Ketika
hukum tak lagi memberikan jaminan rasa aman, dan ketika masyarakat
dihadapkan pada situasi anomie, maka konsekuensi yang terjadi adalah
munculnya tindak-tindak kekerasan yang makin sulit diterima akal sehat.
Gejala
kekerasan (violence),
kebiadaban (barbarity),
kekejaman (cruelty), dan segala
bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity), belakangan ini terus bermunculan bahkan dengan
skala benar-benar mencemaskan. Kasus mutilasi, pembunuhan diikuti
tindakan mengubur korban di rumah, pemerkosaan, dan kasus tindak
kekerasan lainnya di berbagai wilayah, termasuk kasus penyerbuan Lapas
Cebongan, Sleman,
DIY
Yogyakarta oleh sekelompok orang berpakaian ninja yang memberondong 4
napi hingga tewas. Meski terjadi secara terpisah, sesungguhnya satu sama
lain memiliki sebuah keterikatan, yakni indikasi dari pergeseran sikap
masyarakat yang makin terbiasa menyelesaikan segala persoalan melalui
kekerasan dan senjata.
Tindak
kekerasan seperti kasus seorang yang tega memutilasi korban, secara
sosiologis diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan ekspresif, yakni
kekerasan dilakukan pelaku karena ketidakmampuan mereka mengendalikan
amuk psikologis dan dendam kesumat yang berkecamuk di kepala mereka
secara rasional. Tetapi, tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang
secara terencana, terorganisasi, dan terlatih, tentu bukan termasuk
tindak kejahatan ekspresif.
Ini adalah
tindak kejahatan yang sifatnya instrumental, memiliki tujuan tertentu
yang jelas, sehingga latar belakangnya pasti bukan karena dirasuki
perasaan cemburu dan semacamnya, melainkan lebih didorong faktor power abuse, bercampur dengan
keinginan untuk mengekspresikan rasa superior yang terganggu. Ditambah
faktor solidaritas terhadap nasib sesama teman yang sebelumnya menjadi
korban kejahatan orang lain.
Dalam
pandangan psikologi klasik, kekerasan, perilaku sadistik, kejahatan dan
semacamnya atau yang disebut perilaku agresif manusia, pada dasarnya
diyakini terjadi karena insting bawaan yang telah terprogram secara
filogenetik (Lorenz, 1966). Menurut teori insting ini, agresi —termasuk
di dalamnya tindak kekerasan— berasal dari dorongan fitrah biologis
manusia untuk bertindak me-rusak dan destruktif.
Sigmund Frued
(1915) misalnya, mengemukakan bahwa agresi manusia pada dasarnya berasal
dari insting thanatos atau keinginan untuk mati (death wish) yang dimiliki setiap manusia secara alamiah.
Sedangkan menurut Konrad Lorenz, agresi sesungguhnya bersumber dari
semangat bertempur (fighting spirit)
yang dimiliki manusia seperti juga spesies binatang lain (Khisbiyah,
2000).
Memang, pada
masyarakat yang telah mengenal budaya dan berbudaya, naluri biologis
manusia untuk bertindak agresif sering dapat diendapkan dan disublimasi
secara simbolis dalam bentuk peraturan dan tatanan yang mendasari terwujudnya
sebuah kehidupan bersama yang stabil, harmonis, dan damai. Akan tetapi,
apabila suatu saat stabilitas hubungan sosial dan organisasi kehidupan
mengalami kemerosotan, sementara saluran untuk menyelesaikan konflik
seolah buntu, maka kendali tatanan nilai normatif yang menguasai hubungan
sosial menjadi lemah.
Akibatnya,
desakan nafsu agresif yang berada di bawah sadar diri manusia, lepas tak
terkendali dalam bentuk tindakan kekerasan atau tindakan lain, dan
melampaui batas-batas kemanusiaan (Suryo, 2000). Seperti dikatakan para
pendukung neoinstingtifisme, bahwa insting manusia selalu berupaya
mencari penyaluran dan selalu menunggu kesempatan yang tepat untuk
melampiaskannya.
Seseorang
yang tumbuh dalam lingkungan serba keras, dan dididik dalam tradisi yang
kaku, besar kemungkinan akan tumbuh dan terbiasa untuk menyelesaikan
segala persoalan dengan kekerasan. Mengapa demikian? Berbeda dengan
pendekatan psikologis yang lebih menekankan kesalahan pada faktor
subjektif orang per orang sebagai pendorong munculnya tindakan agresif.
Pendekatan
sosiologis lebih memahami penyebab munculnya tindakan kekerasan sebagai
respons terhadap kondisi lingkungan sosial. Dalam banyak kasus, yang
namanya manusia umumnya rentan dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial di
mana dia hidup. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban tindakan
child abuse, atau hidup dalam sebuah institusi yang menghalalkan tindakan
kekerasan, tidak mustahil ketika dewasa tanpa sadar akan cenderung
bertindak agresif dan melakukan berbagai kekerasan kepada orang lain.
Seperti yang
sering dia alami di masa lalunya. Dengan kata lain, menurut pandangan
sosiologis agresi pada dasarnya terbentuk karena pembelajaran dari
lingkungan sekitarnya, melalui pengalaman atau mengamati perilaku orang
lain. Secara teoritis, kecenderungan melakukan kekerasan dan agresi jahat
untuk menghancurkan orang lain, sebetulnya dapat dikurangi substansinya
bila kondisi sosial ekonomi di sekitar manusia menguntungkan dan mampu
mengonstruksi pikiran manusia agar tetap conformpada norma dan hukum yang
berlaku.
Namun, lain
soal ketika lingkungan di sekitar mereka dinilai tidak adil, ada
orang-orang yang justru hidupnya lebih baik daripada mereka meski lewat
cara keliru. Maka, jangan kaget jika respons yang terjadi kemudian
benarbenar di luar nalar. Melakukan aksi kekerasan, menggelar tindakan
balas dendam, dan lainlain adalah pilihan-pilihan tindakan yang sering
kali dipilih seseorang ketika latar belakang kehidupannya memang mendidik
mereka melakukan halhal seperti itu.
Terlepas
siapa nanti yang harus bertanggung jawab dan diproses hukum karena
melakukan tindak kekerasan melewati batas. Yang jelas di Tanah Air ini
sejak suasana euforia mulai merambah sendi-sendi kehidupan masyarakat,
konflik mulai meletup di berbagai wilayah, tindakan kekerasan yang
berkembang di masyarakat kian lama justru kian populer, bahkan menjadi
semacam kebudayaan.
Untuk
mengeliminasi agar tindak kekerasan serupa tidak lagi terjadi di kemudian
hari, yang dibutuhkan tentu bukan sekadar tindakan tegas dari aparat
penegak hukum dan negara untuk menangani setiap kasus tanpa pandang bulu.
Tetapi, yang tak kalah penting adalah bagaimana masyarakat dan seluruh
institusi masyarakat yang ada —termasuk institusi atau lembaga penegak
hukum— untuk melakukan dekonstruksi dan kemudian merekonstruksi tumbuhnya
nilainilai nir-kekerasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menggagas dan
mengembangkan gerakan damai, anti kekerasan, dan lain sebagainya harus
diakui bukan hal yang mudah. Tanpa didukung kesediaan semua pihak untuk
mewujudkannya, niscaya di kemudian hari masih akan muncul kasus-kasus serupa
yang tak kalah mencemaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar