Makin banyaknya artis (selebritis) berkiprah di
panggung politik membuktikan bahwa dunia hiburan memberi kontribusi besar
bagi dunia politik. Hal ini terjadi karena kontestasi politik membutuhkan
modal popularitas, sedangkan artis adalah pemilik popularitas tertinggi
dibanding pihak lain.
Ke depan, bisa dipastikan akan semakin banyak partai
berlomba-lomba merekrut artis menjadi calon legislatif. Karena itu, cepat
atau lambat, artis akan semakin mendominasi peta politik nasional dan
lokal, karena semua parpol berlomba-lomba menjadi yang
terpopuler. Pada titik ini, kaum yang bukan artis rentan tergusur
oleh artis. Maka, yang kemudian mungkin terjadi adalah dekadensi moral
akan melanda dunia politik. Misalnya, skandal korupsi, narkoba, dan
perilaku buruk lain bakal makin marak.
Pasalnya, artis cenderung longgar dalam menyerap berbagai gaya hidup yang
serba wah. Dengan kondisi demikian, mereka cenderung permisif terhadap
banyak hal yang serbaglamour. Misalnya, mobil dan rumah harus semewah-mewahnya.
Tak ada lagi kesederhanaan hidup. Bahkan, hidup sederhana bagi mereka
mungkin dianggap kuno dan harus dijauhi sejauh-jauhnya. Karena itu, perlu
kaderisasi politik artis dan ini harus menjadi kerja besar bagi semua
pihak yang berkomitmen membangun demokrasi yang sehat dan luhur di negeri
ini. Jangan biarkan peta politik makin didominasi artis-artis yang tak
mengerti seluk-beluk kepemimpinan.
Kursus Kepemimpinan
Yang dimaksud kaderisasi politik artis adalah ikhtiar
membentuk pribadi pemimpin dalam diri artis-artis yang berminat berkiprah
di panggung politik. Konkretnya bisa berupa kursus kepemimpinan semacam
program yang dijalankan di Lemhanas. Dengan demikian, semua artis sebelum
berkiprah di panggung politik diharuskan untuk mengikuti kursus
kepemimpinan. Tentu saja, pihak partai masing-masing yang merekrut
artislah yang mengharuskannya mengikuti kursus kepemimpinan.
Sejauh ini, artis begitu mudah direkrut partai menjadi calon legislatif
atau calon kepala daerah tanpa lebih dulu diharuskan mengikuti kursus
kepemimpinan. Hal ini tentu saja sangat riskan, karena bisa merendahkan
urusan kepemimpinan yang berarti merendahkan bangsa dan negara dalam arti
luas.
Selain itu, kesan yang kemudian bakal muncul bisa sangat runyam.
Misalnya, ada kesan siapa saja yang punya popularitas bisa serta-merta
menjadi pemimpin, termasuk mereka yang gagal dalam rumah tangga, bahkan
termasuk mereka yang pernah kecanduan narkoba.
Kesan tersebut berpotensi makin buruk jika tidak segera muncul kesadaran
bersama menyelamatkan dunia politik dari dekadensi moral dan kemerosotan
kualitas kepemimpinan. Karena itu, langkah kaderisasi politik artis layak
menjadi keharusan setiap partai yang berminat merekrut artis untuk
mendongkrak popoularitasnya.
Kaderisasi politik artis harus menjadi harga mati yang tak boleh ditawar
lagi. Hal ini tentu hanya bisa terjadi jika diberi payung regulasi.
Karena itu, regulasi baru yang mengharuskan setiap artis maupun bukan
artis untuk mengikuti kaderisasi politik (kursus kepemimpinan di Lemhanas
atau lembaga lain yang resmi dibentuk negara) harus segera dibuat dan
diberlakukan sebelum Pemilu 2014. Untuk konteks sekarang, KPU dan DPR
adalah dua lembaga yang pantas bekerja sama dalam membuat regulasi baru
tersebut. Sedangkan semua partai layak mendukung lahirnya regulasi baru
yang akan membantu artis-artis atau bukan artis untuk berkiprah di panggung
politik dengan memiliki pengetahuan tentang kepemimpinan yang memadai
agar bisa menjadi pemimpin baik.
Selain itu, partai sudah saatnya memberlakukan sistem rekrutmen artis
atau bukan artis dengan persyaratan yang lebih ketat. Dalam hal ini,
setiap partai harus juga memberlakukan regulasi (dicantumkan dalam
AD/ART)
yang mengharuskan semua kadernya untuk mengikuti kursus kepemimpinan. Hal
ini penting agar partai tidak ceroboh mengusung calon legislatif atau calon
kepala daerah secara sembarangan atau asal populer, tapi ternyata sama
sekali belum cukup mengerti tentang kepemimpinan.
Popularitas Karbitan
Sekarang ini, layak diwaspadai munculnya artis-artis
dengan popularitas karbitan yang bakal ramai-ramai terjun ke dunia
politik tanpa bekal pengetahuan tentang kepemimpinan. Misalnya, menjelang
pemilu, bukan tidak mungkin media televisi gencar mengorbitkan
artis-artis yang kemudian menjadi rebutan partai untuk mendongkrak
popularitas. Sebab, jika ada artis dengan popularitas karbitan sampai menjadi
rebutan partai, risiko besar mungkin akan ditanggung bangsa dan negara.
Konkretnya, popularitas karbitan identik dengan
euforia emosional sesaat yang hampa makna. Misalnya, Si A bisa
mendadak populer karena tiap hari muncul dalam acara televisi, padahal
kepribadiannya sesungguhnya masih labil dan ringkih. Nah, alangkah naif
jika si A tiba-tiba direkrut partai untuk menjadi caleg dan ternyata
berhasil duduk di DPR.
Oleh karena itu, KPU dan DPR layak bekerja sama mencegah orang-orang
dengan popularitas karbitan untuk lebih leluasa ikut mengelola negara
tanpa punya bekal pengetahuan managemen kepemimpinan yang memadai. Harus
dicegah secepatnya pembusukan dunia politik akibat dimasuki banyak orang
yang punya popularitas karbitan, tapi minus pengetahuan kepemimpinan.
Selebritisasi politik layak disebut sebagai bahaya laten bagi bangsa dan
negara kita, jika artis-artis yang menjadi elite politik di partai-partai
hanya mengandalkan popularitas karbitan tanpa didukung kepribadian yang
telah menguasai pengetahuan tentang kepemimpinan. Kondisi tersebut
berpotensi menjadi lokomotif dekadensi moral dalam arti luas dan juga
bisa mendorong terjadinya krisis kepemimpinan yang makin kronis dan akut.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar