Mantan
Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Irjen Polisi Djoko Susilo (DS)
tampaknya sangat nahas. Kini
ia jadi tahanan KPK, tersangka korupsi proyek simulator pengadaan SIM,
hartanya disita, dan beberapa istri mudanya bukan saja tersingkap ke
publik, melainkan juga terpaksa berhadapan dengan proses hukum. Soalnya
harta para selir itu tampaknya juga dicurigai berasal dari sumber ilegal
alias “haram” sehingga bukan mustahil semua yang sebelumnya dinyatakan
“milik para istri” juga akan beralih status ke milik negara. Harta DS
memang diperkirakan mencapai lebih dari Rp100 miliar, sungguh sangat
fantastis.
Secara logis
dan empiris, besaran harta seperti itu tak bisa diterima akal sehat jika
dibandingkan dengan total pendapatan resmi dari seorang perwira tinggi
polisi. Sangat beralasan ketika resmi ditetapkan sebagai tersangka
korupsi oleh KPK, jejak-jejak harta yang terkait DS ditelusuri dan
(sebagian) sudah ditemukan. Cara KPK ini mungkin akan sangat efektif
menciptakan efek jera pada koruptor dengan “memiskinkan” dan
mempermalukan pelakunya serta mengembalikan harta rampokan koruptor itu
pada negara.
Pertanyaannya,
apakah DS hanya individu oknum yang berperilaku menyimpang dan korup
ataukah sudah jadi semacam trenperilaku kolektif di intern Polri di mana
satu sama lain sudah saling tahu sama tahu (TST)? Ataukah juga perilaku
seperti itu produk dari sebuah sistem yang selama ini telah dinikmati, di
mana DS hanya secara kebetulan terbuka pintu masuknya lantaran ditemukan
fakta hukum terlibat korupsi proyek simulator SIM? Pertanyaan-pertanyaan
itu tentu perlu dijadikan pijakan untuk selanjutnya memeriksa atau (bagi
akademisi) meneliti kondisi intern Polri terkait sistem dan perilaku
aktor-aktornya.
Apalagi pada
awal-awal langkah KPK menyelidiki indikasi keterlibatan DS, resistensi
Polri sangat tinggi. Sampaisampai ada upaya kriminalisasi seorang
penyidik KPK yang ikut menangani kasus korupsi simulator SIM (Noval, yang
kebetulan anggota Polri) dengan tuduhan pernah terlibat melakukan
pembunuhan saat bertugas di Bengkulu. Jika diletakkan pada perilaku DS
saja, kita akan sangat terganggu dengan sistem pengawasan dan kendali
perilaku dalam kepemimpinan Polri.
Apalagi
terhadap figur perwira tinggi Polri yang jumlahnya terbatas, di mana
seharusnya perilaku mereka akan mudah terdeteksi, termasuk sumbersumber
perolehan hartanya. Tepatnya, pimpinan Polri seharusnya tak ada alasan
untuk tidak tahu menahu dengan kelakuan, perolehan harta, dan atau
cara-cara korup (termasuk mark up
anggaran proyek simulator SIM) yang dilakukan seorang DS.
Atau, jika
memang para kolega tidak tahu perilaku dan praktik korup DS, kepemimpinan
di intern Polri sungguhsungguh lemah dan sekaligus membuka ruang untuk
korup yang sekaligus bisa menguntungkan diri atau pihaknya. Pada tingkat
tertentu, Presiden RI sebagai pengusul dan sekaligus mengangkat Kapolri
(setelah fit and proper test
oleh DPR) bisa berarti telah secara terbuka menunjukkan kekeliruannya
karena memberi mandat pada figur yang tak pantas.
Kecurigaan
lain pun kemudian bisa terarah pada Presiden RI yakni mempertahankan
seorang pimpinan Polri yang lemah lantaran pihaknya memperoleh cipratan
atau keuntungan materi melalui jaringan oknum “yang beroperasi” pada
jabatan lapis bawah. Penjelasan di atas, pada tataran praktik, bisa
diterima akal sehat. Soalnya, yang menghandle secara langsung berbagai proyek atau kebijakan
operasional lain “yang menghadirkan
materi secara ilegal” pada dasarnya bukanlah pimpinan, melainkan
figur-figur yang berperan dan berwenang di jabatan level operasional, di
mana pemimpin di atasnya “tinggal
terima bersih” dan “akan selalu
terkesan bersih”.
Jika ada
temuan masalah dan inilah yang kerap terjadi termasuk pada kasus DS,
pimpinan yang sebenarnya memperoleh “porsi harta ilegal” lebih banyak
dibanding dengan figur yang menangani langsung proyeknya tetap aman-aman
saja. Akan ada cerita lain, tentu saja, jika figur bawahan yang tengah
nahas itu mau bernyanyi atau bukanbukan di mana hal ini juga jadi bagian
yang diharapkan publik bangsa ini terhadap DS.
Apa yang mau
dikatakan di sini bahwa kasus DS boleh jadi hanya butiran gunung es di
tengah perilaku dan kebiasaan korup yang berlangsung lama terjadi di
intern Polri. Kita semua masih ingat misalnya terungkapnya “rekening gendut” dari sejumlah
petinggi Polri yang sempat mencuat beberapa tahun lalu, di mana kini
tenggelam seolah lenyap terhisap waktu. KPK pun seperti tak peduli dan
terus saja membiarkan pemilik rekening gendut itu bebas menikmatinya
bersama keluarga.
Masyarakat
luas juga, harihari ini, bisa menyaksikan secara langsung tampilan fisik
harta (berupa rumah dan mobil-mobil pribadi nan mewah serta gaya hidup
beserta keluarga yang berada di atas standar layak) dari sejumlah
petinggi dan anggota Polri termasuk pimpinan Polri, namun tetap saja
dibiarkan karena mungkin dianggap wajar-wajar saja.
Presiden SBY
pun tampaknya tak mau peduli atau bersikap kritis tentang semua itu
sehingga wajar jika ada kritikan bahwa negara ini “surga bagi para pejabat korup” karena yang tertangkap dan
dipenjarakan hanyalah mereka yang kebetulan lagi nahas. Persoalannya
kemudian, instansi Polri juga terus saja diberi kewenangan untuk menjadi
penyidik kasus-kasus korupsi.
Padahal
dengan fenomena di atas, seharusnya Polri sudah tidak memiliki legitimasi
moral lagi untuk tetap diberi kewenangan untuk memberantas korupsi sebab
bagaimana mungkin bisa membersihkan yang lain sementara dalam dirinya
sendiri bercampur kotoran berbau busuk. Boleh jadi, kewenangan untuk
memberantas korupsi hanyalah tameng, dan jadi “sebuah proyek” yang bisa disalahgunakan untuk, lagi-lagi,
mengumpulkan harta.
Singkatnya,
jika Presiden SBY memiliki kesadaran kritis untuk membersihkan instansi
polisi dari figur-figur korup, sebenarnya sudah harus mengambil langkah
untuk (1) mendeteksi seluruh harta kekayaan para petinggi Polri dan (2)
mengambil langkah-langkah konkret agar melepaskan kewenangan Polri
menangani kasus korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar