ISU kudeta terhadap Presiden SBY muncul
ke permukaan, dan justru diembuskan sendiri olehnya dalam beberapa
kesempatan. Ditengarai sejumlah elite dan purnawirawan tengah melancarkan
gerakan bawah tanah yang berujung demonstrasi masif mahasiswa untuk
menggulingkan kekuasaan presiden.
Bahkan terbakarnya kantor Sekretariat
Negara pekan lalu ditengarai sebagai bagian dari skenario kudeta.
Penyebabnya adalah elite, aktivis prodemokrasi, dan juga beberapa
purnawirawan TNI jengah dengan penguasa yang dirasa jalan di tempat. Tak
ada langkah signifikan misalnya, dibanding kepemimpinan DKI-1 alias
Jokowi, yang gebrakan dan kehadirannya sangat dirasakan publik.
Alasan lain karena Partai Demokrat tengah
bermain skenario, lepas dari kemunduran Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum setelah berstatus tersangka kasus korupsi. Demokrat juga bakal
menggelar munaslub, dan santer disebut-sebut para fungsionaris kuat
menjadi penggerak dukungan atas pencalonan Ani Yudhoyono dalam bursa
calon ketua umum, yang kemudian melangkah ke Pilpres 2014.
Ini bukan isapan jempol karena para elite
Demokrat sudah berkomunikasi intensif dengan sejumlah pengurus DPD dan
DPC. Ditambah pernyataan SBY bahwa ia tak pernah menggaransi seandainya
ada anggota keluarganya masuk dalam pentas politik sebagai capres. Adalah
Ruhut Sitompul yang kali pertama mewacanakan Ani sebagai capres.
Putra
Terbaik
Berbekal hasil survei, Ruhut menyebut Ani
memiliki peluang menjadi capres 2014 karena memiliki tingkat popularitas
tinggi. Ruhut juga menyebut Puan Maharani, putri Megawati, layak mendampingi
Ani. Formasi Ani-Puan disebutnya tak bisa disaingi oleh Aburizal Bakrie
atau Prabowo sekalipun.
Seandainya Demokrat-PDIP mengusung
formasi Ani-Puan berarti membunuh demokrasi. Usaha itu menjerumuskan
demokrasi ke jurang dinasti politik, dan tidak sehat bagi proses
pendewasaan dan pembelajaran demokrasi. Sebaiknya dinasti politik
Cikeas memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa ini untuk
memimpin Indonesia selepas pemerintahan SBY.
Dalam historiografi politik modern,
dinasti politik banyak terjadi di belahan dunia. Sejarah mencatat bukan
hanya negara berbasis kerajaan dan otoritarian yang memiliki dinasti
politik. Negara dengan sistem suksesi kepemimpinan demokratis pun
mengenal model itu.
Amerika Serikat misalnya, dinasti politik
Kennedy, Bush, dan Clinton mewarnai perjalanan demokrasi. Di Filipina ada
dinasti Marcos, Acquino, dan Arroyo, di India ada dinasti Gandhi dan
Nehru, di Pakistan ada dinasti Bhutto, dan sebagainya. Dampak negatif
dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme.
Praktik nepotisme ditunjukkan oleh
penguasa Orba. Menjelang kememudaran kekuasaan, Pak Harto mempersiapkan
Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut), namun Soeharto keburu dijatuhkan
oleh kekuatan mahasiswa pada Mei 1998. Siasat rezim saat itu mengangkat
Mbak Tutut menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Pem-bangunan VII, aktif
di Golkar, dan seterusnya.
Praktik nepotisme yang berkembang dan
menjadi hegemoni bermuara pada praktik korupsi dan bentuk konspirasi lain
yang berujung pada penumpukan kekuasaan. Nepotisme dengan sendirinya
menutup ruang kekuasaan rakyat yang punya hak dipilih dan memilih dalam
sistem demokrasi. Waktu itu demokrasi bisa dikatakan mati suri berganti
sistem kekuasaan aristokrasi mengingat calon penguasa sudah ditentukan
oleh penguasa sebelumnya.
Walaupun antara nepotisme dan politik
dinasti terdapat kesamaan dalam menyandarkan kekuasaan,
keduanya punya
proses dan kemungkinan efek yang berbeda.
Pengangkatan
Dalam nepotisme, kekuasaan diperoleh
melalui pengangkatan (ditunjuk) oleh penguasa dengan tujuan
menancapkan
hegemoni sehingga mempermudah negosiasi dan berbagai rencana politik.
Adapun dalam politik dinasti, proses
mencapai kekuasaan tetap mengikuti mekanisme demokrasi melalui sistem
partai yang secara internal mempunyai rule
of the game. Akan tetapi, politik dinasti memiliki potensi besar
menjadi nepotisme kekuasaan bila mampu mencapai hegemoni.
Politik dinasti mengandaikan kepemimpinan
berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan
kekerabatan. Dinasti politik di-tandai dengan tersebarnya jejaring
kekuasaan melalui trah politik pendahulu dengan cara pe-nunjukan anak,
istri, paman, dan sejenisnya, guna menduduki pos-pos strategis dalam
partai (lembaga) politik. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili bisa
dengan mudah meraih jabatan publik.
Dalam praktik kenegaraan kondisi ini
membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya
bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain
politik dinasti makin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima
mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi
memadai.
Perlu menyadari bahwa pada masa mendatang
untuk bisa menjadi pemimpin nasional tentu butuh persyaratan lebih berat,
tidak bisa hanya mengandalkan ketokohan dan dinasti politik.
Dalam sejarah republik ini, pendiri
bangsa yang egaliter membuang cara pandang feodal yang membuat elite dan
keluarga kaya-penguasa memandang diri dan keluarga mereka sebagai makhluk
istimewa yang berbeda derajatnya dari kebanyakan rakyat. Intinya,
sejauh kita masih bermaksud meneruskan republik warisan para pendiri
bangsa, kita belum dapat menerima politik dinasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar