Membaca Arjuna Wiwaha versi
tafsir Sanusi Pane yang halus lembut membangkitkan kesadaran dan bayangan
tentang fungsi kakawin ini sebagai pelipur lara, di samping mengemban
amanat spiritualisme untuk keluarga keraton Kediri pada abad kesebelas.
Kurang lebih seperti novel bagi kita hari ini.
Dalam kata-kata Sanusi Pane,
kakawin adalah cerita berirama, dan Arjuna Wiwaha adalah karya teramat
indah dalam bahasa Jawa Kuno. Kekaguman yang berdasar jika mengingat
pelukisan peperangan dalam karya ringkas ini setara dengan epik kolosal
Iliad karya Homeros dari abad kedelapan sebelum Masehi. Pada sisi lain,
pelukisan romansa antara Arjuna dan Supraba rasanya tidak elok
diperbandingkan dengan karya mana pun.
Demikianlah, bertolak dari
kegandrungan akan keindahan buah tangan Mpu Kanwa yang hidup pada zaman
Raja Airlangga (1019–1042) itu, sang sastrawan merekacipta
(mengindonesiakan dengan licentia
poetica pada tangannya) kakawin ini berdasarkan naskah Dr R Ng
Purbatjaraka dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie, Deel 82, 1926. Cetakan pertama Ardjuna Wiwaha terbit
tahun 1940 oleh Balai Pustaka. Tercatat hingga cetakan ketiga (1960) oleh
penerbit yang sama. Tahun 1978 buku ini diterbitkan ulang oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
Sebagai landasan bagi licentia
poetica, dalam kata pendahuluan (1960) Sanusi Pane menegaskan, ”Salinan ini dapat dikatakan salinan
’Ardjuna Wiwaha’ sekata demi sekata, akan tetapi dengan mengingat irama
bahasa Indonesia. Untuk memperbagus bunji kalimat beberapa kali ditambah
atau dikurangi perkataannja.”
Tanpa penegasan itu pun,
penerjemahannya dari Jawa Kuno ke bahasa Indonesia telah dengan
serta-merta melenyapkan irama tembangnya, yang terbentuk oleh metrum dan
guru-laghu. Guru-laghu adalah kuantitas suku kata. Guru (berat) menunjuk
suku kata panjang, sedangkan laghu (ringan) suku kata pendek.
Setia dengan skema pembagian
sarga atau bab sebanyak 36, dan pembubuhan nomor pada tiap bait, Sanusi
Pane menyatakan, ”Dengan tidak melanggar semangat kekawin, diperolehlah
susunan jang lebih menjenangkan hati orang zaman ini.”
Seperti dinyatakan dalam kata
pendahuluan: walau Mpu Kanwa mengambil bahannya dari Mahabharata, ”Karena tjaranja mengarang itu dan
karena susunan riwajatnja, kekawin itu djadi karangan asli”, begitu
pula kiranya dengan karya terjemahan Sanusi Pane ini. Berkat keunggulan
puitika sang penerjemah, karya ini memiliki keindahan khas Sanusi Pane
yang hidup dalam pelukan romantisisme era Pujangga Baru. Maka, dapatlah
kita menempatkan karya terjemahan ini sebagai buah estetika Sanusi Pane
dalam kesusastraan Indonesia modern tanpa mengurangi sedikit pun
kegemilangan Mpu Kanwa dalam kesusastraan Jawa Kuno.
Dengan kata lain, inilah salah
satu cara sesama pujangga menjadi jembatan bagi karya sastra klasik agar
tidak sirna ditelan zaman sehingga dikenal generasi berikut dari masa ke
masa.
Mengisahkan kekalutan para dewa
menghadapi raja raksasa sakti Niwatakawaca dari Manimantaka, Arjuna
Wiwaha (Perkawinan Arjuna) mengemukakan kepahlawanan Arjuna sebagai
representasi keunggulan manusia yang telah berhasil mengendalikan hawa
nafsunya: Witaraga.
Orang Jawa biasa mencari ”rasa”,
kata Sanusi Pane: ”jakni maksud
sesuatu tjeritera,”
”Rasa” dalam cerita ini,
mengutip Mpu Kanwa: ”sudah mencapai Kebenaran Utama”, ”tahu dunia tidak
berharga”, ”tidak gemar kepada jasmani”. Toh, ”dia tinggal juga di
masyarakat” karena ingin mengupayakan cita-cita mulia: ”seluruh dunia
berbahagia”, yang mencerminkan ajaran Syiwa-Buddha sebagai agama resmi di
Kediri.
Selain narasi tentang persiapan
hingga jalannya perang antara pasukan asura (raksasa) Niwatakawaca dan
bala tentara dewa dari Suralaya yang mengingatkan kita pada Iliad yang
menggetarkan itu, patut dicatat kehalusan pelukisan rasa yang berdegup di
dada dua sejoli, yakni Arjuna dan Supraba, dalam perjalanan mereka menuju
Manimantaka.
Sebagai siasat para dewa,
Supraba yang tercantik dari semua apsari, bidadari, hendak diserahkan
kepada Niwatakawaca sebagaimana tuntutan dia sehingga mengurungkan niat
menyerbu Suralaya. Padahal, sang apsari sebenarnya mengemban tugas
mengorek rahasia kesaktian sang raja asura.
Tentu muncul kecemasan Arjuna
yang tidak rela kalau-kalau apsari pujaannya sampai dijamah asura itu.
Perasaan serupa justru diungkapkan Supraba, yang memberi ruang kepada
Arjuna untuk bersikap elegan menghibur kekasih seraya menandaskan
retorika kepahlawanan.
Pada sarga ke-15, bait 3-4,
terbetik kata-kata rayuan Arjuna yang terus terang:
”Mereka melajang diangkasa
bersenda gurau, hati penuh kepada berahi. Mereka minta kepada
masing-masing terbang dahulu dan sebentar mereka saling memandang. Udjar
putera radja: ’Adinda, berdjalanlah
dahulu dan djanganlah berselendang seperti itu; Kakanda hendak memandang
bangun adinda terlukis oleh pinggir kain’.”
”Kalau kakanda berdjalan dahulu, kakanda mesti menoleh lagi
kebelakang memandang adinda. Djika kita berdjalan bersama-sama,
seakan-akan kakanda telah boleh menuntun adinda. Kalau kakanda dibelakang
ada baiknja lagi: kakanda dapat seperti sahaja jang melihat, kalau
disuruh membetulkan sanggul adinda, djika lepas dan terurai.”
Tentu, perlu dicatat, sebagus
apa pun penerjemahan Sanusi Pane, untuk generasi masa kini bahasa yang
digunakan terasa tidak lazim lagi—sekalipun ejaannya diperbarui—sehingga
mungkin bisa mematahkan semangat calon pembaca muda yang ingin tahu.
Walau demikian, penerbitan ulang
karya terjemahan Sanusi Pane amat penting karena nilai estetisnya, di
samping upaya penerjemahan ke dalam bahasa kontemporer. Satu sama lain
saling melengkapi, dalam arti ada kesinambungan upaya pelestarian
karya-karya sastra klasik.
Karya sastra klasik Nusantara
pada umumnya mengemban motif ajaran moral, tradisi, dan tuntunan ke arah
pencapaian spiritual bahkan hingga terminal terakhir. Sekalipun demikian,
seperti pada Arjuna Wiwaha, syair-syair romantis tetap menjadi aspek
vital sebagaimana halnya realitas kehidupan manusia. Cinta yang indah,
keanggunan yang mengharukan, keluhuran budi, di samping watak durjana
yang tak kenal malu.
Dengan transformasi karya sastra
klasik melalui tafsir kontemporer, kita dapat menata fondasi budaya yang
kukuh supaya setiap generasi mengenal asal-usulnya sekaligus nilai
dirinya yang tecermin dari nilai-nilai luhur nenek moyangnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar