SUNGGUH memprihatinkan kita semua atas kejadian di Lembaga
Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cebongan, Sleman, Sabtu dini hari
(23/3). Empat orang tahanan titipan Polda DIJ harus meregang (sekarat),
lalu melepas nyawa karena diberondong senjata api oleh orang tak dikenal
yang menyerbu masuk ke lapas tersebut.
Sebagaimana
dilaporkan media elektronik atau media cetak, kita memperoleh gambaran
betapa penyerbuan tersebut sangat brutal dan mengindahkan penghargaan
atas nilai-nilai kemanusiaan. Sekelompok orang ''tak dikenal'' tersebut
dalam waktu singkat masuk paksa dengan melumpuhkan petugas jaga lapas,
kemudian tanpa basa-basi menuju kamar tahanan para target dan langsung
menembak mereka.
Para korban penembakan, yaitu Hendrik Angel Sahetapy alias Dicky
(31), Yohanes Juan Manbait alias Juan (38), Gamelial Yernianto Rohi Riwu
alias Adi (29), dan Andrianus Candra Galaja alias Dedi (33), merupakan
tersangka kasus penganiayaan di Hugo's Cafe yang mengakibatkan anggota
Kopassus Sertu Santoso (31) tewas. Dari sini, publik maupun para pengamat
menarik benang merah atau ada hubungan di antara dua kejadian tersebut.
Meskipun, pejabat dari TNI menampik tudingan dugaan keterlibatan
anggotanya dalam insiden lapas berdarah tersebut.
Menurut Musni Umar dalam buku Demokrasi
Politik, perbuatan melawan hukum seperti main hakim sendiri akan
menimbulkan kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat karena semua
orang dapat menjadi hakim terhadap yang lain, walaupun belum dibuktikan
kesalahannya secara hukum (2004:360).
Bila ditelisik ke belakang, di negeri ini entah mengapa kejadian
seperti di Lapas Sleman menunjukkan eskalasi yang meningkat. Bukankah
kasus ''penyerbuan oknum TNI ke Polres Ogan Komering Ulu (OKU)'' dan
penyerbuan massa ke polsek atau mapolres yang menuntut pembebasan tahanan
terjadi sambung sinambung? Rupanya menguatkan modus pemaksaan kehendak
dengan menyisihkan aturan yang ada?
Dalam konteks penyerbuan orang tak dikenal ke Lapas Sleman yang
diberitakan berjumlah 17-an orang dengan bersenjata lengkap, kemudian
melumpuhkan penjaga lapas, memalsukan identitas, dengan pola-pola
tindakan yang taktis dan terpimpin, segera menggiring kepada sebuah
simpulan siapa pelaku kejadian tersebut. Ini akan bisa dibaca oleh
masyarakat pada umumnya untuk menirunya meski secara teknis sulit
dilakukan kalau tidak sangat terlatih.
Pada sisi lain, juga dipertanyakan peran dari intelijen negara.
Sebagai pemberi peringatan dini (early warning), mereka seharusnya
bisa membaca sejak awal sebelum kejadian tersebut. Kejadian di Hugos
Cafe, dari kaca mata intelijen, harus diprediksikan akan berlanjut. Hal
ini berkaca kepada kasus di OKU. Penyelenggaran keamanan oleh negara,
yang di dalamnya melibatkan peran dan fungsi intelijen negara, sudah
seharusnya membaca gelagat tersebut.
Mengapa demikian? Dalam beberapa kasus, ketika yang menjadi korban
adalah seseorang dari bagian sebuah intitusi atau lembaga yang mempunyai
ikatan korps yang tinggi (bisa TNI, Polri, atau lembaga sipil, termasuk
mahasiswa perguruan tinggi semimiliter), mempunyai kecenderungan akan
berbuntut. Ikataan jiwa korsa mereka sangat tinggi sehingga memunculkan
rasa untuk balas dendam dengan berbagai cara.
Tentu saja akan sangat ironis bila yang tersulut dendam itu adalah
ikatan korps yang mempunyai senjata dan sudah dididik melakukan cara-cara
penyusupan, infiltrasi, sampai pada penghilangan nyawa target. Itu tidak
boleh dibiarkan dan berlarut-larut. Harus ada penyelesaian secara komprehensif,
tidak secara parsial menangkap pelaku dan menganggap kasus di Lapas
Sleman sebagai kasuistis semata.
Pada sisi lain, kejadian di Lapas Sleman harus menjadi entry point pemulihan penghargaan negara
atas hak hidup warga negara. Jajaran Kementerian Hukum dan HAM yang
membawahkan lapas harus berbenah dalam hal strategi pengamanan para
tahanan. Bisa jadi, selama ini belum terantisipasi kejadian penyerbuan
sehingga standard
operating procedure (SOP)-nya
maupun kesiapan penjaga lapas belum optimal.
Ke depan, agar kejadian dengan modus yang sama berulang, hukum
harus ditegakkan, siapa pun pelakunya. Pemerintah tidak boleh membiarkan
benih-benih penjabaran rasa senasib sepenanggungan ke arah yang sesat,
yang pada akhirnya justru akan merobek-robek penghargaan atas hukum yang
telah kita sepakati bersama untuk kita tegakkan. Kita amati, apakah
pelakunya akan ditangkap.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar