Sudah jamak
pada setiap menjelang pemilu, hiruk pikuk pendaftaran calon legislatif
mewarnai berbagai media. Orang berbondong-bondong mengajukan diri sebagai
yang hebat, yang pantas dipilih, yang paling tepat mewakili pemilih.
Orang berebutan nomor cantik dan lokasi
paling memungkinkan bagi dirinya untuk dipilih sebagai anggota
legislatif. Para calon legislatif (caleg) itu pasti punya semangat
tinggi.
Dada mereka membusung, dan lidah yang
siap memberondongkan berbagai janji. Ratusan juta atau milyar rupiah
mulai disiapkan, di rekening atau dalam dompet mereka – untuk modal
kampanye di tengah para calon pemilih.
Dan para calon pemilih itu sekarang sudah
makin pandai dan kritis. Meski mungkin akan menerima uang dari beberapa
caleg, mereka lebih paham siapa sebenarnya yang kelak harus dipilih di
bilik pencontrengan.
Dalam bahasa komunikasi, siapa yang
akhirnya dipilih itu sebuah ‘outcome’, alias hasil akhir yang paling
diharapkan setiap caleg. Outcome itu jauh lebih penting dari ‘output’
seperti iklan, spanduk, pidato kampanye, seminar, talk show, jamuan makan
untuk memanjakan khalayak, dan sebagainya -- yang lazimnya merupakan
keluaran atau kegiatan yang dilakukan sang caleg dan tim suksesnya.
Ibarat penjualan produk, maka outcome
‘siapa yang akhirnya dipilih’ itu serupa dengan ‘barang mana yang
akhirnya dibeli’ oleh pasar yang menjadi sasaran. Berhubung kini
persaingan ‘pasar’ pemilih kian ketat, dan rata-rata semakin pintar,
otomatis para calon anggota DPR itu mesti lebih smart dalam
melakukan strategi.
Jangan mudah yakin pada khalayak yang
tampaknya senang menerima ‘promosi’ Anda berupa uang, karena itu bisa
jadi dianggap sebuah ‘suap’ atau minimal ‘hadiah’ dari Anda – sementara
urusan di TPS nanti hanya Tuhan yang tahu.
Layaknya orang membeli produk, sangat
boleh jadi mereka akan mencoba berbagai produk pesaing lebih dulu – dan
saat pemilu para calon legislator itu dianggap sebagai para pesaing yang
memperebutkan pemilih. Alih-alih dari menjadi ‘pasar’, para pemilih yang
makin pandai itu kini justru menjadikan para caleg sebagai ‘pasar’
mereka.
Maka, kini terpulang kepada para caleg,
bagaimana mereka bisa menggiring calon pemilih secara meyakinkan sehingga
akhirnya mereka menjadi konstituen sang caleg.
Para caleg idealnya tidak hanya
mengharapkan khalayaknya menjadi pemilih dirinya. Tetapi lebih dari itu,
semestinya sang khalayak bisa menjadi ‘duta’ alias ‘brand ambassador’
atau ‘advocate’ bagi sang caleg.
Untuk itu, salah satu langkah yang
relatif murah dan efektif adalah memanfaatkan strategi ‘sambung lidah’.
Ahli marketing biasa menyebut strategi ‘getok tular’ ini dengan word of mouth, yakni kegiatan
ketika seorang di antara audience
atau konsumen memberi informasi kepada khalayak atau konsumen lain.
Strategi Sambung Lidah
Teknik ‘sambung lidah’ atau Word of Mouth (WOM) lazimnya
digunakan untuk memberi alasan agar orang bicara tentang sesuatu, baik
yang berupa produk, jasa atau pun politisi seperti caleg. Lewat teknik
itu, penggagas WOM secara sengaja menggiring dan mempermudah terjadinya
pembicaraan di antara khalayak.
Guna mencapai tujuannya, WOM didasarkan
pada konsep-konsep pemuasan konsumen, adanya dialog dua-arah, dan
komunikasi yang transparan. Yang terakhir ini memang agak repot bagi
orang politik seperti caleg, karena seringkali mereka terjebak untuk
bersikap kurang terbuka.
Berhubung tujuan akhir kegiatan getok
tular itu adalah untuk memperoleh ‘brand
advocates’, maka penggagasnya harus meningkatkan semangat khalayak,
memberi kesempatan mereka bicara, dan menyediakan sarana untuk saling
berbagi dengan orang lain.
Seorang caleg yang pandai atau tim
suksesnya akan mendengar dengan seksama dan memberi respon terhadap
perbincangan yang terjadi, meskipun masukan yang diperoleh itu bernada
negatif.
Kalau mau efektif, dalam pelaksanaan WOM
itu sang penggagas harus mendidik khalayak tentang sang caleg,
mengidentifikasikan siapa saja di antara khalayak yang paling mungkin
berbagi pembicaraan, mempelajari berbagai pendapat yang dibicarakan
bersama (shared opinion), dan
mendengar serta memberi respon.
Meski tidak mudah, karena memerlukan
pengorganisasian yang rapih, perhatian serius dan tempo yang relatif
panjang, untungnya WOM lebih murah ketimbang program kampanye lewat
iklan.
Selain itu kegiatan WOM yang terorganisir
dengan baik bisa dilaksanakan sampai di tingkat akar rumput (grassroot) yang jauh sekali pun.
Untungnya lagi, berhubung perbincangan terjadi dalam kelompok-kelompok
kecil, kegiatan WOM bisa dilakukan jauh sebelum masa kampanye dimulai.
Ini misalnya dapat dilakukan dengan cara
pengorganisasian grassroot, membentuk relawan dan memotivasi mereka untuk
terlibat secara personal dalam perbincangan-perbincangan lokal.
Selain itu, pengelola WOM bisa
menciptakan juru bicara, semacam evangelist
atau advocates yang didorong
untuk mengambil peran sebagai pemimpin dan menyebarkan pesan-pesan atas
nama sang caleg. Ia kemudian menciptakan komunitas-komunitas kecil yang
spesifik untuk saling berbagi minat yang sama, semacam forum atau fan
club.
Bila selama ini para ahli di bidang
marketing menyarankan penggunaan WOM, itu karena dampaknya yang besar.
Menurut mereka, lazimnya konsumen yang puas akan memberitahu kepada 3-4
orang lain tentang produk atau jasa yang dipakainya. Sebaliknya, mereka
yang tidak puas atau kecewa, repotnya, akan bercerita kepada 11 orang
lain.
Bukti lain menyebutkan bahwa WOM
mempengaruhi 80% keputusan untuk membeli. Sebagai medium paling kuat di
planet kita, WOM menciptakan trust bagi sebuah produk atau brand,
mendorong terjadinya komunikasi antara berbagai individu, menciptakan
komunitas dan menghubungkan orang-orang dalam sebuah kelompok.
Data lain menunjukkan bahwa interaksi
personal yang muncul berkat adanya WOM membawa dampak lebih besar bagi
pembentukan opini ketimbang iklan biasa.
Sebenarnya tanpa diminta pun secara alami
hampir semua orang melakukan kegiatan ‘getok
tular’, khususnya ketika mereka merasakan kepuasan atau kekecewaan
dan ingin saling berbagi. Tetapi, strategi yang kita maksudkan di sini
adalah apa yang disebut dengan Amplified WOM, yang muncul ketika
penggagas kegiatan ini merekayasa suasana untuk mengakselerasikan adanya
WOM.
Salah satu teknik WOM yang bisa diadopsi
para caleg barangkali adalah yang di dunia komersial disebut dengan ‘influencer marketing’, yakni
ketika sang pemasar menetapkan individu kunci yang bisa memengaruhi orang
lain. Sang influencer itu boleh jadi adalah para pembeli akhir (end consumers) atau pihak ketiga
seperti konsultan, penasihat dan analis.
Di sini, penggagas mengidentifikasi para influencer dan me-ranking mereka sesuai urutan
penting tidaknya. Setelah identifikasi itu, ada tiga hal lain yang
dilakukan.
Pertama, mendekati para influencers,
untuk meningkatkan awareness tentang sang caleg di
tengah komunitas influencer.
Kedua, caleg bersama dengan influencer yang
direkrutnya meningkatkan kesadaran (awareness)
khalayak tentang diri sang caleg. Terakhir, ini yang paling penting,
mengubah sang influencer menjadi ‘advocates’, alias
‘duta bagi caleg’, sehingga kapan pun dan di mana pun mereka akan
mempromosikan sang caleg meski ketika caleg itu tidak berada di tengah
daerah pemilihannya.
Penting dicatat, bahwa dalam pelaksanaan
WOM semua caleg dan tim suksesnya mesti bersikap jujur, transparan, dan
menjunjung etika. Pelaku WOM harus menegaskan secara terbuka siapa yang
diwakilinya, dan hanya mengatakan yang benar-benar diyakininya.
Lagi pula, di saat banyak kader partai
politik terlibat korupsi belakangan ini, jelas pemilih hanya bisa
didekati oleh mereka yang berakhlak, dan punya integritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar