Setelah mengalami defisit 1,63 miliar dolar AS selama 2012 (pertama
kalinya sejak 1961), neraca perdagangan (neraca ekspor dan impor) kita pada
Januari 2013 masih melanjutkan tren negatifnya dengan membukukan defisit
171 juta dolar AS. Defisit ini terjadi karena ekspor kita selama Januari
2013 hanya mencapai 15,38 miliar dolar AS sedangkan impor mencapai 15,55
miliar dolar AS.
Defisit neraca perdagangan pada Januari 2013 terutama disebabkan oleh
tingginya defisit pada sektor migas yang mencapai 1,43 miliar dolar AS,
dengan kontribusi defisit pada minyak mentah 554,7 juta dolar AS dan
defisit hasil minyak (BBM) 2,18 miliar dolar AS. Sementara, pada komoditas
gas mengalami surplus sebesar
1,31 miliar dolar AS. Ekspor nonmigas pada Januari 2013 mengalami surplus
1,25 miliar dolar AS. Sayangnya, surplus nonmigas ini tidak cukup untuk
menahan tingginya defisit migas.
Melemahnya
kinerja neraca perdagangan kita ini sesungguhnya telah lama menjadi
perhatian sejumlah kalangan, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga luar
negeri. Majalah ekonomi terkemuka, The
Economist, dalam artikelnya, "Indonesia's
Economy: Tipping the Balance", edisi 23 Februari 2013, memberikan
catatan khusus terkait defisit neraca perdagangan kita.
The
Economist menilai, di balik
euforia tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak memiliki pegangan yang kuat dan
bertindak konservatif. Di balik investasi yang booming di Indonesia, terdapat masalah besar yang dapat meledak
sewaktu-waktu. Ekspor lemah karena permintaan global yang tertekan dan
harga sumber daya alam yang rendah.
Dengan
berkaca pada kinerja ini, tentunya pemerintah perlu segera mencermati
prospek neraca perdagangan kita ke depan. Terlebih lagi, bila kita melihat
kinerja neraca perdagangan migas yang tren defisitnya mengalami
peningkatan. Dengan melihat tren permintaan dan penawaran sektor migas
kita, khususnya dari sisi neraca minyak, saya agak meragukan neraca
perdagangan migas kita bisa surplus pada 2013. Mengapa?
Kebutuhan
BBM kita menjadi semakin meningkat. Pada 2012, realisasi BBM bersubsidi
mencapai sekitar 45 juta kiloliter, meningkat dibanding 2011 yang menca-
pai sekitar 42 juta kiloliter. Pada 2013, target konsumsi BBM bersubsidi
sekitar 46 juta kiloliter. Saya
berpendapat, bila tidak ada upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang
masif, sepertinya sulit target konsumsi BBM bersubsidi dapat ditahan pada
angka 46 juta kiloliter. Perkiraan yang lebih realistis (bila tidak ada
upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi), konsumsi BBM bersubsidi selama
2013 bisa mencapai sekitar 47- 49 juta kiloliter. Di sisi lain, produksi minyak
mentah kita selama 2013 juga sepertinya sulit untuk bisa mempertahankan
level produksinya seperti 2012. Kemungkinan yang terjadi, produksi minyak
mentah selama 2013 akan lebih rendah dibanding 2012 yang mencapai sekitar
861 ribu barel per hari (bph).
Pada
2013, diperkirakan ada sumur-sumur baru yang telah berproduksi. Namun ,
produki minyak dari sumur-sumur baru ini diperkirakan hanya bisa menaikkan
produksi minyak sekitar 10 persen. Di sisi lain, tren penurunan produksi
minyak diperkirakan telah mencapai sekitar 12-15 persen per tahun. Dengan
kata lain, produksi minyak kita masih mengalami pertumbuhan negatif sekitar
dua-lima persen.
Di sisi lain, upaya optimalisasi produksi melalui kegiatan
enhanced oil recovery (EOR) baru
dimulai tahun ini sehingga hasil produksinya baru bisa terlihat pada 2014. Beruntung,
neraca gas kita masih positif sehingga setidaknya mampu menahan laju
defisit neraca migas agar tidak meningkat secara drastis.
Pada
2013, sektor gas sepertinya akan memiliki peran yang penting untuk menjaga
neraca perdagangan migas kita agar tetap positif. Entah sampai kapan
kinerja gas ini akan dapat diandalkan. Ini mengingat tren produksi gas saat
ini juga cenderung menurun. Sepertinya, kita memang harus secepatnya tanggap
bahwa kondisi sektor migas kita saat ini, terutama minyak, sudah berada
dalam kondisi "darurat". "Darurat" migas ini tidak
hanya terjadi di sektor hulu (produksi), tetapi juga di sektor hilir
(khususnya pengolahan).
Kebutuhan
BBM di dalam negeri setiap tahunnya terus meningkat. Katakanlah, target
produksi minyak sebesar satu juta bph pada 2014 tercapai (dengan asumsi
Blok Cepu bisa berproduksi secara penuh dan menghasilkan sekitar 165 ribu
bph dan seluruh kegiatan EOR berjalan baik), apakah secara otomatis akan
mengurangi impor BBM? Jawabannya, tidak! Ini mengingat kapasitas kilang
yang kita miliki saat ini belum mampu menampung seluruh minyak mentah yang
kita hasilkan. Sehingga, impor hasil minyak (BBM) tetap diperlukan dan
justru berpotensi meningkat bila kita tidak ada kilang pengolahan baru yang
beroperasi.
Mengingat
kondisi sektor migas kita saat ini telah berada dalam kondisi yang cukup
rawan, sudah seharusnya pemerintah lebih responsif dalam menjawab tantangan
ini. Saat ini, telah banyak proyek yang disiapkan dan dikerjakan untuk
menyehatkan kembali sektor migas kita, baik proyek hulu maupun hilir.
Sayangnya, realisasinya masih rendah dan belum bisa memenuhi kebutuhan di
sektor migas kita secara optimal. Masalah-masalah nonteknis, seperti
perizinan, pembebasan lahan, atau koordinasi antarpemangku kepentingan,
masih menjadi persoalan klasik yang perlu diselesaikan pemerintah.
Saya
berpendapat, untuk mencegah agar "darurat" migas yang terjadi
saat ini tidak berlanjut, kita tidak hanya harus menyelesaikan berbagai
persoalan teknis dan nonteknis saat ini, tetapi juga harus segera
diputuskan seperti apa politik migas kita ke depan. Ini mengingat politik
migas inilah yang akan membimbing kita dalam mendesain kebijakan migas
nanti serta infrastruktur migas yang harus disiapkan. Sebagai contoh, kita sepakat
subsidi BBM harus dikurangi melalui pengalihan konsumsi BBM bersubsidi ke
BBM nonsubsidi. Namun, ketika akan melakukan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi (Premium, Ron 88) ke BBM yang beroktan lebih tinggi (Pertamax,
Ron 92), ternyata juga memunculkan problem baru terkait suplainya. Sebab,
kilang-kilang yang kita miliki sebagian besar belum didesain untuk menghasilkan
BBM beroktan tinggi. Bila penyediaan BBM nonsubsidi harus dipenuhi dengan
jalan pintas (melalui impor), hal itu juga dapat menimbulkan tekanan
terhadap neraca perdagangan migas kita.
Keadaan
"darurat" migas sebagaimana diperlihatkan oleh neraca perdagangan
kita, semestinya menjadi peringatan keras agar segera membenahi kondisi
sektor migas kita. Tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir. Bila kita
tidak segera membenahi masalah ini, bisa jadi euforia pertumbuhan ekonomi
tinggi (yang saat ini kita nikmati) justru akan menjadi sumber bencana bagi
generasi kita pada masa mendatang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menuntut
pasokan energi yang besar. Bila ini dipenuhi secara eksploitasi, generasi
mendatanglah yang akan menanggung pil pahitnya. Saya berharap, mudah-mudahan
kita setidaknya sudah berpikir untuk risau dengan situasi ini! Wallahu'alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar