PERUBAHAN kurikulum yang
dibuat tergesa-gesa dan terkesan hanya proyek akan menimbulkan banyak
korban. Perubahan kurikulum tanpa visi jelas mengenai pendidikan akan
menyesatkan anak didik. Paradigma pendidikan tidak pernah berubah, guru
sekadar menjadi pawang. Itulah yang membuat orangtua menjadi cemas, mau
dibawa ke mana siswa nantinya. Logika penggabungan IPA dan IPS dalam bahasa
Indonesia sulit diterima nalar sehat. Visi pendidikan tidak jelas dan
terkesan terburu-buru, sekadar mengejar target semata-mata.
Logika yang digunakan bukan logika
rasional, melainkan logika terbalik. Logika terbalik itulah yang
menyederhanakan semua persoalan dengan menggabungkan mata pelajaran IPA dan
IPS serta memaksakan materi matematika direduksi bagian nilai-nilai
keanekaragaman. Akibatnya, itu menimbulkan kelucuan dalam materi
pelajarannya.
Sebagai contoh, kompetensi inti dan
kompetensi dasar dinilai lucu dan tidak nyambung dalam matematika kelas X
SMA, yang mengharuskan guru mengajarkan pengembangan perilaku jujur,
disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah, gotong royong, kerja sama,
cinta damai, responsif, dan proaktif kepada siswa sesuai dengan kompetensi
dasar bidang aljabar dan geometri.
Bagaimana hal itu bisa diintegrasikan?
Rasanya agak sulit bagi guru untuk mengaitkan karena tidak ada kaitannya.
Guru menjadi korban karena mereka tidak siap dan tidak mampu mengajarkan
hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan materi. Realitas seperti itu akan
membahayakan siswa ke depan karena ketidaksiapan guru terkait dengan
penguasaan materi akan menimbulkan persoalan hilangnya harapan anak kita
meraih masa depan.
Persoalan yang mendasar ialah pemerintah
tidak mau paham mengenai paradigma pendidikan. Selama penguasa menjadikan
pendidikan bagian subordinasi politik mereka, pendidikan tidak mampu
memerdekakan anak didik. Yang dibutuhkan bukan perubahan kurikulum,
melainkan perubahan paradigma pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan
ala Freire--yang tertuju untuk menggugah kesadaran pelaksanaan metode
pendidikan yang tidak saja membebaskan, tetapi yang terpenting kembali
memanusiakan manusia; menghilangkan jejak dehumanisasi yang merasuki dunia
pendidikan.
Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan
menurut Freire ialah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha
pemanusiaan secara terusmenerus. Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu,
melainkan juga bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan)
yang merupakan hak bagi semua. Kunci dari pendidikan ialah membebaskan dan
kemudian memanusiakan. Ruang publik kita hanya diisi kaum petualang yang
menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya.
Polemik terus-menerus dihadirkan untuk
menghiasi publik setiap hari di media. Akan tetapi, realitasnya, polemik
itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan
menjadi keberdayaan. Hal itu terjadi karena kita sebagai bangsa, miskin
cita-cita dan cinta.
Akar persoalannya bisa kita lacak,
setidak-tidaknya dari karakter sistem pendidikan yang diselenggarakan. Kita
melihat pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan
politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik dan
menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.
Mereka bagaikan robot yang dikendalikan
remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui
ideologi penyeragaman. Itu membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk dan
pedoman dari atas.
Kreativitas mereka minim.
Akibatnya, birokrasi menjadi lambat dalam merespons perubahan.
Ketidakmampuan itu
disebabkan ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama;
kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan
sistem penyeragaman. Itu membuat gerbang reformasi terseok-seok, yang
disebabkan ketidakberdayaan untuk merespons perubahan yang begitu cepat.
Revolusi
Paradigm Pendidikan
Selama
revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia
Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan
mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya
mengejar-ngejar gelar, pangkat, dan kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan
karakter manusianya.
Dengan
mengabaikan hal itu, berarti pendidikan sekadar transfer ilmu sehingga lepas
dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa
terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan
semata-mata sebagai alat politik kekuasaan. Pendidikan harus menentukan arah
politik bangsa ini. Di sinilah pentingnya seorang pemimpin yang memiliki
visi yang jelas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun yang terjadi,
pemimpin kita menjadikan perubahan kurikulum sekadar proyek. Akibatnya,
perubahan kurikulum 2013 dipastikan akan gagal karena secara substansi, guru
tidak akan mampu menjalankan kurikulum baru.
Anggaran
Rp2,49 triliun yang dikeluarkan pemerintah akan sia-sia karena tidak mampu
meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Itu malah membuat pendidikan semakin
terpuruk dan menghancurkan generasi yang akan datang. Perlu mekanisme perubahan
kurikulum yang sistematis dan jelas, serta harus diatur dalam peraturan perundangan
dengan tidak melanggar peraturan perundangan
yang levelnya lebih tinggi. Siapa yang akan bertanggung jawab jika
kebijakan tersebut gagal? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar