Gerakan
konstitusionalisme (constitutionalism)
didefinisikan sebagai suatu sistem terlembagakan yang menyangkut
pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan
pemerintah.
Ide gerakan
konstitusionalisme ini di Indonesia dirasakan lemah yang berakibat pada
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) atau kekuasaan yang berlebihan (excessive power), baik itu dilakukan oleh lembaga eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Konstitusionalisme itu sendiri merupakan
abstraksi lebih tinggi dari “rule of law” (rechtsstaat), yang maksudnya kekuasaan negara dibatasi oleh
konstitusi dan dipagari hukum agar tidak sewenang-wenang dan berlebihan.
Seperti
ditulis oleh Eric Barendt tentang pernyataan Montesquieu mengenai
konstitusionalisme: “is a belief in
the imposition on government by means of a constitution.” Sebagai
negara hukum (rechtsstaat) yang
dijamin dalam UUD 1945, golongan menengah Indonesia, politisi, aktivis,
cendekiawan, akademisi, pengusaha, dan profesional Indonesia seharusnya
menggandrungi gerakan konstitusionalisme, sehingga
pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD 1945 tidak separah sekarang ini.
Para elite di
Indonesia termasuk politisi, pejabat pemerintahan, dan DPR, terjebak
dalam sentimen materialisme, ekonomi pasar, dan perdagangan bebas yang
tujuannya bukan memberantas kemiskinan, melainkan malah menimbulkan
kerentanan dan ketidakmerataan ekonomi (economic insecurity and inequality). Globalisasi dan/atau
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan kelak pada waktunya akan menetes ke bawah
(trickle down effect) ternyata
hanya ilusi belaka.
Perusahaan
multinasional yang diberi kebebasan dalam era globalisasi hanya mengejar
keuntungan dan pertumbuhan ekonomi dan tidak peduli terhadap kemiskinan
yang melanda 80% penduduk di negara berkembang, yang ditandai dengan
pendapatan dan pendidikan yang rendah serta angka pengangguran yang
sangat tinggi. Hal ini merupakan suatu keadaan yang sangat menyakitkan
dan menyedihkan. Hanya India dan China yang berani melawan globalisasi.
Mereka mengalami perbaikan ekonomi dengan perlahan tetapi pasti dalam
mengurangi jumlah kemiskinan dan menata ekonominya tanpa bantuan IMF dan
World Bank.
Tatanan
ekonomi kita bila mengacu pada konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa: “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Namun, semangat kebersamaan dan ekonomi kekeluargaan tidak tercermin
dalam perekonomian Indonesia saat ini, apalagi semangat kemakmuran
sebagai salah satu syarat negara sejahtera (welfare state).
Gerakan Konstitusionalisme
Dalam paham
seorang yuris Prancis Montesquieu, jika kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif yang sedang berkuasa dikhawatirkan menjelma menjadi tirani,
kekuasaan yudikatif harus independen dari kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif yang berwenang membuat hukum.
Dalam hal
ini, khususnya bebas dan imparsial dalam membuat putusan sebagai
pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang
membuat hukum dan peraturan yang represif. Keselarasan (compatibility) undang-undang
terhadap konstitusi ini harus selalu dijaga oleh kekuasaan yudikatif. Di
sinilah letak pentingnya pembagian kekuasaan (separation of power) yang dikemukakan Montesquieu dalam
bukunya yang berjudul: “L’Esprit
des Lois”.
Menurut
Montesquieu konstitusi mempunyai dua arti, yaitu: “The first, the constitution of a state is the written document
or text which outlines the powers of its parliament, government, courts,
and other important national institutions…. Secondly, constitutions are
drawn up to establish the fundamental principles of a new system of
government subsequent to a revolution. That was the case with the first
French Constitution of 1791.”
Jadi,
dokumen konstitusi ini memuat garis besar kekuasaan parlemen, pemerintah,
lembaga peradilan, dan lembagalembaga negara lain yang dianggap penting.
Juga dijamin hak-hak dasar individu seperti kebebasan mengemukakan
pendapat atau bicara dan hak untuk diadili secara adil. Perlindungan hak
dasar individu bertujuan membatasi kekuasaan legislatif dan eksekutif
yang cenderung otoriter atau semena-mena.
Selanjutnya,
konstitusi dimaksudkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dasar dari
suatu pemerintahan hasil dari suatu revolusi. Itulah ide konstitusi
pertama Prancis pada tahun 1791. Perlindungan hak dasar individu, diadili
oleh pengadilan yang adil (fair) serta perlindungan atas kesewenangan
merupakan sesuatu yang mahal dan langka di Indonesia. Tatanan ekonomi
yang tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan persoalan
utama bagaimana tatanan ekonomi kita ke depan harus ditata atau dikelola.
Janji Globalisasi
Apa yang
dijanjikan globalisasi yang menekankan pada ekonomi pasar, perdagangan
bebas, dan pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat bagi Indonesia dan
negara-negara berkembang lain. Pemikiran mencabut subsidi dan membuka
pasar bagi negaranegara anggota WTO tidak membawa hasil sebagaimana janji
semula. Kemakmuran segelintir manusia Indonesia, kebanyakan pengusaha dan
pejabat, tidak menetes ke bawah (trickle
down effect) seperti yang dijanjikan semula dalam globalisasi,
ekonomi pasar, dan perdagangan bebas.
Ketika
negara-negara berkembang dianjurkan mencabut subsidi yang diberikan
kepada industri yang baru tumbuh, negaranegara maju justru melindungi
para petaninya dengan memberikan subsidi yang besar, menurunkan harga
alat-alat pertanian, sehingga hal tersebut merongrong standar kehidupan
di negara berkembang.
Perusahaan-perusahaan
multinasional begitu rakusnya, sampai menganjurkan bayi untuk tidak minum
air susu ibu (ASI) agar produk susu kaleng buatan perusahaan mereka
laris, perusahaan farmasi menyewa lobbyistuntuk memengaruhi dan menyuap
pejabat atau pemerintahan negara-negara berkembang agar produknya laris,
dan rokok yang pemasarannya dibatasi di negara-negara maju malah
diiklankan dengan gencar di negara-negara berkembang.
Pertanyaannya
sekarang adalah apa tatanan ekonomi dan sosial seperti inilah yang
dicita-citakan dan dijamin UUD 1945? Tentu tidak, tetapi apa daya kita
memperbaiki keadaan seperti ini. Tidak lain gerakan konstitusionalisme
harus ditingkatkan agar semua peraturan perundang-undangan selaras (compatible) dengan UUD 1945 dan
putusan-putusan pengadilan harus mengacu pada konstitusi dan hak dasar
(hak asasi manusia).
Konstitusi
merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling
fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau
landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundangundangan
lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar
peraturan-peraturan yang tingkatnya berada di bawah Undang- Undang Dasar
dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan- peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Atas dasar
logika demikian itulah, Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya
memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk
legislatif (judicial review)
terhadap materi konstitusi, meskipun konstitusi Amerika Serikat tidak
secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung.
Hakim Agung
John Marshall dalam kasus Marbury v. Madison (1803) di Amerika Serikat
menyatakan bahwa segala undang-undang buatan kongres, apabila
bertentangan dengan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’ harus dinyatakan batal demi
hukum (null and void).
“Thus, the particular phraseology of the
constitution of the USA confirms and strengthens the principle, supposed
to be essential to all written constitution, that a law repugnant to the
constitution is void; and that courts, as well as other departments, are
bound by that instrument.”
Semoga tulisan ini dapat memberikan
sumbangan bagi gerakan konstitusionalisme di Indonesia di mana UUD 1945
dijadikan hukum paling tinggi dan fundamental (grund norm). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar