Saya ajak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mojok
sebentar. Itu terjadi saat kami menunggu kedatangan Bapak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan dimulainya proyek terbesar dalam
sejarah BUMN di bidang pelabuhan Jumat sore lalu.
Kami
pun bisik-bisik agar tidak menarik perhatian orang sekitar.
Di situ, di ruang tunggu direksi PT Indonesia Port Corporation, nama baru PT Pelindo II
(Persero) Tanjung Priok, saya bisikkan ide tentang fungsi rumah susun
untuk perbaikan perkampungan kumuh di Jakarta. Ide itu sebenarnya sudah
saya pidatokan saat peletakan batu pertama pembangunan rumah susun
Perumnas di Kemayoran sehari sebelumnya.
Sebelum upacara itu, saya mampir dulu ke rumah susun yang sudah
lebih dulu berdiri di sebelahnya. Itulah dua tower rumah susun 18 lantai yang
dibangun BUMN Perum Perumnas di awal pemerintahan SBY-JK.
Rusun itu awalnya dirancang sebagai awal dari program pembangunan 1.000 tower rumah susun di seluruh
Indonesia. Tapi, pelaksanaannya tidak mulus. Perizinan yang waktu itu
dijanjikan serba-Ferrari ternyata seperti Tucuxi. Berhenti sama sekali.
Namun, dengan semangat Jokowi yang berjanji memperlancar segala
perizinan, saya minta Perumnas untuk kembali membangun tower-tower rumah susunnya. Kalau bisa,
tekad saya, rumah susun Perumnas ini menjadi rumah susun pertama yang
menjadi kenyataan di era Jokowi ini. Untuk membuktikan benarkah birokrasi
di DKI sudah berubah.
Dalam kunjungan ke lantai 17 rumah susun Kemayoran itu, saya merasakan
seperti berada di sebuah apartemen yang enak. Lokasi rumah susun tersebut
sungguh istimewa. Pemandangan sisi utaranya adalah Laut Jawa yang biru.
Pemandangan arah sebaliknya adalah lapangan golf yang indah.
Dalam hati, saya berkata: pantas penghuni rumah susun ini terlihat sangat
sejahtera. Rupanya, yang masuk rumah susun di Kemayoran ini adalah mereka
yang pendapatannya sudah relatif baik. Buktinya terlihat dari fasilitas
yang mereka miliki di kamar masing-masing.
Saya pun berkesimpulan pola penghunian rumah susun seperti ini tidak akan
bisa memperbaiki perkampungan Jakarta yang padat dan kumuh. Yang masuk
rumah susun ini bukanlah mereka yang berasal dari perkampungan yang
sangat miskin. Penghuni rumah susun seperti ini adalah mereka yang
minimal sudah punya tabungan Rp 15 juta (untuk membayar uang muka).
Akibatnya, rumah susun bisa saja terus tumbuh, tapi perkampungan padat
dan kumuh tidak bisa berkurang.
Inilah yang saya bisikkan ke Jokowi. "Ayo
kita ubah cara berpikir seperti itu," bisik saya. Caranya: rumah
susun yang pemancangan tiang pertamanya saya lakukan Kamis lalu itu tidak
lagi disiapkan untuk mereka yang mendaftar. Tapi untuk menampung
"bedol RT" atau "bedol RW".
Saya bisikkan: Kita cari satu atau dua RT daerah padat dan miskin. Kalau
seluruh warga RT yang sangat miskin itu sepakat boyongan serentak
bersama-sama ke rumah susun yang hebat itu, maka merekalah yang harus
ditampung.
Mereka tidak perlu membayar uang muka (karena memang tidak akan punya).
Namun, mereka harus menyerahkan lokasi satu atau dua RT tersebut ke BUMN.
Di lokasi yang ditinggalkan tersebut (katakanlah luasnya satu atau dua
hektare) dibangun rumah susun 18 lantai oleh BUMN.
Kalau rumah susun di lokasi bekas "bedol RT" tersebut sudah
berdiri, kita cari lagi satu atau dua RT yang juga mau "bedol
RT". Di lokasi bekas "bedol RT" tersebut dibangun lagi
rumah susun oleh BUMN. Begitu seterusnya. Bergulir tidak henti. Sampai
tidak ada lagi RT atau RW kumuh di DKI.
Dengan demikian, rumah susun yang dibangun akan bisa ikut menyelesaikan
masalah lingkungan kawasan kumuh.
"Setuju!" jawab
Jokowi. "Hanya Pak Jokowi yang
bisa merayu warga untuk mau bedol RT. Saya tidak punya kewenangan,"
kata saya. "Saya yakin bisa.
Banyak yang akan mau," jawab Jokowi.
Begitulah. Hasil mojok kami berdua sangat konkret.
Sayang sekali rumah susun yang dibangun dengan mahal tidak bisa ikut
memperbaiki lingkungan kumuh di Jakarta. Saya pun lantas minta kepada
direksi Perumnas untuk melaksanakan ide ini. Tidak boleh lagi menjual
rumah susun itu hanya kepada yang mampu membayar uang muka.
Rumah susun ini sungguh murah. Sebab, biayanya ditanggung oleh BUMN.
Dalam waktu dua tahun, harga rumah susun ini sudah akan naik lima kali
lipat di pasar bebas. Lokasinya begitu strategis. Bangunannya begitu
bagus. Pemandangan sekitarnya begitu indah.
Tidak ada salahnya sekali-sekali warga yang sangat miskin mendapat haknya
untuk berada di lingkungan yang lebih baik. Bahkan, kali ini biarlah
golongan yang miskin itu yang akan mendapat gain yang amat besar itu.
Saya tahu bahwa ide seperti ini bisa saja akan mendapat penolakan dari
jajaran internal Perumnas sendiri. Secara bisnis, ide seperti ini memang
kurang menarik. Tapi, karena dana pembangunan rumah susun ini dari BUMN
(bukan hanya dari Perumnas yang juga BUMN), maka saya minta kali ini
berbeda.
Saya juga tahu, sebagian penolakan itu berlatar belakangan khusus: model
"bedol RT" seperti itu tidak memberikan peluang untuk ngobyek.
Dirut Perum Perumnas Himawan Arief Sugoto saya minta untuk terus
melakukan koordinasi dengan Pemprov DKI. Di atas kertas ide seperti ini
kelihatannya mudah, tapi di lapangan bisa jadi seperti mbah-mbah.
Ada dua terobosan lagi yang saya jadikan pembicaraan saat mojok dengan
Jokowi sore itu. Di bidang transportasi dan penanggulangan banjir.
Dua-duanya disetujui dan akan kami laksanakan bersama secara cepat.
Namun, rumah susun Kemayoran akan kami jadikan model dulu.
Saya ingin melihat apakah dalam tiga bulan nanti sudah bisa ditemukan
satu atau dua RT yang mau "bedol" ke rumah susun Kemayoran.
Rumah susun itu akan terdiri atas dua tower.
Saya sudah minta kontraktor BUMN, PT Hutama Karya, untuk menyelesaikannya
dalam waktu sembilan bulan. Dirut Hutama Karya Tri Widjajanto Joedosastro
sanggup. Ini berarti RT yang siap "bedol" ke rumah susun
Kemayoran sudah harus ditemukan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Saya tahu soal rumah susun menjadi salah satu janji kampanye Jokowi dulu.
Untuk rumah susun yang sudah ada pun, masih banyak persoalan. Sayangnya,
tidak banyak yang bisa dibantu oleh BUMN. Kecuali satu: keinginan Jokowi
agar rumah susun bisa dialiri gas untuk dapur-dapur mereka.
Dirut BUMN yang menangani gas, PT PGN (Persero) Tbk, Hendi Priyo Santoso,
sudah sanggup. Tentu, ada syaratnya, bahwa perizinan di bidang
pembangunan jaringan pipa gas bisa dipermudah. Selama ini Hendi sering
mengeluh sulitnya mendapatkan izin perluasan jaringan gas di Jakarta.
Kini, dengan permintaan Jokowi itu, tidak ada jalan lain kecuali jaringan
pipa gas memang harus diperluas di Jakarta. Pak Jokowi pun menyanggupi
percepatan perizinan itu.
Dan, rupanya, Jokowi betul-betul bergerak cepat. Dua hari setelah
pembicaraan itu, justru staf Pemprov DKI yang menelepon Hendi untuk
mengambil izin yang sudah bertahun-tahun nyangkut di sana.
Tentu, saya juga ingin tower pertama yang dibangun Perumnas
di saat saya menjadi menteri BUMN tersebut ada plusnya. Misalnya, sejak
saat dirancang sudah sekalian disiapkan jaringan internet ke seluruh
kamarnya. Dengan demikian, masyarakat miskin yang menjadi penghuni rumah
susun itu nanti bisa menyiapkan anak-anak mereka menjadi generasi baru
yang akan memutus mata rantai kemiskinan mereka.
Itu tidak sulit. Begitulah cara Tiongkok menyiapkan rumah susun untuk
masyarakat miskin mereka. Rumah susun tidak hanya dipergunakan untuk
mengubah wajah perkampungan, tapi juga untuk memutus rantai kemiskinan
dan ketertinggalan.
Saya ingat Jokowi pernah melakukan "bedol
kaki lima" yang amat terkenal di Solo. Saya ingin tahu gaya
kemeriahan Jokowi dalam melakukan "bedol
RT" di Betawi! ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar