Bayangkan sebuah dunia di mana kemiskinan global berada di titik
yang sangat rendah.
Bayangkan, pertumbuhan di Afrika ada di tingkat paling tinggi;
bantuan pembangunan Uni Eropa berlanjut dengan nilai lebih besar
dibanding sebelumnya, dan kekuatan-kekuatan dunia baru, seperti
Indonesia, semakin memainkan peran penting di panggung dunia. Sekarang buka
mata Anda, itulah dunia masa kini.
Inisiatif pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) berperan besar dalam mencapai
kemajuan ini sejak 2000. Apa yang disebut sebagai ”MDGs” telah
mempersatukan dan mengantar komunitas internasional memusatkan perhatian
pada negara- negara termiskin. Secara global, target mengurangi hingga
setengahnya penduduk di bawah garis kemiskinan ekstrem telah tercapai
pada 2010. Jumlah anak yang tak bersekolah turun dari 180 juta (1990)
menjadi sekitar 60 juta. Semakin banyak anak yang dapat mencapai usia
lima tahun dibanding sebelumnya.
Jutaan ibu melahirkan bayi dengan selamat. Kebijakan dan semangat
baru di negara berkembang mendorong tercapainya kemajuan ini dan
mitra-mitra internasional, seperti Uni Eropa (UE), telah meningkatkan
dukungannya pada negara-negara tersebut.
Indonesia merupakan sebuah contoh cerita sukses. Kemajuannya yang
luar biasa, khususnya di bidang pendidikan dasar, demokrasi, dan upaya
penyetaraan jender, layak mendapat apresiasi. Saya melihat kesuksesan
Indonesia terjadi berkat adanya pengambilan pilihan-pilihan politik dan
ekonomi yang tepat dan juga karena kerja keras serta semangat berinovasi
yang tinggi. Sungguh, kami dapat belajar banyak dan UE bangga telah turut
berkontribusi di dalamnya. Kami selalu menjadi pendukung setia Indonesia
sejak hubungan resmi Indonesia-UE dimulai lebih dari 40 tahun lalu.
Beberapa tahun terakhir ini, UE telah menyediakan lebih dari 1 miliar
euro untuk proses rekonstruksi pascabencana tsunami di Aceh dan gempa di
Yogyakarta. Kami menyediakan lebih dari 500 juta euro untuk anggaran
pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. UE membantu pembangunan
20.000 lebih rumah di Aceh, 670 sekolah, 5 pelabuhan, dan sekitar 650 km
jalan nasional. UE juga membantu penyediaan 1.600 km kanal drainase dan
irigasi serta 8.000 sumur. Arus perdagangan dan investasi kita, serta
jumlah orang yang melakukan perjalanan antar-kawasan, tertinggi dalam
sejarah dan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan.
Banyak contoh lain dari berbagai pelosok dunia mengenai upaya-upaya
dalam pencapaian target MDGs, baik di Asia, Afrika, atau Amerika Latin.
Namun, kita tak boleh gampang terlena. Banyak negara yang masih
tertinggal. Kemajuan dalam program MDGs sering kali tidak merata di dalam
suatu wilayah negara. Tantangan baru bermunculan. Kita melihat lebih
banyak bencana alam ekstrem yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Di
seantero dunia, jutaan anak masih menderita kelaparan dan ketidakadilan
sosial, menimbulkan kesenjangan masyarakat. Dunia berkembang kian
kompleks dan kita harus lebih fokus dan inovatif jika ingin
mempertahankan kemajuan di masa depan.
Masa Depan: Seharusnya Seperti Apa?
Program MDGs akan berakhir 2015. Masih banyak hal yang harus
dilakukan. Sementara itu, kita kini sedang memperdebatkan apa yang akan
memandu dan mengantar pembangunan pasca-2015. Sekjen PBB telah membentuk
Panel Tingkat Tinggi untuk menuntun pekerjaan ini. Presiden SBY duduk di
panel ini dan mengundang kita dalam pertemuan di Bali minggu ini guna
membahas pekerjaan penting ini dan bagaimana memajukannya. Pekerjaan
panel ini belum selesai. Namun, hal menarik untuk diketahui adalah tiga
hal yang akan menjadi elemen instrumental dalam agenda pasca-2015, yakni
menyelesaikan apa yang kita sudah mulai di dalam MDGs, membuat
pembangunan masa depan lebih berkelanjutan, dan bekerja sama dengan
negara dan blok-blok kekuatan baru, seperti Indonesia dan ASEAN.
Jelas bagi saya dan juga anggota panel, prioritas terbesar adalah
menyelesaikan pekerjaan yang telah kita mulai dalam program MDGs. Namun,
dunia sudah berubah sejak 2000, dan kita harus menyelaraskan visi setelah
2015. Saya percaya kita harus bergerak lebih jauh. Kita harus memenuhi
tujuan pengentasan rakyat dari kemiskinan seperti ditetapkan dalam MDGs,
tetapi kita harus memastikan pembangunan pasca-2015 berkelanjutan bagi
generasi masa depan. Ini bukan persoalan kewajiban moral, menjadi
kepentingan setiap orang pertumbuhan tak sekadar berkembang pesat, tapi
juga tak merusak lingkungan hidup.
Pertumbuhan yang perlu diciptakan adalah yang stabil dan
berkelanjutan. Ini pesan yang saya sampaikan dalam panel Tingkat Tinggi.
Ini juga pesan di balik proposal kebijakan UE yang baru-baru ini
diumumkan, A Decent Life for All:
Ending Poverty and Giving the World A Sustainable Future (Hidup Layak bagi Semua: Mengakhiri
Kemiskinan dan Memberikan Dunia Masa Depan yang Berkelanjutan).
Memerangi kemiskinan seharusnya tetap jadi inti agenda pembangunan global
untuk menyediakan ”Kehidupan yang Layak bagi Semua” pada 2030. Kita harus
menetapkan sekumpulan batas minimal untuk hidup layak, yang tak seorang
pun boleh jatuh dan berada di bawahnya. Namun, ini tak akan terwujud jika
kita hidup dengan cara tak berkelanjutan.
Kita semua tahu perubahan iklim, degradasi tanah, konsumsi, dan
produksi yang tak berkelanjutan mengancam hasil-hasil yang sudah dicapai
dalam perang melawan kemiskinan. Di mata dunia, Indonesia berada di garis
depan dalam upayanya mencari pertumbuhan berkelanjutan. UE dan Indonesia
penghasil emisi gas rumah kaca besar, tetapi kita telah mengadopsi
target-target nasional ambisius untuk mengurangi emisi dan kita punya
keinginan untuk melihat kesepakatan global di mana semua negara ikut
menjawab isu-isu ini.
Agar pertumbuhan berkelanjutan, perlu didukung tata kelola
pemerintahan yang baik, perdamaian, dan keamanan. Indonesia punya
pengalaman berharga di bidang ini. Proses perdamaian dan pembangunan di
Aceh sejak 2004, satu yang telah diusung ke seluruh dunia sebagai model
penyelesaian konflik yang tepat.
Indonesia sudah menunjukkan jalan ke depan, memberikan pelajaran
berharga bagi negara lainnya, mengadaptasi model yang disusun sendiri,
memberikan komitmen nasional yang jelas untuk pelaksanaannya, serta
memanfaatkan kemitraan internasional seperti dengan UE untuk mendukung
pekerjaannya. Di dunia yang kian menyatu pasca-2015, pengelompokan
kawasan seperti UE dan ASEAN dapat menjadi motor penggerak tambahan untuk
pertumbuhan. ASEAN yang sehat dan sukses akan sangat membantu pencapaian
pembangunan berkelanjutan pada negara anggotanya.
Contoh-contoh itu menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan baru,
seperti Indonesia, dapat dan akan memainkan peranan yang sangat penting
dalam agenda pembangunan setelah 2015 dan bagaimana UE memandang mereka
sebagai mitra yang kuat dalam upaya-upaya bersama. Saat kita duduk
bersama di Bali minggu ini, di bawah arahan Indonesia sebagai tuan rumah,
saya akan sangat optimistis tentang masa depan. Saya percaya melalui
kerja sama, seperti dengan Indonesia dan ASEAN, kita akan mampu
menciptakan kehidupan layak dan berkelanjutan bagi semua pada 2030. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar