kita tetap berlumur bercak noda. Dari najis
ringan hingga berat. Peraturan yang bersifat paripurna tidak berarti
ketika kultur dan etika penegak hukum dibangun di atas fondasi peradaban
perut. Bunyi pemeo bahwa hakim tak boleh mengadili saat perut keroncongan
telah ditafsirkan secara pragmatis dengan mencari celah mempermainkan
perkara untuk memenuhi hasrat rakusnya.
Hakim
yang menerima suap adalah hakim tamak dan pengkhianat hukum. Terkutuk
baginya karena keadilan diperjualbelikan
di sudut-sudut kemungkaran. Demikian respons saya ketika menjawab
pertanyaan masyarakat yang gerah menyaksikan sisi gelap hakim yang asyik berkubang
dalam gurita rasuah.
Kesadaran orang waras pasti tersentak ketika hakim yang menyandang
gelar "Yang Mulia" ditangkap paksa karena menerima sogok.
Apalagi sejak November 2012, penghargaan negara terhadap hakim lebih baik
dibandingkan sebelumnya. Penghasilan hakim (remunerasi) telah
ditingkatkan dengan harapan dalam memutus perkara tidak tergiur pesona
duniawi.
Tapi kenyataannya, tingkat kesejahteraan tidak sepenuhnya linier
dengan pembentukan integritas menegakkan hukum di "negeri wani piro" ini. Perlu formula yang tepat untuk
melakukan tobat nasional agar para hakim menginsafi diri dari perbuatan
tercela.
Adalah hakim berinisial ST yang ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di ruang kerjanya Jumat (22/3). Wakil ketua Pengadilan
Negeri Bandung itu ditangkap bersama seorang swasta berinisial A karena
diduga terlibat suap terkait penanganan perkara tindak pidana korupsi.
KPK mengamankan barang bukti berupa uang sekitar Rp 150 juta. (Padahal, wakil ketua PN berpenghasilan resmi hampir
Rp 40 juta sebulan, Red).
Terungkapnya tindakan keji dan mungkar itu berkat kerja sama KPK
dan MA yang sejak lama mengintai sepak terjang hakim ST. Hakim ST adalah
ketua majelis hakim yang mengadili perkara korupsi bansos Pemkot Bandung
pada pertengahan Desember 2012. Tujuh terdakwa dijatuhi hukuman penjara
selama satu tahun ditambah denda masing-masing Rp 50 juta subsider satu
bulan penjara serta diharuskan membayarkan uang pengganti Rp 9,4 miliar
yang ditanggung renteng. Sementara itu, negara harus menanggung kerugian
mencapai Rp 66 miliar. Padahal, jaksa menuntut enam terdakwa dengan
hukuman tiga tahun, sementara Rochman empat tahun penjara plus denda Rp
100 juta.
MA menyadari bahwa kerja sama dengan KPK sangat penting dan
strategis dalam kerangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan MA terhadap hakim nakal di
masa-masa yang akan datang semakin kuat karena melibatkan lembaga yang
kompeten. Apalagi kewenangan penindakan MA terhadap hakim yang terbukti
menerima suap terbatas pada masalah etik.
Mempermalukan Koruptor
Di sinilah peran KPK mengusut tuntas unsur kejahatan korupsi yang
melibatkan aparat peradilan. Untuk hakim-hakim yang putusannya
kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi, dipelajari sepak terjangnya
dan diawasi gerak-geriknya. Semakin ketat pengawasan MA, ruang gerak
untuk melakukan jual beli perkara semakin sempit.
Persoalan suap di pengadilan terkait erat dengan budaya malu yang
mulai luntur. Hakim dengan mudah menerabas norma karena tak punya rasa
malu. Ruang kerja simbol martabat jabatan dijadikan tempat transaksi
haram. Kekuasaan dimanfaatkan untuk memperkaya diri. Sumpah jabatan
sekadar perias bibir.
Ada dua cara menumbuhkan kembali rasa malu (al-hayaa') bagi
hakim dan aparat peradilan. Pertama, dalam melakukan pembinaan secara
simultan, MA harus memberikan porsi yang besar pada aspek pembentukan
akhlak. Kurikulum pendidikan dan pelatihan hakim didesain sedemikian rupa
sehingga mampu mencetak hakim yang tak hanya terampil mengadili perkara,
namun juga memiliki budi pekerti luhur. Pendidikan akhlak menekankan
pembentukan kesadaran dan kepribadian di samping transfer ilmu dan
keahlian.
Kegagalan pendidikan hakim terletak pada kenyataan bahwa proses
yang terjadi dalam pendidikan tidak lebih dari sekadar pengajaran (transfer
of knowledge). Pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan
"tukang-tukang" atau para spesialis yang terkurung dalam ruang
spesialisasi yang sempit (Azhari Noer, 2001). Ketika pendidikan lebih
mementingkan peningkatan kemampuan akal, jasmani, dan keterampilan, namun
peningkatan kualitas kalbu dinomorduakan, kerusakan akhlak hakim tak
dapat dihindari.
Krisis budaya malu yang terjadi saat ini adalah persoalan serius
yang tak bisa ditanggulangi hanya melalui ceramah singkat yang diselipkan
pada acara pembinaan teknis. Membentuk karakter hakim adalah proses
panjang dan berkelanjutan hingga hakim benar-benar menyadari bahwa
tanggung jawab profesi adalah amanah mulia yang harus ditunaikan dengan
benar.
Kedua, menciptakan budaya malu dengan cara mempermalukan koruptor.
Hakim yang terbukti menerima sogok jangan hanya dijerat hukuman badan dan
dimiskinkan, tapi juga dibuat malu. Di Kabupaten Sleman, masyarakat punya
cara tersendiri untuk menghukum pencuri salak pondoh. Maling diarak
keliling kampung dengan busana minim sembari berkalung salak berbulu
hasil curiannya. Sanksi moral semacam itu sangat diperlukan di zaman
sekarang mengingat para pejabat di negeri ini telah kehilangan harga diri
dan rasa malu.
●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar