ADA kejadian kriminal yang perlu perenungan
secara mendalam terkait dengan pelayanan Polri. Pada 17 Maret lalu, Radio
Elshinta Jakarta menyiarkan berita memilukan. Seorang warga Ibu Kota
melapor ke Polsek Johar Baru dan Polsek Pulogadung Jakarta Timur bahwa
seorang anggota keluarganya pergi sejak 3 hari lalu dan hingga hari itu
belum kembali serta tak memberi kabar. Ponselnya pun tak aktif. Keluarga
menduga dia diculik.
Dugaan itu
disampaikan ke polisi dengan bukti rekaman pembicaraan ponsel keluarga
yang suaranya diperdengarkan guna mengetahui situasi korban saat itu.
Dalam rekaman itu terdengar suara ancaman hendak membunuh (orang yang
diduga diculik itu) bila keluarga tidak menyerahkan sejumlah uang.
Personel
Polsek Johar Baru menindaklanjutinya dengan men-trace posisi ponsel yang
bersangkutan dan kemudian mendeteksi bahwa penelepon berada di daerah
Cengkareng. Namun polisi tak segera bergerak ke tempat itu dengan alasan
belum 1 x 24 jam. Polisi yang bertugas menerima laporan menjelaskan,
berdasarkan standard operating procedure (SOP) maka laporan kehilangan
bisa ditindaklanjuti setelah 1 x 24 jam.
Keluarga saat
itu juga cepat mengambil inisiatif dengan melacak ke tempat yang dimaksud
dan menemukan handphone ’’korban’’, serta mendapat cerita dari beberapa
orang di tempat itu bahwa baru saja ada mobil meninggalkan tempat itu.
Belakangan terungkap anggota keluarga yang dilaporkan hilang itu
ditemukan sudah menjadi mayat di area parkir Bandara Soekarno Hatta
Cengkareng Kota Tangerang Provinsi Banten, 20 km barat Jakarta.
Objek Benda
Kejadian
fatal atas pelayanan aparat kepolisian itu sangatlah memprihatinkan.
Hanya karena mendasarkan pada SOP, polisi yang seharusnya menjalankan
tugas pokok dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, terlihat tidak profesional. Benarkah SOP itu secara
normatif menyebutkan laporan kehilangan baru bisa ditindaklanjuti setelah
1 x 24 jam? Ataukah petugas pelayanan saat itu keliru dalam menafsirkan
SOP itu?
Selama ini, asumsi yang terbangun di lingkungan
kepolisian, terkait dengan laporan kehilangan menyangkut objek barang/benda.
Seandainya
kehilangan anggota keluarga apakah bisa dikategorikan sebagai kehilangan
’’barang’’? Bila hal itu tertulis dalam SOP, tentu menjadi kekeliruan
besar. Seandainya pun yang tertulis dalam SOP penerimaan laporan
kehilangan mengarah objek berwujud barang, bagaimana bila yang dilaporkan
hilang itu adalah manusia?
Bila tidak tercantum dalam SOP pun, polisi
tentu harus bisa berpikir kritis, analitis, sekaligus kreatif.
Penerapan SOP bukan secara kaku, mengingat perlu pengembangan lewat cara
berpikir secara dinamis. Artinya, terhadap hal-hal yang tidak/ belum
diatur dalam SOP, sepanjang menyangkut ranah pelayanan, perlindungan, dan
pengayoman kepada masyarakat, polisi harus berani bertindak menurut
penilaiannya sendiri, asalkan demi kepentingan umum (diskresi kepolisian)
Diskresi itu
bahkan sudah diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Penerapan urgensi dari asas diskresi ini salah satunya adalah ketika
anggota polisi dihadapkan pada situasi seperti di Polsek Johar Baru dan
Pulogadung tadi. Bila saat itu polisi yang menerima laporan mampu
menjabarkan pentingnya melakukan tindakan diskresi, ia pasti segera
bergerak kendati waktu pelaporan ’’kehilangan’’ itu belum 1 x 24 jam.
Sungguh sebuah ironi. Ia harus segera bertindak karena diskresi
kepolisian tadi.
Terhadap
laporan kehilangan barang (semisal mobil, motor, uang, SIM/ STNK dan
sebagainya), mungkin penerimaan laporan setelah 1 x 24 jam masuk akal,
karena waktu selama itu dimaksudkan guna memberi ruang bagi korban/
pelapor mencari atau kemungkinan bisa menemukan sendiri barang yang
hilang. Tapi kalau menyangkut nyawa? Jangankan 1 x 24 jam, seketika itu
juga ada korban/ pelapor atau siapa pun butuh pertolongan, wajib hukumnya
bagi polisi untuk segera menolong atau mengambil langkah lain berdasarkan
prosedur kepolisian guna penyelamatan.
Berpikir
kritis menjadi sebuah kebutuhan bagi anggota polisi yang dalam tugas
sehari-hari ada di bawah perintah komandan. Namun untuk kondisi/ situasi
tertentu, ia harus bisa memutuskan sendiri sebuah tindakan untuk
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tidak semua tindakan kepolisian harus dimintakan izin dari komandan atau
berpijak secara kaku sesuai SOP.
Diskresi
kepolisian harus dijawab oleh tiap anggota polisi yang bertugas di
lapangan melalui sikap profesional, bukan keragu-raguan yang akhirnya
bisa merugikan masyarakat. Ke depan, masyarakat berharap tidak ada lagi
kejadian serupa. Hal itu mengingat tuntutan dari profesionalisme polisi
hakikatnya adalah ketika polisi itu mampu mengemban tugas dan memberi
kepuasan kepada masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar