Tahapan
pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu dapat dikatakan telah usai.
Meski begitu, penetapan peserta pemilu yang mengikuti tahapan pendaftaran
dan verifikasi belum dapat dikatakan sepenuhnya tuntas.
Tahapan pendaftaran dan verifikasi
peserta pemilu dapat dikatakan telah usai. Meski begitu, penetapan
peserta pemilu yang mengikuti tahapan pendaftaran dan verifikasi belum
dapat dikatakan sepenuhnya tuntas.
Buktinya, sejumlah partai politik yang dinyatakan gagal oleh Komisi
Pemilihan Umum melewati verifikasi melakukan berbagai langkah hukum.
Merujuk perkembangan yang ada, sejauh ini proses hukum di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) telah mengabulkan permohonan Partai
Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
sebagai peserta Pemilu 2014. Dengan hasil di PT TUN, peserta pemilu
secara nasional bertambah dua lagi menjadi 12 partai politik.
Kendati demikian, jumlah itu belumlah dapat dikatakan sebagai angka final
karena sebagian dari partai politik yang gagal di PT TUN mengajukan
permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dari hitungan waktu, proses di
MA tidak dapat dikatakan sebentar di tengah ketatnya tahapan pemilu yang
harus dilaksanakan KPU. Karena itu, bagi KPU, proses hukum di MA bisa
menjadi semacam kerikil dalam sepatu untuk melangkah pasti ke tahap
berikutnya.
Di luar penantian itu, yang agak meresahkan sebagian pihak yang concern
terhadap agenda Pemilu 2014 adalah kegaduhan di internal penyelenggara
pemilu yaitu antara KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sekiranya
kegaduhan yang ada tak berkesudahan, ancaman sesungguhnya tidak hanya
tahapan pemilu berikutnya yang sudah di depan mata, tetapi juga terkait
ketahanan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Yang ditakutkan,
kegaduhan yang terjadi amat mungkin meluruhkan kepercayaan dan dukungan
masyarakat. Ujungnya jelas, keberhasilan penyelenggaraan pemilu menjadi
taruhannya.
Tahap Pencalonan
Meski masih menunggu putusan kasasi sejumlah partai politik yang ditolak
PT TUN, secara formal tahapan pemilu bergerak ke fase yang jauh lebih
krusial. Sebagai rangkaian kegiatan, tantangan mahaberat berikutnya
adalah tahapan pendaftaran calon anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD).
Barangkali, di fase awal tahap ini kegaduhan akan terjadi di internal
partai politik terutama dalam menyusun daftar calon yang diajukan ke KPU.
Meski begitu, selesai di internal partai politik, bola panas penetapan
calon anggota legislatif segera berpindah ke KPU. Terkait soal ini, tugas
sentral KPU adalah melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota legislatif.
Tidak sebatas itu, KPU juga akan melakukan verifikasi terpenuhinya syarat
jumlah sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan.
Dalam keterwakilan perempuan, jika tidak mampu memenuhi syarat
keterwakilan perempuan 30%, partai politik diminta memenuhinya kembali.
Setelah dikembalikan tetap tidak bisa memenuhi angka dimaksud, KPU
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap
partai politik masingmasing pada media massa cetak harian nasional dan
media massa elektronik nasional. Meski tak ada sanksi, pengumuman melalui
media massa merupakan sanksi dalam bentuk lain bagi partai politik.
Namun, pekerjaan berat KPU terletak pada penilaian atas keterpenuhan
persyaratan calon anggota legislatif. Merujuk persyaratan yang ada, penilaian
ini tidak dapat dikatakan sederhana. Sebagaimana penilaian atas
keterpenuhan persyaratan bagi partai politik peserta pemilu, bagi para
calon yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU dapat pula mengajukan
sengketa ke Bawaslu dan kemudian ke PT TUN. Apabila dalam sengketa
menjadi peserta pemilu, jumlah yang mengajukan sengketa sangat terbatas
yaitu paling banyak hanya sejumlah partai politik yang tidak lolos
verifikasi.
Namun, pada sengketa penetapan calon anggota legislatif, jumlahnya jauh
lebih masif. Karena ini menyangkut persoalan yang sangat teknis misalnya
terkait pelacakan dokumen palsu, pasti tak mudah bagi KPU untuk keluar
dengan akurasi tinggi. Tidak hanya itu, dalam gugatan ini KPU juga akan
berhadapan dengan perseorangan calon anggota legislatif. Posisi vis a vis
KPU dengan calon anggota legislatif secara tegas dapat dibaca dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6/2012 tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu (Perma No 6/2012).
Dalam Pasal 1 Ayat (4) huruf b Perma No 6/2012 dinyatakan: penggugat
adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD yang dicoret dari daftar calon tetap
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU. Sementara tergugatnya adalah
KPU. Boleh jadi, beban berat KPU dalam menilai keterpenuhan persyaratan
calon anggota legislatif bisa menjadi lebih ringan sekiranya partai
politik melakukan seleksi secara akurat sebelum nama-nama calon diajukan
ke KPU.
Namun, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, partai politik tidak ingin
repot mengurus soal ini, dapat dipastikan bahwa beban KPU akan lebih
berat. Karena itu, selain untuk membantu KPU, akurasi keterpenuhan
persyaratan bagi calon anggota legislatif juga harus dilihat sebagai
bagian untuk menilai integritas partai politik.
Tanpa Gaduh
Sekiranya dalam tahapan pendaftaran terjadi kegaduhan antara KPU dan
calon anggota legislatif sangat bisa dipahami. Namun, bila yang terjadi
adalah kegaduhan antara KPU dan Bawaslu yang notabene sama-sama
penyelenggara pemilu, secara perlahan namun pasti penyelenggara pemilu
akan menghadapi risiko defisit dukungan masyarakat. Agar hal itu tidak
terjadi, relasi KPU dan Bawaslu tidak mesti hadir dengan wajah gaduh,
namun tetap menjaga dan memelihara kewenangan masing-masing.
Untuk sampai kepada harapan itu, KPU dan Bawaslu harus mampu melupakan
luka yang muncul selama proses penyelesaian sengketa penetapan partai
politik peserta Pemilu 2014. Terkait dengan hal ini, memperbaiki
komunikasi menjadi sebuah keniscayaan. Banyak kalangan percaya, perbedaan
pandangan KPU dan Bawaslu dalam menyikapi hasil verifikasi partai politik
peserta Pemilu 2014 lebih pada perbedaan pandangan atas ketentuan hukum
yang ada. Perbedaan itu hanya mungkin dikurangi jika dilakukan pembahasan
bersama. Selain itu, paradigma pengawasan Bawaslu terhadap KPU juga perlu
ditemukan formula baru untuk menghindari penilaian perbedaan tajam di
antara keduanya.
Sekiranya formula itu dapat dibahas bersama, di salah satu sisi,
pengawasan Bawaslu akan menjadi jauh lebih konstruktif. Sementara di sisi
lain, KPU tidak pula terkesan mengabaikan hasil pengawasan Bawaslu.
Harapan kita, tahapan berikutnya tidak berubah menjadi tahapan lebih
lanjut dari kegaduhan KPU dan Bawaslu. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar