menelanjangi niat buruk pemerintah dan
sekaligus mengoreksinya, dengan menunjukkan pengaturan alternatif
reformasi lebih lanjut sektor keamanan, sehingga konsolidasi demokrasi
dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar