Kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama ke Israel
dan Palestina, pekan lalu, sungguh banyak maknanya. Sebelumnya, publik
Amerika skeptis terhadap kunjungan itu. Thomas L Friedman menyebut Obama
hanya akan menjadi presiden AS pertama yang berkunjung ke Israel seperti
turis biasa.
Dalam kolom di New York Times, Selasa (12/3), Friedman menyebut dua
alasan mengapa ia pesimistis. Pertama, bukan hanya sedikit yang mungkin
dilakukannya (little is possible),
melainkan juga sangat sedikit perlunya (little is necessary) untuk Amerika.
Kedua, dalam sejarah diplomasi Amerika, konflik Israel-Palestina
seolah telah berubah ”dari
kemestian menjadi sekadar hobi” (from
a necessity to a hobby). Hobi berarti dilakukan seturut suasana hati.
Namun, kepesimisan itu meleset karena Obama mampu mengubah ”kunjungan
turistik” itu menjadi ”pesan
profetik”.
Pesan Obama
Mencermati pidato Obama di Jerusalem Convention Centre, Kamis
(21/3), tampaknya Obama akan menempuh strategi baru mengatasi kebuntuan
perdamaian Israel-Palestina. Pada periode pertama pemerintahan Obama,
status perundingan damai Israel-Palestina memang mati suri. Selain sibuk
dengan persoalan dalam negeri, kebijakan keras kepala Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu—misalnya soal perluasan permukiman Israel di
Tepi Barat—menghambat perdamaian.
Pidato Obama itu menunjukkan niat baik dan kejelasan moral untuk
mengubah kebuntuan perdamaian Israel-Palestina. Andai Obama ingin main
aman, pidatonya bisa datar saja. Namun, sebagaimana dikatakan Jeremi Ben-Ami
(International Herald Tribune, 23 Maret 2013), ”Main aman bukanlah watak Obama.”
Pidato Obama tak hanya menjelaskan kedekatan dan dukungan Amerika
terhadap eksistensi Israel, tetapi juga memaparkan tantangan pahit jangka
panjang dan konsekuensi tersisihnya Israel di kawasannya.
Ia mengingatkan: ”Tiada
tembok yang cukup tinggi dan tak ada kubah baja yang cukup kokoh untuk melindungi
Israel dari musuh-musuhnya” ke depan. Karena itu, perdamaian harus
diwujudkan, bukan hanya karena perlu (peace
is necessary), melainkan juga adil (peace is just) dan mungkin (peace is possible).
Yang juga sangat bersejarah dari pidato Obama adalah keberaniannya
mengajak publik Israel legawa mengakui hak-hak Pelestina untuk bernegara.
Publik Israel pun diajak berempati. ”Sebagaimana
Israel berhak punya negara, rakyat Palestina juga punya hak untuk
bernegara.”
Bagi saya, Obama merespons perkembangan baru di Timur Tengah
(Timteng). Obama memang menyatakan dukungan Amerika (Israel is not going anywhere), tetapi juga mengingatkan
eksistensi Israel tidak selamanya bisa bergantung pada Amerika.
Pidato Obama eksplisit menyatakan ketidakpastian masa depan Timur
Tengah. Ketidakstabilan politik di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Jordania
justru menambah kerawanan Israel dalam jangka panjang. Sangat masuk akal
bila Obama mengajak Israel merespons arus perubahan itu dengan inisiatif
perdamaian.
Banyak Ancaman
Saat ini Israel menghadapi pemerintahan Hamas di Gaza, Ikhwan di
Mesir, ketidakpastian di Suriah, serta pergolakan di Lebanon dan
Jordania. Ditambah sikap Iran yang terus sesumbar akan menghapus Israel
dari peta kawasan, lengkap sudah ancaman untuk Israel. Mengupayakan
perdamaian abadi dengan Palestina tak hanya menjamin eksistensi dan
membuka isolasi Israel, tetapi juga akan melemahkan militansi kaum
ekstremis yang berdalih membela Palestina.
Memang banyak yang skeptis terhadap efektivitas seruan damai Obama.
Kolumnis Jihad al-Khazin menyebutnya sebagai ”akal-akalan agar Arab
membarter pengakuan atas Israel dengan terusirnya rakyat Palestina dari
Tanah Air mereka yang sah” (al-Hayat, 23/3/2013).
Imaduddin Adib menyebut Obama ”sekonyong-konyong
menjumpai anak-anak Palestina hidup di bawah pendudukan Israel”
(as-Syarq al-Awsath, 23/3/2013).
Tanggapan-tanggapan di atas adalah bentuk kekecewaan yang sudah
lama menggumpal di Timur Tengah sehingga publik Arab tak akan mudah
percaya. Kini berpulang kepada Obama dan Pemerintah AS untuk menepis
ketidakpercayaan itu.
Obama menyatakan pentingnya kreativitas dalam mendorong proses
perdamaian. Dia menyatakan bahwa mukjizat terbesar (the greatest miracle) adalah kesadaran bahwa dunia bisa
diubah. Itu yang perlu dibuktikan pada status quo Israel-Palestina.
Namun, sekalipun pihak Palestina kini relatif siap berunding,
Israel masih keras kepala. Itu sebabnya mengapa Obama langsung menyapa
publik Israel. Kepada rakyat Israel, Obama—menurut Michael Hirsh (The Atlantic, 21/3/2013)—seolah
berpesan agar mereka ”tutup telinga
terhadap Bibi (panggilan Netanyahu)”. Ini terlihat dari ajakannya
agar publik Israel lebih giat menuntut perdamaian.
Namun, secara faktual, proses perdamaian Israel-Palestina tak
mungkin tanpa kepeloporan Amerika. Obama perlu memastikan bahwa seruan
damainya segera diterjemahkan ke dalam kebijakan selama periode kedua
kepemimpinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar