"Ada
kecenderungan parpol hanya berkutat pada masalah kekuasaan dan abai
terhadap fungsi sosial di masyarakat"
BILA tak ada upaya penyelamatan,
partai-partai politik tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan. Di
samping menghadapi masalah elektabilitas (tingkat keterpilihan),
parpol-parpol juga mengkhawatirkan naiknya angka golongan putih (golput)
atau mereka yang tak menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2014.
parpol-parpol kini memasuki sandyakala (senja kala) dan tinggal menunggu
terbenam.
Pada Pemilu 2009, dari total pemilih pada
daftar pemilih tetap (DPT) yang berjumlah 171.265.442 orang, hanya
121.588.366 di antaranya yang menggunakan hak pilih, dan berarti yang
golput alias tidak menyoblos mencapai 49.677.076 orang. Suara yang
dianggap sah pada Pemilu 2009 adalah 104.099.785, dan suara yang dianggap
tidak sah 17.488.581.
Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU),
tingkat partisipasi masyarakat dari pemilu ke pemilu terus menurun. Bila
pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi masyarakat mencapai 93,30% maka pada
Pemilu 2004 menurun menjadi 84,07%, dan pada Pemilu 2009 menurun lagi
menjadi 70,99%. Untuk Pemilu 2014, Lembaga Survei Indonesia (LSI)
memprediksi, golput akan mencapai lebih dari 50%, dan hanya 49% yang akan
menggunakan hak pilih.
Elektabilitas parpol-parpol besar juga
terus tergerus. Partai Demokrat misalnya. Bila hasil survei Saiful Mujani Research &
Consulting (SMRC) menunjukkan elektabilitas 8,3% maka hasil survei
Lembaga Survei Jakarta (LSJ) menunjukkan elektabilitas yang tinggal 6,9%.
Padahal Demokrat adalah partai pemenang Pemilu 2009 dengan 21% suara.
Kemerosotan
Fungsi
Inilah yang membuat para elite Demokrat
galau dan menimbulkan perpecahan di antara mereka namun kemudian kembali
akur. Kini setelah ketua umum, Anas Urbaningrum, ditetapkan KPK sebagai
tersangka korupsi proyek Hambalang, bisa jadi elektabilitas Demokrat akan
lebih merosot lagi.
Kemenurunan kepercayaan publik terhadap
parpol ini dipicu oleh kemerosotan fungsi parpol. Ada kecenderungan
parpol hanya berkutat pada masalah kekuasaan dan abai terhadap fungsi
sosial di masyarakat.
Akibatnya, banyak kader parpol yang duduk
di DPR dan DPRD terjerat kasus korupsi, apa pun parpolnya. Bahkan
presiden parpol yang mengklaim sebagai parpol Islam pun terjerat kasus
korupsi.
Hasil survei Transparansi Internasional
Indonesia (TII) pada 2009, parpol merupakan lembaga terkorup, setelah
parlemen dan lembaga peradilan. Hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate
pada Mei 2012 juga menunjukkan parpol merupakan lembaga terkorup setelah
DPR, kantor pajak, dan kepolisian.
Produktivitas anggota DPR dalam legislasi
juga menurun. Tiap tahun jumlah undang-undang (UU) yang disahkan se-lalu
jauh di bawah target. Pada 2010 disepakati 70 rancangan undang-un-dang
(RUU) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tapi hanya 18
rancangan yang disahkan.
Tahun 2011, dari 91 hanya 22 rancangan
yang disahkan menjadi undang-undang atau 22,6%. Sementara pada 2012, RUU
prioritas ditambah kumulatif terbuka yang disahkan sebanyak 30 atau 35,7%
dari total RUU. Tahun ini, dari 70 RUU yang jadi target Prolegnas 2013,
baru satu yang disahkan menjadi undang-undang dalam dua bulan terakhir.
Tingkat kehadiran anggota DPR dalam
rapat-rapat juga menurun, berkisar antara 60% dan 70%, apalagi memasuki
tahun politik seperti sekarang ini. Inilah yang membuat pimpinan Badan
Kehormatan (BK) DPR galau sehingga mereka berencana memantau kehadiran
anggota DPR dalam rapat-rapat dan akan mengumumkannya kepada publik bila
ada anggota parlemen yang membolos.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol juga berimbas pada
kemenurunan partisipasi dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang
sebenarnya lebih ’’menjual’’ figur.
Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan yang
baru lalu misalnya, pemilih yang menggunakan hak politik mereka hanya 50%
dari total jumlah pemilih. Data ini relatif konstan karena pada Pilgub Sulsel
2007 angka golput mencapai lebih dari 40%, begitu pun dengan Pilwalkot
Makassar 2008. Pada Pilgub Jawa Barat, pada Minggu 24 Februari 2013,
angka golput juga relatif tinggi.
Hasil survei Indo Barometer menyebutkan
angka partisipasi pemilih hanya 62,24%, sedangkan yang tidak datang ke
TPS 35,76%, dan suara tidak sah 1,87%. Survei ini dilakukan Indo
Barometer bersamaan dengan hitung cepat (quick count) di 450 TPS dengan
74.948 TPS yang tersebar di 26 kabupaten/kota di Jabar, dengan total
pemilih 32.536.980 orang. Dalam Pilwalkot Bekasi, pada Desember 2012,
angka golput mencapai 47-50%.
Pada Pilgub Jabar bahkan ada fenomena
menarik, yakni para tim sukses calon gubernur enggan menonjolkan
identitas parpol dalam tiap kampanye karena citra parpol terus memburuk
sehingga tim sukses merasa tak layak lagi menjadikan identitas parpol
sebagai alat propaganda guna mendongkrak citra calon gubernur.
Selain citra parpol, tingginya angka
golput dalam pilkada juga dipicu oleh fakta bahwa banyak kepala daerah
yang setelah terpilih kemudian terlibat korupsi. Data dari Kementerian
Dalam Negeri menyebutkan saat ini 290 kepala daerah berstatus tersangka,
terdakwa, dan terpidana berbagai kasus hukum. Sebanyak 251 orang atau
86,2% di antaranya tersangkut korupsi.
Sandyakalaning parpol benar-benar
terjadi. Apa yang harus dilakukan parpol-parpol untuk mendongkrak citra
mereka menghadapi Pemilu 2014, dan meningkatkan kualitas anggota
parlemen, baik di pusat maupun di daerah? Tak ada jalan lain kecuali
berhenti korupsi, tingkatkan produktivitas UU, dan rajin-rajinlah kader
parpol di legislatif menghadiri sidang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar