Selama berpuluh-puluh tahun sejak
Indonesia merdeka, negeri ini lebih dikenal orang sebagai negara
berkembang yang butuh perbaikan sana sini.
Karena masyarakatnya
belum sejahtera, belum sehat, belum cukup berpendidikan, dan belum
dianggap punya akses pada standar kehidupan yang layak dan mutakhir.
Indonesia kerap membanggakan diri sebagai “suara dari negara berkembang”
dan “salah satu model terbaik dari negara berkembang”. Perlahan status
“berkembang” itu berkurang faedahnya. Tepatnya setelah China didaulat
“bangkit”, India dianggap mengikuti dan dibicarakan era baru dalam tata
kelola ekonomi politik global.
Sejumlah
pengamat mengklaim bahwa sekarang adalah saat bagi Asia untuk menentukan
arah percaturan ekonomi politik global. Lebih tegas lagi, sejumlah
pengamat di Amerika Serikat (AS) menegur Asia karena segan dan malu-malu
mengambil kemudi tatanan keamanan global. Suka ataupun tidak, siapa pun
yang pertumbuhan ekonominya masih positif di era ekonomi global yang
melamban, termasuk Indonesia, diminta untuk ambil tanggung jawab dalam
mendorong perekonomian dunia.
Cara pikir
tadi harus kita ingat betul dalam menyikapi ragam proposal kerja sama dan
forum penting yang digelar di Tanah Air sepanjang tahun 2013. Salah
satunya yang nanti terjadi di bulan Oktober, yakni Pertemuan Tingkat
Tinggi para pemimpin bisnis dan negara anggota APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation). Secara seremoni, pasti
acara itu akan semarak gebyarnya, tapi apakah kita paham betul apa yang
dicari para anggota APEC? Untuk itu saya sengaja menyoroti satu dimensi
negeri ini yang sebenarnya merupakan daya tarik besar bagi banyak negara
untuk ikut “heboh” di APEC.
Dimensi itu
adalah kesehatan. Negara-negara anggota APEC telah sepakat dalam
pertemuan tahun lalu di St. Petersburg (Rusia) untuk meningkatkan
investasi di sektor layanan kesehatan (health care). Rusia bahkan menyarankan Indonesia yang tahun
ini mengetuai APEC agar agenda perbaikan layanan kesehatan menjadi fokus
kepemimpinan di 2013. Arah yang dibidik adalah perbaikan layanan
kesehatan untuk sepanjang tahapan hidup manusia (dari dalam kandungan
sampai meninggal dunia), termasuk juga penanganan terhadap
penyakit-penyakit tidak menular yang menurunkan kualitas hidup manusia.
Perkembangan
ini menarik karena biasanya isu kesehatan adalah urusan dalam negeri, dan
setinggi-tingginya diangkat ke forum internasional maka biasanya masuk ke
ranah pengembangan harkat hidup manusia. Artinya aspek dialognya biasanya
sosial. Kali ini aspek dialognya ekonomi. Para pebisnis kelas kakap
berkumpul untuk menelusuri perkembangan layanan kesehatan rakyat di Asia,
termasuk di Indonesia. Artinya, peluang bisnis di sektor layanan
kesehatan akan naik daun dengan pesat. Khusus untuk Indonesia, berikut
indikatornya.
Pertama,
jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat dengan percepatan yang
cukup tinggi. Jumlah orang berduit serta jumlah orang-orang yang punya
gaya hidup “belanja-belanjabelanja” terus bertambah. Bank Dunia mencatat
jumlah orang dengan kemampuan belanja USD2–20 per hari ada sekitar 56%
dari total penduduk, atau sekitar 134 juta jiwa. Pemerintah pernah
mengeluarkan pernyataan populasi kelas menengah ini bertambah 8–9 juta
per tahun. Sungguh angka yang fantastis. Ini ladang uang yang subur bagi
pebisnis; hanya perlu dicari apa saja hal-hal yang bisa membangkitkan
semangat konsumtif penduduk di Indonesia.
Di satu sisi,
gaya hidup gemar belanja umumnya muncul di negara-negara yang penduduknya
banyak “orang kaya baru”. Penduduknya masih menikmati perasaan puas
karena bisa membeli ini dan itu. Perhatikanlah di negara-negara yang
sudah lama mapan perekonomiannya, justru masyarakatnya lebih senang
berhemat. Di Finlandia, misalnya, meskipun hampir tiap penduduknya
sanggup membeli mobil sekelas Mercedes-Benz atau Jaguar, mereka memilih
kendaraan kecil yang hemat bahan bakar. Penampilan orang-orangnya pun
hampir tak bisa dibedakan antara yang miliuner dan yang orang biasa.
Mereka sangat
khawatir akan kemungkinan krisis, apalagi jika ada kabar perekonomian
global terganggu atau melambat. Sangat berbeda suasananya di Indonesia.
Suasana krisis pun tak menyurutkan langkah orang untuk berbelanja;
asalkan (tentu saja) marketing produknya tepat. Kedua, kelas menengah
adalah kelompok orang-orang yang biasanya lebih terdidik dan hati-hati.
Jangan salah artikan hati-hati dengan hemat ya, karena sikap hati-hati
dapat berarti kemauan membeli produk apapun yang dianggap mencegah
kemungkinan terburuk bagi diri atau keluarganya.
Contohnya
asuransi dan pemeriksaan kesehatan (check
up). Meskipun dalam studi ilmu politik, kelas menengah kerap
digambarkan sebagai pembangun solidaritas, solidaritas itu tidak muncul
secara otomatis. Yang alamiah adalah sifat individualistis dari kelas
menengah; mereka lebih peduli pada urusan keluarga dan dirinya, atau
kepentingan kelompoknya. Mereka tak enggan mengekspresikan sikap
pragmatis dalam pengambilan keputusan.
Celakanya,
ketika satu orang atau kelompok di kelas menengah mengekspresikan
pragmatisme tertentu, dengan cepat tren itu menular kepada kelompok lain
dan belum tentu untuk kemudian membangun kerja sama kolektif demi
perbaikan bersama. Dengan demikian, kelas menengah adalah target pasar
yang menggiurkan karena mereka dengan relatif mudah dapat “dibentuk”
untuk menjadi agen pemasaran bagi kelompok dan produk tertentu. Kampanye
tentang penyakit tertentu, perlunya asuransi, vitamin, check-up dini perlu disadari juga
sebagai alat marketing.
Siapa cepat,
siapa canggih, siapa ampuh membangkitkan kesadaran (atau ketakutan), dan
siapa punya jaringan, maka ia menang dalam persaingan ekonomi.
Negara-negara APEC berburu kesempatan ini. Prinsip APEC untuk “menurunkan
tarif dan hambatan serendah-rendahnya agar terjadi perdagangan bebas
antarnegara anggota” adalah harga mati yang menjaga peluang berburu tadi.
Ketiga, Indonesia sedang membenahi sistem jaminan sosial nasionalnya.
Pemerintah
didorong-dorong untuk meningkatkan komitmennya (oleh pemerhati, pelaku
bisnis, donor, akademisi) untuk menambah anggaran agar bertambah pula
jumlah orang miskin yang dibayarkan preminya lewat BPJS Kesehatan (yang
nanti resmi berlaku 1 Januari 2014). Meskipun para pendorong tadi
sebenarnya berbeda- beda motif, ujung-ujungnya pebisnis di sektor layanan
kesehatan (termasuk rumah sakit, perusahaan obat, alatalat kesehatan,
asuransi swasta dan para praktisi kesehatan) akan diuntungkan juga oleh
kebijakan ini.
Betapa tidak?
Sistem jaminan sosial nasional akan menjamin layanan penyembuhan sampai
tuntas untuk segala penyakit termasuk yang kronis. Artinya ada peluang
bagi pengusaha yang membuka dan menambah tempat tidur di bangsal rumah
sakit kelas III. Ada jaminan aliran dana bagi RS yang melayani hampir
sepertiga penduduk Indonesia (yang notabene berpenghasilan di bawah garis
kemiskinan). Sementara itu, sepertiga penduduk Indonesia yang lain adalah
kelas menengah atas yang punya uang lebih untuk pilih-pilih asuransi
tambahan agar mereka bisa naik kelasVIPdalamlayananjaminan kesehatan
nasional.
Maklum, dalam
skema jamkes mendatang, standar upah tertinggi pun hanya akan mendapatkan
kelas I. Singkat kata, kita harus sadar betul makin tinggi perekonomian
kita berkibar, makin tinggi pula “angin pasar” yang meniup ke arah kita.
Karena mekanisme pasarlah yang memberi napas kehidupan bagi dunia bisnis,
maka kita harus pandai-pandai untuk peka pada arah pasar. Kita tak bisa
lagi berteriak-teriak antipasar dan menyetop pasar dengan cara-cara kasar
karena masyarakat kita sendiri pun sudah merupakan pengikut aliran pasar.
Di sinilah
pemerintah harus jeli melihat kesempatan untuk mengatur agar negara tetap
bisa berkata “tidak!” demi menjaga pilar-pilar harkat martabat bangsa.
Misalnya: ketika ribuan perusahaan mendekati para pejabat kita, apa
mekanismenya agar tak terjadi praktik kolusi, korupsi dan monopoli?
Ketika pasar layanan kesehatan kita buka pada pihak asing, apa jaminannya
bahwa sistem jaminan sosial kita tidak tergerus oleh membubungnya biaya
layanan kesehatan?
Ketika negara
menetapkan standar bantuan sosial per kapita, apakah ada mekanisme
verifikasi layanan yang diberikan oleh RS, dokter dan perawat adalah
sesuai standar etika dan prosedur profesional? Ada banyak pekerjaan rumah
dan kita harus bergegas. Jangan takut, justru kita perlu lebih semangat
menangani tantangan terbaru abad Asia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar