Persoalan penyaluran dana sertifikasi
guru di berbagai daerah terus saja menjadi bahan pergunjingan baik media
nasional maupun media lokal.
Setelah
ditemukannya dana Tunjangan Profesi guru (TPG) 2012 sebesar Rp10 triliun
belum disalurkan oleh pemerintah daerah. Padahal uang itu telah
ditransfer 1 Juli 2012 lalu oleh pemerintah pusat. Akibatnya, ratusan
ribu guru bersertifikat yang seharusnya berhak menerima TPG sebesar satu
bulan gaji itu tidak menerimanya secara utuh. Termasuk juga di Kabupaten
Bantul DIY, ada 5.300 guru bersertifikasi yang hanya menerima dana TPG
sebesar 11 bulan saja (KORAN SINDO, 13/03/2013).
Sementara
sisanya belum ada kejelasan. Itulah nasib guru di negeri ini. Ironisme
berkepanjangan terus saja menderanya. Perjuangannya demi mendapatkan
hak-hak akan profesi mulianya belumlah usai. Namun demikian, guru adalah
sosok yang penuh dengan kepatuhan. Segala macam kebijakan yang telah
diterapkan oleh pemerintah mengenainya tidak ada satupun yang ditolak.
Cerita
kepatuhan guru dimulai saja dari perjuangan mereka ketika akan
mendapatkan sertifikat guru profesional. Berbagai upaya telah guru
lewati, termasuk perjuangan mereka ketika harus bersekolah kembali
disela-sela ketugasannya mengajar demi pemenuhan syarat jenjang
pendidikan strata-1 (S-I), pengumpulan dokumen dan bukti fisik untuk
melengkapi portofolionya sebagai dasar penilaian kelayakan
frofesionalitas nya, ataupun dengan mengikuti diklat PLPG dengan berbagai
macam pola.
Semua itu
tentu saja membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun, mereka
tidak patah semangat dalam mengikutinya. Selanjutnya, kewajiban mengajar
minimal 24 jam sudah juga guru lakoni. Bahkan ketika guru harus rela
mengajar di berbagai sekolah dengan jarak yang berjauhan, atau mengajar
pada jenjang yang berbeda (guru SMA mengajar SD). Guru harus pontang
panting ke sanakemari untuk pemenuhan syarat mendapatkan tunjangan profesinya
tersebut.
Selanjutnya,
guru berupaya keras menunjukkan kemampuan profesionalitas dan
pedagogiknya dengan mengikuti UKG yang banyak menuai pro dan kontra
karena kemendadakannya. Walaupun hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan, namun itu semua adalah wujud kepatuhan guru terhadap negeri
ini. Juga terhadap perubahan kurikulum 2013 nanti, dimana guru adalah
ujung tombak pelaksananya.
Kembali guru
manut saja, mereka akan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Tetap
mengajar di kelas-kelas dengan keunikannya masingmasing. Jadi, apa yang
kurang dari guru? Semua telah dipatuhi dan dilaksanakan oleh mereka.
Bahkan setelah semua kewajiban itu telah mereka laksanakan, guru masih
juga diam ketika satu bulan pembayaran atas haknya tersebut, entah berada
di mana kini.
Budaya
pekewuh (tidak enak hati) itu benar-benar melekat kental dalam setiap
pribadi guru, khususnya di DIY. Namun “diam” dan pekewuhnya guru bukan
berarti tanpa riak. Walaupun ketidaksesuaian penerimaan hak guru itu
hanya menjadi pembicaraan internal antarguru, tidak ada demonstrasi luar
biasa dan tidak ada gejolak yang berarti, namun kasak-kusuk itu tetap
ada.
Namun itu juga
tidak akan berkepanjangan karena seperti orang Jawa kebanyakan, semua itu
akan berakhir dengan ucapan syukur. “Masih
syukur kita sudah mendapatkan tunjangan yang besar, jadi mari kita
ikhlaskan saja”. Pepatah Jawa, Nerimo ing pandum, seperti menjadi sebuah
bendungan besar untuk menampung segala keluh kesah guru. Guru merasa aman
diam berada di dalamnya.
Namun
bukanlah demikian hakikat sebuah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
ditata dan diatur sedemikian rupa oleh yang namanya Undang- Undang. Peraturan
perundang- undangan diciptakan untuk mengatur sistem ketatanegaraan yang
rumit dan kompleks. Sehingga semuanya harus bergerak berdasarkan rel yang
telah dibangun bersama. Pemerintah daerah sebagai lembaga pelayanan
publik harus menunjukkan kinerja terbaiknya dalam melayani rakyat.
Satu
diantaranya tertuang dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, dalam BAB IV Pasal 9, disebutkan bahwa
badan publik wajib menginformasikan secara jelas mengenai laporan
keuangan. Sehingga pengendapan satu bulan dana tunjangan sertifikasi guru
sangatlah layak untuk dipertanyakan, bukannya “diikhlaskan”.
Inilah
kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan kejelasan informasi kepada
seluruh pemegang kedaulatan tertinggi, yaitu rakyat. Secara akuntabel
seperti yang dicita-citakan dalam perundangan. Diperlukan suatu
pembaharuan berkelanjutan dalam tata kelola organisasi daerah sebagai
mana disebutkan Rhenald Kasali,
pembaharuan
menurutnya merupakan suatu proses mengubah kebiasaan-kebiasaan
berperilaku dan cara berpikir orang-orang yang bekerja untuk organisasi
dari problem based (yang selalu mempertanyakan “mengapa”?) dan
berorientasi masa lalu menjadi solution
based ( yang berorientasi ke depan dengan pertanyaan “bagaimana”?)
Para pejabat harus mengubah cara berpikir dalam mengelola lembaganya guna
mencapai agenda reformasi birokrasi.
Termasuk juga
untuk mengubah persepsi masyarakat yang terlanjur negatif terhadap
perilaku para birokrat. Birokrasi yang bersih, pejabat yang jujur, guru
yang luhur, keluarga dan masyarakat yang makmur adalah sebuah guru
kehidupan yang terbaik bagi generasi penerus bangsa. Tidak akan berhasil
jika semuanya berjalan dengan timpang, atau bahkan keluar dari relnya
masingmasing.
Pendidikan
sebagai upaya perubahan perilaku tidaklah sebatas ada di dalam
ruang-ruang kelas, dimana guru dan murid berinteraksi. Namun pendidikan
itu ada disetiap tempat, disetiap ruang dan waktu. Dimana anak-anak bisa
melihat dengan mata dan merasakan dengan hatinya bahwa di sekekeliling
mereka masih banyak “kekacauan” yang membuat masa depan menjadi tidak
jelas arahnya.
Atau
sebaliknya, ketika semua sistem tertata dengan baik, bersih, jujur dan
semuanya memberikan pelayanan yang terbaik. Maka cita-cita besar
pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini tidak akan
jauh lagi dari genggaman. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar