Tulisan Wakil menteri Agama
Nasaruddin Umar dalam Harian Republika (9/2/2013) dengan judul "Problem
Percetakan Alquran" layak diapresiasi. Wamen mengusulkan agar ada semacam aturan yang jelas tentang pencetakan
Alquran. Kalau boleh penulis menafsirkan, Wamen menginginkan adanya
perusahaan negara yang mengurusi pencetakan Alquran.
Tentu saja, usulan ini muncul
bukan saja karena kekhawatiran akan adanya penyimpangan-penyimpangan
korupsi dalam proses pengadaan Alquran, meainkan memang sudah seharusnya
pencetakan Alquran dibuatkan sendiri pabriknya sebagaimana perusahaan umum
pencetakan uang RI. Pencetakan uang saja ditangani khusus oleh perusahaan
umum milik negara, mengapa pencetakan Alquran-yang notabenenya adalah kitab
suci umat Islam-tidak diperlakukan seperti itu?
Artikel ini akan mengamini
usulan tersebut dengan memberikan latar belakang sejarah pencetakan Alquran
di dunia. Penulis akan menginformasikan penggalan sejarah pencetakan
Alquran yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk mendukung gagasan Wamen.
Dalam sejumlah
literatur-seperti Encyclopaedia of
the Qur'an (2004), Early Printed Korans:
The Dissemination of the Koran in the West (2004), dan A lost Arabic Koran rediscovered karya
Angela Nuovo (1990)-disebutkan bahwa Alquran dicetak pertama kali oleh
Paganino dan Alessandro Paganini (anak dan ayah, keduanya adalah ahli
pencetakan dan penerbitan), antara 9 Agustus 1537 dan 9 Agustus 1538 di
Venice, Italia. Sayangnya, Alquran cetakan ini hilang dan akhirnya
memunculkan banyak spekulasi.
Pertama, Juli 1542, terjadi
penolakan atas pencetakan Alquran karena berbahaya dan seharusnya tidak
diterbitkan dan diedarkan di komunitas Kristiani. Mushaf tersebut akhirnya disita oleh City Council (perwakilan kota) yang bertindak atas dasar
nasihat sejumlah pemimpin agama Kristiani.
Kedua, edisi Venice bukan ditujukan untuk
orang-orang Eropa, melainkan akan dikirim ke Imperium Ottoman, Istanbul,
Turki. Sayangnya, edisi itu memuat banyak kesalahan hingga mereduksi makna
Alquran. Setting serta layout-nya terlalu jelek.
Orang-orang Ottoman menyakini, Alquran hanya boleh disentuh oleh
orang-orang yang suci. Sedangkan, Alesandro Paganini dan Paganino adalah
orang kafir yang tidak suci. Jadi, ketika Alessandro Paganini pergi ke
Istanbul untuk menjual Alquran cetakannya, orang-orang Ottoman tidak
menyambutnya.
Jean Bodin (1530-1596) dalam
Colloquium Heptaplomeres (ditulis
sekitar tahun 1580) menyatakan bahwa orang-orang Ottoman merusak seluruh
cetakan dan memotong tangan kanan Alessandro. Mushaf Venice ini ditemukan
kembali pada 1980-an di Perpustakaan Fransiscan
Friars of San Michele di Isola, Venice, oleh Angela Nouvo. Pemilik
edisi Venice ini adalah Teseo Ambrogio degli Albonesi yang meninggal
setelah tahun 1540. Kopian tersebut penuh dengan cacat dan hampir
rusak.
Jauh setelah edisi Venice,
muncul cetakan edisi Hamburg tahun 1694 dilakukan Abraham Hinckelmann, seorang
kepala pastur di Hamburg. Hampir satu abad setelah cetakan Hamburg,
muncullah cetakan Alquran spesial pada 1787 di St. Petersburg. Setelah
perdamaian Kuecuek Kaynarca, pascaperang Rusia-Turki (1768-1774), sejumlah
wilayah Turki Utsmani (Ottoman) jatuh ke dalam kekuasaan Rusia. Yang
Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherine II (w. 1796) memerintahkan agar Alquran
dicetak dengan tujuan politis. Sebagai sikap toleransi keagamaan, Ratu
Tsarina Caherin II ingin agar keturunan Muslim Turki dapat mengakses Kitab
Suci tersebut. Alquran cetakan ini di-tahqiq
oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan keterangan dari
kitab-kitab tafsir. Di sinilah pertama kali umat Islam mencetak Alquran.
Dari penggalan sejarah
tersebut, sejarah pencetakan Alquran sesungguhnya penuh dengan berbagai
nuansa yang delicate (rumit),
tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, kepentingan, politisasi,
dan rekayasa. Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi politisasi, kepentingan,
intrik, dan rekayasa, diperlukan sebuah institusi resmi yang dijamin oleh
negara untuk melakukan pencetakan Alquran.
Hilangnya edisi Venice
menunjukkan bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas saat itu atas pencetakan
Alquran. Sedangkan, berhasilnya pencetakan Al-quran di St. Petersburg oleh
orang-orang Turki disebabkan otoritas saat itu (raja) mendorong dan mendirikan pencetakan Alquran. Salah satu negara Islam yang
telah melakukan hal ini adalah Arab Saudi.
Pada 1984/1985 (1505 H), Arab
Saudi mendirikan pabrik percetakan Alquran terbesar di dunia, yakni Majma'
Malik Fahd li Thiba'ah Mushhaf asy-Syarif yang diresmikan Raja Malik Fahd.
Percetakan ini berada di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi.
Percetakan ini melibatkan ahli kaligrafi , ulama-ulama besar, dan para
huffadz di berbagai negara sebagai pengawas.
Apabila ada kesalahan atau cacat, seperti titik, baris, lipatan kertas yang
cacat, dan jahitan yang melenceng, semuanya akan disortir untuk dimusnahkan
di gedung pemusnahan. Percetakan Majma' Malik Fahd Li Thiba'ah Mushaf
asy-Syarif sangat bisa menjadi model bagi percetakan Alquran di Indonesia.
Walhasil, ketika Alquran sudah
menjadi sebuah buku yang tertulis secara utuh dan dicetak (the book), ia menjadi sebuah entitas
tersendiri yang memiliki nilai. George Ateyah dalam The Book in Islamic World (1995) mengatakan, "A book is
obviously not simply a phisical thing. It is a living entity." Jadi,
Alquran yang dicetak merupakan item material dan intelektual yang multifaceted, mencakup semua aspek
yang terkait dengan produksi-buku, authorship,
transmisi, kontrol pengetahuan, serta peran pentingnya dalam budaya dan
sekaligus sosial. Di sinilah, usulan Wamen Agama menemukan relevansinya dan
membuka diskusi baru tentang sejarah pencetakan Alquran di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar