SANTET
kadang diartikan mesisan benteh (sekalian/sekaligus retak, pecah) atau
mesisan kanthet (sekalian/ sekaligus lengket atau menempel). Lema mesisan
itu untuk menyangatkan arti sehingga santet bisa diartikan medium
(alat) untuk mengirim penyakit, sekaligus memengaruhi pikiran hingga si
objek berperilaku di luar batas kewajaran.
Selain itu
untuk memprovokasi bahwa kejahatan magis itu tidak setengah-setengah,
bukan main-main. Santet mesisan kanthet misalnya, identik dengan pelet
dosis tinggi. Perbincangan mengenai santet menjadi menarik karena saat
ini DPR tengah membahas RUU mengenai Santet. Pasal 296 rancangan regulasi
itu mencantumkan mengenai delik santet.
’’Keseriusan’’
dalam santet menjadi prasyarat mengingat energi negatif tidak bisa
bekerja total bila seseorang (baik dukun santet maupun si pemberi order)
masih menyisakan sifat kemanusiaan, semisal menyimpan belas kasihan, rasa
sayang, berpikir rasional plus minusnya bila melakukan perbuatan
tersebut.
Di Jabar
aktivitas mencelakai pihak lain dengan cara magis disebut teluh, asal
kata tulah yang berarti kemalangan yang mendatangkan kutukan (sosot). Di
Jateng istilah itu lebih dikenal dengan tenung. Sejarawan Unpad Bandung
Prof Dr H Edi S Ekadjati mengatakan, dokumen abad ke-6 ’’Sanghyang Siksa Kandhang Karesian’’
menjabarkan teluh sebagai sakit hati, murung, tidak senang, yang
dialihkan kepada orang lain.
Praktik
santet sudah ada sejak zaman Nabi Musa as, tatkala ketika Firaun menyuruh
Bal’am bin Baura, ulama Yahudi untuk mendoakan kehancuran Nabi Musa as,
walau upaya itu menemui kegagalan. Pemerintahan Majapahit pun menerapkan
semacam UU tentang Santet, yangmenyebutkan, ’’Barang siapa menggunakan boneka atau sejenis dengan tujuan
meneluh orang lain, dia diancam hukuman mati.’’
Tapi regulasi
itu terasa adil pada zamannya karena ada adendum pasal yang
’’melindungi’’ tukang santet, yakni, ’’barang
siapa menuduh seseorang sebagai tukang teluh tanpa bukti, dia bisa
diancam hukuman mati.’’ Ini selaras dengan tipikal masyarakat awam,
sebagai objek santet yang ’’tumpul
analisis’’ sekaligus mudah terprovokasi.
Sulit Diwakilkan
Karena
itulah, yang dibutuhkan bukan hanya ayat penangkal sihir, santet, atau
teluh, melainkan pemahaman terhadap ayat yang bisa memproteksi diri
supaya menghindari tindakan anarkis. Kita bisa mencontohkan pada
pembunuhan seseorang/sekelompok orang atas dugaan/ tuduhan menjadi tukang
santet, semisal di Eropa Barat tahun 1450-1475, di Salem Amerika Sertikat
tahun 1962, dan di Banyuwangi Jatim.
Terkait hal
itu kita bisa mengacu Surah Al-Hujarat : 6 yang menyebutkan,’’ Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik (orang yg
percaya kepada Allah sw namun tidak mengamalkan perintah-Nya, tapi malah
melakukan perbuatan dosa) membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.’’
Tragedi
santet juga tercatat dalam sejarah Kerajaan Kediri semasa Raja Airlangga.
Ketika Calon Arang marah karena sang putri, Ratna Menggali, tak ada yang
melamar, sehingga ia mengirim santet dan terjadilah pagebluk.
Memahami
definisinya, santet akan bereaksi ketika ada dorongan kemeluapan emosi
atau dendam. Kekuatan santet bersifat pribadi dan sulit diwakilkan.
Karena itu, ketika seseorang mewakilkan kepada dukun/ tukang santet maka
persentase keberhasilannya kecil. Pasalnya sang dukun belum tentu
memiliki kadar emosi setinggi pemesan order.
Terkait
dengan pembahasan pasal RUU tentang Santet oleh DPR, pada satu sisi kita
bisa memandang positif sebagai langkah preventif. Hal itu mengingat yang
dijerat bukanlah aktivitas santetnya (karena pasti sulit dibuktikan)
melainkan pada upaya persekongkolan jahatnya.
Ayat 1 Pasal
296 menyebutkan setiap orang yang menyatakan diri mempunyai kekuatan
gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, bisa dipidana paling
lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta.
Ayat 2
regulasi yang sama menyebutkan jika pembuat tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan ayat (1) melakukan perbuatan itu guna mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan maka pidananya dapat
ditambah sepertiganya.
Benteng
pertahanan diri dari serangan santet adalah kehadiran rasa tenteram
yang timbul dari iman (tauhid) dan kepasrahan (tawakal). Adapun
yang memperlemah adalah rasa takut dan waswas. Karena itu, kita
diperintahkan membaca Surah Al-Alaq dan An-Nas guna menangkal sihir dan
sejenisnya.
Secara
modern, pertahanan diri dapat dilakukan dengan meningkatkan zat
endhorphin yang ada dalam tubuh melalui relaksasi, meditasi, olahraga,
terapi tertawa dan bacaan yang memperluas wawasan. Bagi yang bermain
santet, ingatlah ketika seseorang mendoakan keburukan bagi orang lain,
maka doa itu terbang ke langit. Di sana, pintu langit tertutup, lalu doa
itu kembali ke bumi. Jika doa itu belum layak (bobot kesalahannya) maka
akan berbalik memakan dirinya atau si pengirim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar